SAMPIT – Protes terhadap Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Kotawaringin Timur (Kotim) terkait bantuan sebagai kompensasi penutupan lokalisasi terus mengalir. SLT (38), penderita penyakit HIV/AIDS, protes karena tak menerima santunan.
Selain tak ada biaya untuk pulang kampung ke Kabupaten Blitar, Jawa Timur, untuk berobat juga perempuan itu kebingungan. Apabila lokalisasi ditutup total, perempuan yang berprofesi sebagai pekerja seks komersial itu bakal tak ada penghasilan lagi untuk membayar ongkos medis yang cukup mahal.
SLT yang sudah tiga tahun menderita penyakit tersebut, merasa tak diperhatikan dan hanya mendapat janji manis dari Pemkab Kotim. ”Padahal, katanya semua PSK di lokalisasi berhak mendapatkan santunan pemulangan,” katanya, Selasa (14/11).
Protes terhadap kebijakan bantuan itu sebelumnya PSK lainnya, IS (34), Jumat (10/11) lalu. Dia menilai Dinsos Kotim tak adil melakukan pendataan terhadap PSK. Kemudian, keberatan juga disampaikan RN (34), Senin (13/11). Menurutnya, sebanyak 65 PSK tak mendapat bantuan yang dijanjikan. Pemkab dinilai tebang pilih memberikan bantuan sosial.
SLT meragukan alasan Dinas Sosial (Dinsos) Kotim yang mengatakan, ada PSK yang tidak terdata karena dinilai tak bekerja di lokalisasi tersebut, sementara dia sudah lama berdiam di lokaliasi yang dikenal dengan sebutan Pal 12 tersebut.
”Keluhan serta sodoran identitas diri atau KTP selalu kami ajukan kepada petugas Dinsos Kotim, baik di lapangan maupun kantor. Tetapi, selalu ditolak dengan alasan data yang diambil pada Agustus 2017 sudah ditutup dan dikunci. Padahal, saya dan teman-teman (PSK) masih aktif dan bekerja di lokaliasi Pal 12,” katanya.
Lebih lanjut SLT menegaskan, dinas kesehatan dan dinas sosial sebenarnya tahu dia bekerja di lokalisasi itu karena instansi tersebut yang mengetahui pengobatannya. Hal yang membuatnya keberatan, ketika dikatakan tidak terdaftar sebagai penerima santunan karena alasan yang tak masuk akal.
SLT mengaku telah mangadukan Dinas Sosial (Dinsos) ke DPRD dan Pemkab Kotim. Dia menuding instansi tersebut tebang pilih dan mengabaikan hak mereka sebagai penerima santunan. Dia berharap aparat penegak hukum membantu sesuai yang dijanjikan Kemensos.
”Bukan cuma saya sendiri yang tidak dapat santunan. Ada 65 orang yang tidak terdaftar. Kami bukannya menolak (lokalisasi) ditutup. Kami setuju. Jika diminta hari ini ditutup, tidak masalah, tetapi PSK harus pulang semua. Harus rata mendapat santunan. Biar kami bisa memulai hidup baru,” katanya.
Menurutnya, tak mudah menjadi seorang wanita penghibur. Namun, hal itu juga bukan keinginan mereka untuk memilih pekerjaan tersebut, melainkan karena kondisi ekonomi dan keterbatasan keterampilan yang dimiliki.
SLT mengaku hampir sepuluh tahun menjadi PSK dan sudah pernah didata beberapa kali sebelumnya. Rencananya, hari ini (15/11), jika tak ada tanggapan dari Pemkab Kotim yang memperjuangkan nasib mereka, masalah itu akan resmi diadukan ke polisi dengan laporan hak mereka tak diberikan. (mir/ign)