SAMPIT – Ribuan warga berkumpul di pesisir Sungai Mentaya, Rabu (15/11) siang. Mereka berramai-ramai menceburkan diri ke sungai dalam tradisi mandi safar.
Tradisi yang dilaksanakan setiap Rabu terakhir bulan safar tersebut masih terjaga dengan baik. Ritual ini dianggap sebagai simbol penyucian raga dan pemersatu perbedaan di tengah masyarakat.
”Terlepas dari soal hukumnya menurut Islam, menurut saya ini merupakan tradisi dan sudah menjadi budaya daerah dan mestinya dilestarikan,” kata Anang Nur Ali, tokoh masyarakat di Sampit.
Secara filosofis, mandi merupakan simbol penyucian diri, sehingga dianggap dapat membersihkan diri dari hal-hal negatif dan bala bencana. Sementara mencebur ke sungai merupakan simbol persatuan dan toleransi. Melalui itu, semua orang tak lagi memikir perbedaan; suku, agama, apalagi pandangan politik.
Mandi safar merupakan tradisi lama, yang hingga kini masih dilaksanakan. Bahkan sudah cukup dikenal secara nasional. Belum diketahui sejak kapan tradisi ini dimulai. Namun ada yang meyakini, di Sampit, Kotawaringin Timur, pertama kali dilakukan masyarakat pesisir Sungai Mentaya di Kecamatan Mentawa Baru Ketapang.
Di kecamatan ini, tradisi mandi safar dilakukan secara tersendiri di luar pelaksanaan oleh Pemkab Kotim. Pelaksanaan mandi safar tahun ini dipusatkan di Kompleks Ikon Jelawat dan sekitar dermaga Pusat Perbelanjaan Mentaya Sampit.
Event budaya ini tampaknya cukup menyita perhatian masyarakat. Bahkan, ada yang datang dari luar kota. Mereka beramai-ramai datang dan terjun ke sungai berbekal pelampung dari ban dalam.
”Menurut kami ini sangat keren sekali dan membuat kagum, masyarakatnya yang menyatu dengan yang lain. Berbeda dengan daerah lain yang tampak invidual,” kata Suriati, mahasiswa yang berkunjung ke Sampit.
Sebelum seremonial mandi safar dimulai, dilakukan doa bersama. Harapannya, Kotim dan masyarakatnya terhindar dari berbagai bencana. Selanjutnya, dilakukan prosesi penyatuan air dari sembilan sungai besar di Kalimantan Tengah, yakni Sungai Mentaya, Sungai Barito, Sungai Katingan, Sungai Kapuas, Sungai Kumai, Sungai Seruyan, Sungai Kahayan, Sungai Arut, dan Sungai Lamandau.
Ini menyimbolkan keberagaman dari daerah di Kalimantan Tengah yang disatukan dalam semangat pembangunan. ”Ini budaya masyarakat Kotim, salah satu daya tarik wisata agar wisatawan datang,” kata Bupati Kotim Supian Hadi.
Tradisi ini, lanjutnya, akan dipertahankan sebagai salah satu pemikat agar wisatawan tertarik berkunjung. Pemkab berjanji akan mengemas lebih baik lagi event ini.
”Kami akan gali lagi hal-hal yang menarik yang berkembang di masyarajat, sehingga tahun depan wisatawan akan berdatangan,” kata Kepala Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kotim Fajurrahman. (oes/ign)