SAMPIT – Pemilihan Umum (Pemilu) akan dilaksanakan tahun 2019 mendatang. Pemilihan presiden akan berjalan bersamaan dengan pemilihan anggota DPR, DPD, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota.
Ketua DPD Golkar Kotim Supriadi memprediksi, akan ada persoalan di Kotim pada Pemilu 2019. Ratusan hingga ribuan masyarakat berpotensi kehilangan hak pilih.
“Saya melihat pemilu 2019 ini berpotensi menghilangkan hak politik untuk memilih. Jumlah penduduk Kotim berdasarkan pendataan Disdukcapil Kotim justru menyusut, bahkan berada di bawah jumlah penduduk Kabupaten Kapuas,” kata Ketua DPD Golkar Kotim Supriadi kemarin (12/2).
Pendaftaran pemilih menempatkan data administrasi kependudukan Kemendagri sebagai basis. Padahal, data tersebut tidak update karena tidak semua penduduk yang lahir, mati, dan pindah tempat, dilaporkan. Parahnya lagi, sebagian penduduk di Kotim tidak ber-KTP.
“Ini saya kira akibat ketidakprofesionalan dari Disdukcapil Kotim untuk jemput bola melakukan perekaman. Saya tegas minta pejabat demikian untuk dievaluasi, di sini saya cenderung melihat ada kesalahan penempatan petugas dan pejabatnya. Mestinya di situ harus ditempati orang yang enerjik untuk jemput bola,” tegas Supriadi yang juga Wakil Ketua DPRD Kotim.
Lain halnya jika DPT pemilu terakhir dijadikan basis data dan data kependudukan sebagai pembanding. “Sebelum terlanjur lebih jauh bermasalah, saya dalam waktu dekat ini akan mengagendakan pemanggilan dinas itu, jangan sampai menghilangkan hak pilih masyarakat karena alasan belum didata,” cetusnya.
Sementara itu, Ketua DPC PDI Perjuangan Kotim Rimbun juga kecewa dengan kinerja Disdukcapil Kotim. Disdukcapil dianggap lamban dalam melakukan perekaman penduduk, sehingga bisa berdampak pada kualitas pelaksanaan Pemilu 2019.
Dia juga menyoroti berkurangnya jatah kursi di dapil IV dan dapil V. Anehnya, kursi itu justru dialihkan ke dapil Kecamatan Mentawa Baru Ketapang dan kecamatan Baamang.
Rimbun mengakui bahwa masyarakat dapil IV dan dapil V itu banyak tidak merekam E KTP. Selain jarak yang cukup jauh juga biaya yang tidak sedikit untuk mereka ke Sampit hanya mengurus data kependudukan.
”Bisa sampai Rp 1 juta biaya mereka dari pedalaman hanya untuk urusan perekaman, apalagi saat ini ekonomi mereka sulit. Jadi semestinya pemerintah daerah yang menjemput bola bukan hanya duduk di kantor menunggu,” tegasnya.
Bahkan, anggaran yang diminta oleh dinas selalu mereka kabulkan. “Apalagi yang mereka cari? Soal kebutuhan anggaran, mereka minta, selalu disetujui di DPRD, tapi kerjanya seperti itu. Apalagi, baru-baru ini ada informasi menyatakan bahwa mereka bulan Maret baru turun ke lapangan. Kenapa tidak mulai sekarang saja, soalnya KPU itu perlu data kependudukan untuk pengalokasian kursi di setiap dapil,” cetusnya.
Jika diperhatikan, jadwal pemilu 2019 menunjukkan ada tiga tahapan yang memakan waktu lama. Pertama, pemutakhiran data pemilih dan penyusunan daftar pemilih perlu waktu 8 bulan. Kedua, tahapan pendaftaran dan verifikasi peserta pemilu, yang perlu waktu 7,5 bulan. Ketiga, pencalonan presiden dan wakil presiden, serta anggota DPR, DPD, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota, yang perlu waktu 7,5 bulan.
Meski kegiatannya sama, Pemilu 2019 diatur lebih lama. Sebagaimana digariskan oleh Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (UU No 7/2017) Pasal 167 ayat (6): tahapan penyelenggaraan pemilu dimulai paling lambat 20 bulan sebelum hari pemungutan suara. (ang/yit)