SAMPIT-Masalah ganti rugi lahan di Kecamatan Antang Kalang, Kotawaringin Timur dibawa ke ranah Rapat Dengar Pendapat (RDP) di DPRD Kabupaten Kotim, Senin (19/2) kemarin. RDP tersebut menghadirkan anggota DPRD lintas komisi, pihak perusahaan perkebunan kelapa sawit dan sejumlah warga Kecamatan Antang Kalang.
G Dion Effendi, perwakilan warga Kecamatan Antang Kalang di rapat itu menyatakan pada prinsipnya ia meminta agar apa yang menjadi persoalan saat ini bisa diselesaikan dan berjalan dengan baik. "Kami ingin masalah ini bisa terjawab dan diselesaikan secara sejuk," ucapnya.
Warga lainnya dari kelompok Diyo dan M Maulana juga menuntut terkait ganti rugi lahan. Selain itu menurut perwakilan pihak pejabat Kecamatan Antang Kalang menyebut, masalah ganti rugi lahan di perusahaan dengan warga sudah beberapa kali dimediasi di tingkat kecamatan.
"Penanganan konflik pertanahan sudah dilakukan, memang tahapannya dari tingkat bawah dulu, yakni desa, kecamatan dan kabupaten," kata perwakilan Pemkab Kotim dari Bagian Hukum, Emaliatun menambahkan.
Dalam RDP itu juga hadir sejumlah anggota DPRD Kotim seperti ketua Komisi II, Rudianur dan anggotanya, Ketua Komisi III Rimbun dan anggotanya, serta anggota DPRD Kotim dari Komisi I DPRD Kotim, serta perwakilan dari pihak perusahaan, PT Langgeng Makmur Sejahtera (LMS), dan pihak Badan Pertanahan Nasional (BPN) Kotim. Ada beberapa tuntutan warga dari tiga desa di Kecamatan Antang Kalang yang hadir di forum itu.
Dari penjelasan pihak perusahaan tersebut, apa yang jadi tuntutan warga sudah mereka respon dan selesaikan. Mulai dari persoalan perizinan, ganti rugi lahan, dan situs budaya. "Take over dari PT HPA ke PT LMS secara prosedur apa yang telah diminta Pemkab Kotim sudah kami penuhi secara hukum," kata Meitin, perwakilan dari perusahaan.
Sementara terkait ganti rugi lahan milik Bambang Irawan menurutnya, sudah diproses, dan saat ini tahapannya mediasi di lingkup kecamatan. "Milik Bambang Irawan masih proses mediasi, kami tetap bertanggung jawab, kami akan layani masyarakat," tegas Meitin.
Sementara terkait situs budaya, perusahaan berjanji akan memperhatikannya. "Apalagi saya asli orang Dayak, saya sepakat situs budaya itu diperhatikan, itu hal yang paling utama," tambah Meitin.
Sementara itu Legal Departemen dari BGA Group, Heru mengatakan, pecabutan izin PT HPA memang sudah inkcraht ( berkekuatan hukum tetap), namun yang perlu digaris bawahi perolehan aset dan investasi PT HPA tanpa melibatkan anggaran negara atau pusat.
”Sehingga PT HPA di take over ke PT LMS, dan diberikan hak keperdataan kepada LMS hingga mereka mengantongi HGU. Sehingga dengan apa yang sudah dilakukan HPA dan LMS saat ini tidak bisa lagi disamakan.Itu dicabut izin diminta untuk dilaksanakan, dan dikembalikan ke pemerintah, bukan dirampas untuk negara sesuai ketentuan agraria, LMS sudah ikuti aturan sesuai prosedur," tegasnya.
Pemkab Kotim sendiri melalui Kabag Ekonomi dan SDA Wim RK Benung menyebut, apa yang mereka lakukan sudah sesuai prosedur, dan melalui prinsip kehati-hatian. "Kami juga tidak mau terseret, kenapa itu diserahkan ke PT LMS karena saat itu kami ingin menghindari kondisi di lapangan, karena sudah ada yang klaim," pungkasnya .(ang/gus)