SAMPIT – Usaha kuliner semakin menjamur bak cendawan di musim penghujan. Beberapa bisnis berkonsep kafe pun bermunculan, seperti Espresso 31, Nineball, Eight Gram, dan Storia.
Owner Espresso 31, Zam’an, mengungkapkan bahwa kafe bukan hanya menjadi tempat makan dan minum, namun berubah menjadi industri yang lebih luas. Perubahan gaya hidup dan timbulnya beberapa jenis pekerjaan baru menuntut banyak ruang-ruang kreatif yang dapat ditempati orang untuk bisa tetap produktif walaupun di luar kantor.
Dia mencontohkan, ada orang datang ke kafe untuk mengerjakan tugas. Kafe juga cocok dijadikan untuk dijadikan tempat meeting dengan klien selain di kantor. Meeting di kafe juga akan lebih mencairkan suasana obrolan menjadi santai dan mendekatkan relasi bisnis.
”Ngopi di masa kini enggak cuma ngopi biasa, tapi sudah jadi ajang ngumpul bareng teman atau pun relasi bisnis,” ungkap pembina Sampit Entrepreuner Young Club ini.
Trend pekerjaan sebagai freelancer menjadikan kafe sebagai tempat yang cocok untuk bekerja atau mencari inspirasi. Secangkir kopi plus suasana yang mendukung bakal membuat kreativitas muncul.
”Sebenarnya ide membuka kafe ini berangkat dari hobi saya ngopi di kafe. Saya sangat menikmati suasana kafe dan kualitas produknya. Rasanya sangat beda dengan kopi sachet atau kopi kemasan,” ujarnya.
Sejak itulah Zam’an punya niat ingin menjadikan hobinya itu sebagai bisnis baru. Bak gayung bersambut, dia ditawari space oleh manajemen Citimall untuk membuka kafe. Riset, perhitungan matang, dan strategi pemasaran pun disiapkan sebelum menerima tawaran itu pada medio 2017 lalu.
”Untuk saat ini memang traffic belum begitu tinggi. Mall ramai hanya saat hari libur atau week end. Tapi saya optimis, usaha di mall punya prospek bagus. Apalagi ini satu-satu mall di Sampit. Cepat atau lambat, ini akan menjadi tujuan favorit masyarakat,” ujar pemilik RM Batu Mandi ini.
Dia juga tak gentar ketika harus bersaing dengan sejumlah kafe yang cukup berkelas di Kota Sampit. Seperti Nineball, Eight Gram, dan Storia.
”Ada sejumlah kompetitor, tapi di luar mall. Dilihat dari sisi produk, mungkin tidak beda jauh. Perbedaan paling signifikan hanya lokasi. Punya saya di mall,” tutur pria yang juga Ketua Majelis Daerah Korps Alumni Himpunan Mahasiswa Islam (KAHMI) Kotawaringin Timur ini.
Dia mengungkapkan, tantangan terbesar dalam bisnis kuliner bukanlah modal, tapi sumber daya manusia. Urusan karyawan bukan hanya soal gaji. Owner juga harus bisa membuat karyawan enjoy.
”Persoalan SDM sangat vital. Banyak usaha kuliner yang jatuh setelah kehilangan tenaga produksi, baik itu koki atau barista. Ini membuat konsistensi kualitas produk tidak terjaga. Dampak ikutannya, kehilangan customer,” katanya.
Bisnis kuliner juga butuh kreativitas. Pengusaha tidak hanya buka usaha lalu menunggu konsumen datang. Tapi dibutuhkan ide-ide segar untuk menggaet pelanggan baru maupun mempertahankan pelanggan yang sudah ada. (yit)