SAMPIT –Pemberlakuan Peraturan Kementerian Perdagangan (Permendag), nomor 38 tahun 2017 soal larangan ekspor rotan sebagai bahan baku, membuat Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Kotim bersikap. Seperti ditegaskan Sekretaris Daerah (Sekda) Kotim, Halikinnoor bahwa pihaknya bakal mengagendakan Judicial Review (uji materi) ke Mahkamah Konstitusi dalam waktu dekat.
Dikatakan, jajaran Pemkab Kotim akan melakukan rapat terlebih dahulu, seperti dengan perwakilan petani rotan, pengusaha dan perajin rotan.
”Nanti akan saya adakan pertemuan dengan pihak terkait soal permendag rotan tersebut. Sebab, sampai hari ini saya belum tahu maksud pemerintah pusat mengeluarkan peraturan larangan ekspor rotan mentah itu,” ujarnya, Kamis (19/4) pagi, kemarin.
Halikin melanjutkan, Permendag itu mengakibatkan para petani dan pelaku industri rotan di Kotim ketar-ketir. Sebab, dilarangnya ekspor bahan baku rotan, menyebabkan harga rotan mentah tak stabil. Hal itu juga berimbas pada sektor ekonomi kreatif di Kotim.
”Untuk ke depan, saya harapkan sektor ekonomi/industri kreatif di Kabupaten Kotim dapat berkembang dan lebih baik. Tentunya, saya akan mengupayakan hal itu semaksimal mungkin,” imbuhnya.
Sebelumnya, Dani (40) seorang perajin rotan yang ada di Jalan Usman Harun, Sampit mengeluhkan minimnya pasokan rotan sebagai bahan baku pembuatan kerajinan.
Ia mengaku, untuk membuat kerajinan pesanan pelanggan, terpaksa harus memesan rotan dari Banjarmasin, Kalimantan Selatan. Harga yang dipatok juga tak murah. Sekira Rp 40 ribu hingga Rp 50 ribu per kilogram.
”Butuh perjuangan keras mempertahankan industri ini (kerajinan rotan). Sebab, pasokan bahan bakunya minim,” cetusnya.
Dengan demikian, sektor pariwisata pada industri kreatif tak maksimal. Bahkan kini, pengrajin rotan di Sampit hanya tersisa 10 orang saja. Selain itu, pangsa pasarnya juga masih belum jelas. Padahal, program kerja pemerintah salah satunya adalah mendidik para pengrajin agar mengembangkan market place (pangsa pasar). (ron/gus)