SAMPIT - Tidak adanya kasus politik uang yang ditangani Bawaslu Kotawaringin Timur membuktikan bahwa pengawasan masih lemah. Nihilnya tangkapan kepada pelaku politik uang ini sudah diprediksi sejak awal.
”Politik uang ini terjadi melalui sistem dan masif. Kalau pengawasnya tidak tersistem dan masif juga di lapangan, maka kalah dengan caleg dan timsesnya,” kata Agung Adisetiono, praktisi hukum dan pemerhati politik, Minggu (21/4).
Agung menekankan, politik uang yang terjadi ini memanfaatkan kelemahan pengawas sekaligus memanfaatkan kondisi masyarakat yang mengharapkan uang dari caleg.
”Ini tergantung kita semua saja, apakah dipertahankan budaya politik transaksional itu atau diakhiri? Salah satu cara mengakhiri, berikan efek jera. Seret pelaku dan penerima ke pengadilan,” kata dia.
Agung mengakui bahwa kemampuan jajaran Bawaslu untuk menangkap politik uang yang terjadi itu masih lemah akibat personel yang di lapangan tidak punya kemampuan untuk melakukan tangkap tangan.
”Memang untuk tangkap tangan pelaku itu punya risiko besar, bisa-bisa jadi sasaran amuk massa,” katanya.
Berbeda apabila tangkap tangan dilakukan polisi, maka masyarakat berpikir dua kali untuk melawan. ”Mestinya bentuk tim yang unsur di dalamnya ada polisi dan jaksa sehingga bisa melakukan operasi di lapangan untuk menangkap pelaku,” kata dia.
Dia menyebutkan tidak ada gebrakan Bawaslu Kotim tahun ini. Padahal pada pemilu sebelumnya, Bawaslu Kotim menangani kasus politik uang.
”Lebih bagus di pemilu sebelumnya, ada tangkapan. Kalau kini nihil, artinya mundur kinerjanya. Ssementara di lapangan, peredaran uang itu bukan rahasia lagi,” kata dia.
Sementara itu Ketua Bawaslu Kotim Muhammad Tohari mengatakan, selama patroli dilakukan, belum ada satu pun temuan atau operasi tangkap tangan (OTT) terhadap caleg yang menyogok masyarakat.
”Selama ini, apakah masyarakat sebagai penerima mau terbuka dengan Bawaslu? Padahal sudah kami sampaikan berkali-kali, masyarakat sebagai penerima berhak melaporkan dan tidak perlu khawatir karena tidak akan sampai diproses hukum,” kata Tohari, Sabtu (20/4).
Menurutnya, penindakan politik uang bisa diberantas ketika ada kerjasama antara Bawaslu dan masyarakat. Tetapi, jika selama ini masyarakat bungkam dan tidak mau melaporkan, justru akan sulit ditindaklanjuti karena masih samar dan tidak ada ketidakjelasan.
”Pemberi jelas bungkam, tetapi penerima seharusnya mau melaporkan ke Bawaslu. Namun, baik pemberi maupun penerima memilih bungkam. Kalau bungkam, apa yang mau ditindak? Untuk bisa ditindaklanjuti harus memenuhi syarat ada pelapor, terlapor, bukti, dan temuan. Tetapi sejauh ini itu tidak ada,” katanya.
Tohari menegaskan, masyarakat harus bisa menolak ketika adanya serangan fajar. Jika segala bentuk politik uang diterima masyarakat, hal itu justru akan membuat proses demokrasi semakin rusak.
Di samping itu, masyarakat yang selama ini menerima sejumlah uang, bisa menjadi bukti bahwa kesejahteraan masyarakat belum optimal, sehingga untuk mencegah hal itu terjadi diperlukan pemahaman pendidikan politik sejak dini.
”Pendidikan politik pada masyarakat itu sangat penting dan harus dibangun sejak dini. Jangan hanya saat pemilu saja. Jadi, masyarakat yang cerdas sudah bisa berpikir kritis. Kalau ada oknum caleg yang menawarkan sejumlah uang, tidak asal terima tetapi dipikirkan dampaknya,” ujarnya. (ang/yit)