Menjadi guru sekolah bagi para penderita difabel berbeda dengan guru sekolah umumnya. Tugas mereka tergolong lebih berat dan harus lebih sabar.
DINTYA AYU PURIKA, Sampit
Memberikan motivasi menjadi misi utama Maspidah (49), guru bagi anak-anak penyandang difabel di Sekolah Luar Biasa Negeri 2 Sampit. Selain memotivasi, misi Maspidah lainnya menemukan bakat terpendam setiap anak didiknya.
Baginya, selembar ijazah bagi mereka tidak akan berguna. Tapi, kalau mereka ditanamkan rasa percaya diri dan kemampuan mereka digali, setelah lulus sekolah, kemungkinan besar ada orang yang akan memanfaatkan kemampuannya.
”Memang tidak mudah mengajar murid-murid yang memiliki kebutuhan khusus. Kebutuhan setiap anak berbeda-beda, karena apa yang disandang setiap anak kan berbeda,” kata Maspidah, Kamis (27/6).
Setiap pagi, Maspidah harus bergegas ke sekolah. Dengan sabar dan telaten, dia mengajarkan beberapa mata pelajaran kepada masing-masing anak didiknya. Meskipun terkadang saat dijelaskan materi pelajaran ada yang bermain sendiri dan asyik dengan dunianya, dia tetap bersabar menghadapinya.
”Setiap anak itu beda kemampuan dan ketunaan yang disandangnya juga berbeda-beda. Kami tidak bisa menyamaratakan mereka,” ujarnya.
Maspidah sendiri sebenarnya juga menyandang tuna daksa atau cacat tubuh. Kaki sebelah kanannya sejak lahir sudah tidak ada. Dia terlahir dengan kaki hanya sebelah kiri.
Secara fisik, dia tak nampak seperti penyandang difabel. Hal itu karena dia mengenakan busana berhijab. Namun, ketika berjalan, akan tampak kakinya hanya satu. Dengan bantuan sebilah tongkat kayu, dia mampu berjalan lincah layaknya orang normal biasa.
”Saat sekolah, banyak yang mengejek saya. Mereka bilang saya anak pincang? Mereka selalu memanggil saya pincang...pincang...!” tuturnya.
Meski jadi korban perundungan, Maspidah mengaku tak pernah mau disekolahkan orang tuanya ke sekolah luar biasa. Dia hanya mau menempuh pendidikan di sekolah umum.
Menurut Maspidah, orang tuanya memberikan dukungan padanya. Apabila tetap ingin di sekolah umum, tidak boleh marah apabila ada orang mengejek atau menghina. ”Apabila mereka menghina saya itu sama saja mereka menghina Tuhan,” katanya.
Setelah lulus SMK, Maspidah bertekad melanjutkan ke Universitas Negeri Palangka Raya. Dia masuk jurusan Ekonomi Manejemen. ”Orang tua selalu bilang, meski saya cacat, tapi saya harus bisa melakukan semua pekerjaan sendiri. Tidak boleh manja,” katanya.
Pada tahun 2009, Maspidah mencoba ikut tes CPNS, namun tidak lolos seleksi. Dia tak putus asa dan mencoba sampai tiga kali, meski gagal terus. ”Akhirnya, suatu ketika ada ujian untuk seleksi sertifikasi guru, alhamdulillah saya lolos waktu itu. Beberapa tahun kemudian saya mendapatkan beasiswa untuk melanjutkan studi mengambil jurusan Pendidikan Luar Biasa di Universitas Lambung Mangkurat,” katanya.
Beberapa tahun kemudian, lanjut Maspidah, ada pengangkatan K-2 bagi guru honor yang sudah puluhan atau belasan tahun mengabdi. ”Alhamdulillah saya lolos ujian CPNS kategori pengangkatan K-2. Terus sejak tahun 2014 hingga 2019 ini saya diangkat sebagai Ketua Himpunan Wanita Disabilitas Indonesia Kabupaten Kotawaringin Timur (Hawidiki),” tandasnya. (rm-97/ign)