Lokalisasi Desa Sungai Pakit cukup mentereng di Kalimantan Tengah. Lokalisasi yang dulu dikenal dengan kompleks simpang Amin Jaya (sebelum Sungai Pakit dimekarkan), selain daya tarik perekonomian, kompleks prostitusi berkedok wisma karaoke ini seakan menjadi salah satu daya tarik tersendiri bagi siapa saja yang mengunjungi Kecamatan Pangkalan Banteng.
Lokalisasi yang menyediakan minuman keras berbagai merek lokal dan impor asli maupun KW tersebut, juga cukup dikenal dengan keberagaman pelacur yang siap diajak kencan di wisma karaoke. Mulai dari remaja hingga paruh baya yang nekat menjajakan tubuhnya.
Selain tempat bernyanyi dengan kualitas pas-pasan, setiap wisma dilengkapi kamar petak tempat transaksi melepas nafsu syahwat sekaligus sebagai kamar tidur bagi PSK yang ditampung sejumlah mucikari atau biasa disebut mami.
Tokoh masyarakat Desa Sungai Pakit, Supeno, menuturkan, tahun 1997 merupakan awal maraknya usaha prostitusi di wilayah Pangkalan Banteng yang dulu merupakan bagian dari Kecamatan Kumai tersebut. Usaha prostitusi terselubung saat itu muncul karena usaha penebangan kayu dan pertambangan emas di wilayah itu masih menjanjikan.
”Sekitar tahun 1997, mulai berdatangan para wanita penghibur. Pelanggannya ya para sopir truk atau pekerja kayu dan juga penambang emas,” katanya saat dibincangi koran ini, 4 Februari lalu.
---------- SPLIT TEXT ----------
Dengan bermodalkan bangunan kayu, para pemilik usaha prostitusi membuka usahanya mulai dari batas Desa Karang Mulya hingga kawasan simpang Amin Jaya ( bundaran emas). Selain menyaru sebagai warung makan, usaha penjaja cinta sesaat itu juga sudah menyediakan tempat karaoke bagi para pekerja atau bahkan masyarakat yang melintasi Jalan Jenderal Ahmad Yani.
”Awalnya hanya warung makan, namun kemudian mulai ada yang berani mendatangkan perempuan-perempuan. Dulu mereka banyak tersebar di sepanjang batas Desa Karang Mulya hingga simpang Amin Jaya. Ada yang sambil jualan makanan, jual minyak (bensin dan minyak tanah) dan setahun berikutnya mulai terang-terangan menjadi lokasi begituan,” ungkapnya.
Awal mula pengumpulan dan pemindahan warung esek-esek itu bermula pada 1999 yang terus berkembang pesat. Saat itu, pemindahan dilakukan setelah ada rapat dari para tetua desa, tokoh masyarakat, dan Pemerintah Desa Amin Jaya.
Pemindahan harus dilakukan karena di salah satu lokasi tempat berdirinya lokasi prostitusi, akan dibangun sekolah menengah pertama (SMP) yang kini dikenal sebagai SMPN 3 Pangkalan Banteng.
”Mereka harus dipindah dan dijadikan satu ke dalam satu wilayah saja. Kita ngotot, minta mereka pindah karena SMP 3 akan dibangun. Mana mungkin sekolah berdekatan dengan kompleks (tempat prostitusi),” katanya lagi.
---------- SPLIT TEXT ----------
Setelah ada kesepakatan, pemindahan pun dilakukan. Saat itu dipilih lokasi dekat dengan simpang Amin Jaya (bundaran emas). Setelah dipindahkan, perkembangan lokalisasi malah semakin pesat. Meski hanya berada dalam satu jalur, keberadaan lokalisasi tersebut langsung menjadi primadona.
”Dipindahkan dan dijadikan satu, ternyata malah semakin ramai. Banyak pengunjungnya. Waktu itu ada sebagian PSK yang sampai menjajakan diri di pinggir jalan, persis seperti PSK di kota-kota besar,” jelasnya.
Sadar akan bahaya moral yang mengancam anak-anak mereka, warga Amin Jaya kembali bermusyawarah untuk merelokasi wilayah tersebut agar tidak mudah dijangkau dan paling penting, mencegah anak-anak di bawah umur terpengaruh. Rencana tersebut baru bisa terealisasi sekitar tahun 2006 atau setelah dua tahun Kecamatan Pangkalan Banteng terbentuk dan berpisah dari Kecamatan Kumai.
”Sekitar 2006, waktu itu kepala desanya Pak Sarwo. Lokalisasi dipindahkan ke dalam hingga sekarang,” katanya.
Akan tetapi, kejadian serupa rupanya juga terjadi setelah dilakukan pemindahan. Meski lokasi baru berada di tengah perkebunan kelapa sawit, bukannya semakin sepi, justru semakin ramai. Bahkan, saat malam, lokasi itu seolah menjadi denyut nadi kehidupan kedua bagi Kecamatan Pangkalan Banteng, ketika sebagian besar warganya mulai terlelap melepas penat.
”Malah makin ramai dan kini mereka seperti memiliki kehidupan sendiri di lokasi tersebut,” katanya.
---------- SPLIT TEXT ----------
Terkait jumlah penghuni lokalisasi, Sekretaris Desa Sungai Pakit, Ujang Ruswandi mengungkapkan, keberadaan mereka, terutama para pekerja seks komersial (PSK), belum bisa dipastikan. ”Kalau masuk, mereka lapor karena harus membuat surat keterangan domisili. Namun, saat keluar, mereka seenaknya dan tidak ada pemberitahuan,” jelasnya.
Dilihat dari data surat domisili yang ada, Ujang menjelaskan, ada sekitar 121 penghuni di lokasi RT 12 tersebut. Itu tidak termasuk warga yang sudah ber-KTP Sungai Pakit (Kobar).
”Jumlah PSK kita belum bisa pastikan, tapi data catatan surat domisili ada seratus lebih. Kemungkinan 70 sampai 80 persennya adalah PSK. Sisanya sebagian merupakan pengelola atau pekerja lain, seperti penjual makanan atau operator karaoke,” katanya. (sla/ign)