SAMPIT – Pasangan calon bupati dan wakil bupati Kotim Taufiq Mukri-Supriadi (PANTAS) mengapresiasi kinerja guru di masa pandemi Covid-19. Hal itu disampaikan berkaitan dengan peringatan hari guru sedunia yang jatuh pada 5 Oktober 2020 lalu.
”PANTAS mengapresiasi kinerja, pengorbanan, dan perjuangan para guru, terutama di masa pandemi seperti ini," kata Taufiq Mukri, Senin (5/10).
Pandemi Covid-19 berdampak terhadap dunia pendidikan. Peran guru dinilai sangat penting untuk menciptakan generasi muda penerus bangsa.
”Pembelajaran di masa pandemi ini tidak hanya menjadi tantangan tersendiri bagi peserta didik, tetapi juga menjadi pekerjaan rumah bagi guru untuk berupaya dan berinovasi mencerdaskan anak bangsa," ujarnya.
Sistem pembelajaran jarak jauh (PJJ) yang diterapkan di masa pandemi, menuntut guru agar terus berinovasi, mendidik, membimbing, dan memberikan semangat dengan datang ke rumah-rumah murid agar proses pembelajaran terus berlangsung. Semua pengorbanan tersebut tak bisa berjalan seimbang tanpa dukungan pemerintah.
Calon wakil bupati Kotim Supriadi mengaku khawatir dengan kesejahteraan guru di masa kini. Khususnya guru yang ditempatkan di pelosok desa. ”Banyak guru yang ditempatkan di pelosok desa belum sejahtera. Mereka digaji sama dengan guru yang mengajar di kota. Ini harus disesuaikan," katanya.
Menurutnya, guru di desa hanya cukup untuk memenuhi hajat hidup bersama keluarga, sebab gaji tak sebanding dengan biaya hidup yang dikeluarkan.
”Guru yang ditempatkan di desa, apalagi bukan penduduk asli setempat, tentu sangat menyulitkan. Penghasilan habis untuk biaya transportasi dan kebutuhan hidup saja," ujarnya.
Ke depannya, lanjut Supriadi, pemerintah perlu memperhatikan kesejahteraan tenaga pendidik. Tidak hanya guru honor, tetapi juga guru ASN yang ditempatkan di pelosok desa.
”Memberikan insentif untuk guru pendidikan formal maupun nonformal berdasarkan zona jarak ke ibu kota menjadi perhatian kami. Saya yakin pemerintah mampu. Tinggal disesuaikan saja dengan kemampuan keuangan daerah," ujarnya.
Mirisnya, lanjut Supriadi, kesejahteraan tenaga pendidik di pelosok desa dialami Anggiat Rony Siahaan (45), guru SMP 5 Parenggean. Perantau asal Medan ini telah lama tinggal dan menetap di Desa Damar Makmur, Kecamatan Tualan Hulu sejak tahun 1999.
Perjalanan hidupnya di Kotim diawali dengan bekerja di perusahaan sawit sampai tahun 2009. Nasibnya berubah ketika dirinya ditawarkan bekerja menjadi guru. Sejak 2010 hingga sekarang, dia aktif sebagai guru.
Pengalaman pahit hidup sebagai perantau dialaminya. Selama belasan tahun hidup di Desa Damar Makmur hingga sekarang belum ada penerangan listrik. Dengan gaji sebesar Rp 2.008.000, dinilai sulit untuk bertahan. Beban hidupnya lebih ringan setelah dia mempersunting istrinya yang juga bidan setempat.
”Bayangkan saja, dengan gaji saya segitu, setiap hari saya memerlukan lima liter bahan bakar untuk genset yang hanya mampu bertahan dari jam 19.00-12.00 WIB. Setelah itu, setiap hari selama belasan tahun tidur gelap gulita tanpa penerangan," ujar Rony.
Dia juga berkali-kali gagal menjadi PNS, sehingga kecil harapannya untuk bisa hidup sejahtera. ”Sudah berkali-kali mencoba. Gagal. Sekarang menikmati saja menjadi guru honor dengan gaji pas-pasan," ujarnya.
Meski jarak antara rumah dan sekolah hanya sekitar 15 menit, akses jalan tidak mudah. Pasalnya, jika hari hujan, perjalanan tempuh menjadi satu jam lebih lama. ”Masalah saya bukan di ongkos transportasi, tetapi pada perjalanan menuju sekolah. Kalau sudah hari hujan, jalan menjadi bubur," ungkapnya.
”Tidak semua guru yang ditempatkan di pelosok sanggup bekerja di desa. Pemerintah tak peduli. Merintih tak ada yang mendengar. Meratap hanya kepada Tuhan," tandasnya. (hgn/ign)