PANGKALAN BUN - Desa Teluk Pulai, Kecamatan Kumai, Kabupaten Kotawaringin Barat (Kobar) merupakan salah satu desa terisolir yang berada di pesisir pantai Laut Kumai. Desa tersebut diketahui tidak mempunyai akses transportasi darat menuju ibukota kecamatan, maupun menuju desa tetangga seperti Desa Sekonyer dan Sungai Bedaun.
Desa berpenduduk 125 Kepala Keluarga dengan 425 jiwa ini berada di sekitar kawasan Taman Nasional Tanjung Puting (TNTP), rata-rata masyarakat setempat menggantungkan hidupnya dari mata pencaharian sebagai nelayan dan pekebun.
Meskipun terdapat pusat pelayanan kesehatan setingkat Puskesmas Pembantu (Pustu) dan sarana pendidikan, tetapi desa ini menyimpan seribu cerita memilukan, terutama ketika ada salah satu warga yang membutuhkan pelayanan medis lanjutan atau perlu rujukan cepat ke rumah sakit di Kota Pangkalan Bun.
Dengan mengandalkan transportasi kelotok dan speed boat mereka membelah gelombang tinggi untuk mencapai ibukota kecamatan, dengan waktu tempuh menggunakan kelotok mencapai 2,5 jam dan speed boat 1 jam perjalanan laut.
Bila masih kuat bertahan warga yang dalam kondisi sakit bisa selamat hingga mendapat perawatan di RSUD Sultan Imanuddin Pangkalan Bun, tetapi bila tidak, si sakit bisa saja menghembuskan nafas terakhir ketika masih di tengah laut.
“Ini terjadi pada keluarga saya sendiri, mengingat di tengah cuaca buruk harus dirujuk ke rumah sakit, tetapi Allah SWT berkendak lain, beliau meninggal dalam perjalanan,” kata Kepala Desa Teluk Pulai, Kecamatan Kumai, Kabupatsn Kotawaringin Barat, Herliyus Cristian, Senin (19/4).
Ia mengakui bahwa desanya terdapat pusat kesehatan masyarakat dan pusat pendidikan seperti sekolah dasar, tetapi keterbatasan akses berimbas pada kedua fasilitas tersebut terutama ketersediaan dan kelengkapan alat kesehatan.
Disebutkan bahwa ia merupakan kepala desa kelima yang memperjuangkan akses darat (jalan tembus) menuju Desa Sekonyer dan Desa Bedaun, namun upaya tersebut belum membuahkan hasil karena masuk dalam kawasan TNTP.
Ia merasa prihatin dengan masyarakatnya, bila ada yang harus dirujuk ke rumah sakit pada malam hari, biaya speed boat yang dicarternya mencapai Rp 2,5 juta atau dengan kelotok Rp1,5 hingga Rp2 juta. “Terkadang harus menunggu gelombang teduh dulu baru berangkat, itu yang membuat saya sedih dan terus berjuang untuk membuka akses jalan darat, karena dari Sekonyer dan Bedaun lebih dekat ke Kumai,” harapnya.
Ia berharap kepada pemerintah agar memperjuangkan akses jalan tembus tersebut, karena Desa Teluk Pulai ada kehidupan, ada manusianya, jangan ditinggalkan.
Sementara itu Camat Kumai, Yudi Hudaya mengakui bahwa Desa Teluk Pulai merupakan salah satu desa terisolasi di wilayah administratifnya. Dan akses satu-satunya melalui laut.
Untuk akses jalan tembus menurutnya saat ini terus diusulkan, ia mengakui bahwa mekanismenya agak rumit, salah satunya izin pinjam pakai kepada Taman Nasional. “Kami usulkan, mungkin masih dibahas karena mekanismenya memang agak rumit ada izin pinjam pakai untuk Taman Nasional istilahnya di kerjasamakan atau kolaborasi, yang pasti kendala merujuk pasien ketika harus dirujuk, karena akses satu-satulnya melalui laut dan tergantung cuaca,” pungkasnya. (tyo/sla)