SAMPIT – Dua warga Desa Bukit Raya, Kecamatan Cempaga Hulu, menggugat perusahaan tambang PT Sanmas Mekar Abadi. Gugatan itu dilayangkan lantaran lahan yang mereka miliki tidak bisa dikelola karena masuk dalam izin usaha pertambangan (IUP) perusahaan tambang bauksit tersebut.
Gugatan tersebut diajukan melalui Pengadilan Negeri Sampit. Warga yang menggugat, yakni Maideli dan Durahim. Selain PT Sanmas Mekar Abadi sebagai tergugat I, mereka juga menggugat Dinas Energi dan Sumber Daya Mineral Provinsi Kalimantan Tengah sebagai tergugat II.
Sidang gugatan tersebut dipimpin Majelis Hakim Pengadilan Negeri Sampit yang diketuai Ike Liduri dengan agenda lanjutan tahap mediasi, Kamis (21/4). Masing-masing pihak dihadiri kuasa hukumnya,.
Ike mengatakan, pihaknya akan menunjuk seorang hakim mediator atas kesepakatan masing-masing pihak. ”Kami berharap mencapai perdamaian pada tahap mediasi ini,” ujarnya. Akan tetapi, lanjutnya, apabila tidak ada kesepakatan, persidangan tersebut akan dilanjutkan pada agenda pokok perkara.
Deny Arianto, kuasa hukum kedua warga usai sidang mengatakan, pihaknya mengajukan gugatan itu setelah lahan penggugat yang sebelumnya dikerjasamakan dengan Richard Sunaryo terhambat saat ingin melakukan pengurusan izin usaha galian C di Dinas ESDM Kalteng. Pasalnya, areal itu masuk dalam IUP PT Sanmas.
Berbagai upaya telah dilakukan hingga akhirnya gugatan ke pengadilan harus ditempuh. Pada tahapan mediasi, pihaknya berharap PT Sanmas bisa melepaskan lahan warga dari perizinannya, agar masyarakat bisa mengelolanya dengan mandiri.
Maideli memiliki lahan seluas sekitar 2,5 hektare dan Durahim 9.968 meter persegi. Selama ini, katanya, warga kesulitan mengurus legalitas tanah hingga sertifikasi, karena lahan mereka dalam peta perizinan tambang tersebut.
Sementara itu, Martuin, kuasa dari Dinas ESDM Kalteng mengatakan, pihaknya siap mengikuti mediasi. ”Dari pemerintah kami siap sepanjang itu tidak melanggar aturan," ujarnya.
Di sisi lain, M Ridwan Andreas dari pihak PT Sanmas menolak memberikan keterangan pada wartawan usai sidang.
Maideli, salah satu penggugat mengatakan, perusahaan tambang bauksit itu seenaknya memasukkan areal lahannya dan warga lainnya ke dalam izin usaha pertambangan.
”Itu lahan yang kami kuasai secara turun-temurun. Tidak pernah ada pemberitahuan, tidak ada sosialisasi, dan tidak pernah mereka melakukan pembebasan lahan. Tiba-tiba izin mereka ada di situ,” ujarnya.
Menurut Maideli, lahan itu awalnya merupakan areal kebun karet. Karena tidak produktif lagi, pihaknya melakukan kerja sama dengan Richard Sunaryo untuk menggarap galian C. Mereka diberikan kompensasi sebesar Rp 150 juta per hektare. Tanah pascakeruk nantinya akan dikembalikan kepada mereka dan bisa ditanam kembali, untuk kelapa sawit dan karet.
Hal itu dibenarkan Richard. Menurutnya, dia melakukan itu untuk membantu warga, karena lahan itu bernilai, sehingga dia mengelolanya. ”Setelah selesai saya Kelola, tanah kembali ke masyarakat dan masyarakat bisa mengelola lagi. Ada yang sudah mereka tanam. Kalau masyarakat kelola sendiri, mereka perlu biaya besar," ucapnya.
Selain itu, kata Richard, kompensasi yang diberikan kepada warga lumayan besar. Bahkan, dia meyakini lebih besar dari pasaran harga apabila PT Sanmas melakukan pembebasan. Richard ingin PT Sanmas melepaskan lahan warga itu, sehingga saat dia mengelola lahan tersebut, bisa mengurus perizinan usaha galian C.
Richard menjelaskan, pada 10 Agustus 2020, pihaknya ada membuat perjanjian mediasi dengan PT Sanmas. Perjanjian itu memuat beberapa poin, di antaranya Richard Sunaryo bersedia membayar kerugian perusahaan yang diakibatkan penambangan olehnya.
Selain itu, tidak akan melakukan aktivitas penambangan di luar 6 hektare lahan yang telah digarapnya di area perusahaan dan siap bekerja sama dengan perusahaan.
Sebagai informasi, Richard merupakan salah satu pemodal galian C ilegal yang sebelumnya diperiksa Kejari Kotim. Dari pengakuannya pada penyidik, dia berani menggarap usaha galian C di wilayah Desa Bukit Raya dan merambah hutan karena ada restu dari sejumlah pejabat. (ang/ign)