PALANGKA RAYA – Putusan kontroversial Parlas Nababan terkait kasus kebakaran hutan dan lahan saat menjabat Wakil Ketua PN Palembang berujung sanksi. Komisi Yudusial menjatuhkan sanksi nonpalu selama satu tahun untuk Parlas. Parlas yang kini menjabat Ketua Pengadilan Negeri (PN) Palangka Raya terbukti melanggar kode etik.
Sanksi itu terkait putusan majelis Hakim Pengadilan Negeri Palembang yang menolak gugatan perdata Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan atas PT BMH. Saat itu Parlas menyebut membakar hutan tidak merusak lingkungan karena tumbuhan masih bisa ditanam kembali.
Dalam putusan juga disebut gugatan yang menimbulkan kerugian dan kerusakan hayati tidak bisa dibuktikan. Padahal, pada putusan Pengadilan Tinggi, PT BMH terbukti bersalah.
Humas PN Palangka Raya Erwantoni yang dihubungi melalui ponsel mengatakan, hal itu hanya rekomendasi. Pengadilan akan melaksankan nonpalu apabila ada keputusan tetap dari Mahkamah Agung.
”Kami tidak bisa memberikan komentar. Itu baru rekomendasi ke Mahkamah Agung, kecuali ada putusan sebenarnya, kan baru proses,” katanya, Jumat (23/9).
Dihubungi terpisah, Direktur Eksekutif Walhi Arie Rompas mengatakan, sanksi itu bisa jadi pelajaran agar hakim yang menangani kasus lingkungan memiliki latar belakang pengetahuan tentang lingkungan. Dengan demikian, putusan yang dihasilkan lebih profesional.
Arie menilai, dengan pengetahuan lingkungan, kasus diputuskan bisa memberikan substansi rasa keadilan, karena selama ini kasus lingkungan disinyalit banyak permainan. Terlebih menyangkut dengan perusahaan besar yang memiliki jaringan ke pengadilan.
Dia menegaskan, putusan KY sudah maksimal dan harus dilaksanakan Mahkamah Agung. ”Putusan KY sudah menjadi hukuman publik bagi Parlas Nababan selain hukuman dari internal Mahkamah Agung. Sebab, perilaku dan putusan dari yang bersangkutan tidak mencerminkan rasa keadilan,” pungkasnya. (daq/ign)