SAMPIT – Ritual tiwah, puncak dalam prosesi kematian bagi umat Hindu Kaharingan, digelar di Desa Palangan, Kecamatan Kotabesi. Ritual upacara untuk mengantarkan roh atau arwah menuju Lewu Tatau (surga, dalam bahasa sangiang) itu dilaksanakan salah satu keluarga untuk tiga anggota keluarganya yang telah meninggal dunia puluhan tahun lalu.
Masyarakat desa palangan yang sebagian besar menganut agama hindu kaharingan turut hadir untuk membantu dan menyaksikan acara tersebut. Pada ritual tersebut, pihak keluarga mengurbankan satu ekor kerbau, satu sapi, tiga ekor babi, dan tiga ekor ayam yang menjadi simbol dari jumlah jenazah yang ditiwahkan.
Ritual tiwah tersebut berjalan cukup hikmat, meskipun sempat terjadi keributan gara-gara kerbau yang dikurbankan mengamuk dan hampir lepas dari ikatannya, hal tersebut tak mengganggu jalannya proses acara.
”Umat Hindu Kaharingan percaya bahwa dengan dilaksanakannya ritual ini, roh keluarga yang ditiwah sudah mencapai ke lewu tatau,” kata Marjono Tusie Tupai Dirik, Damang Kecamatan Kotabesi usai menghadiri ritual tiwah, Minggu (16/10).
Marjono menuturkan, sebelum tiwah, ada dua ritual lainnya yang perlu dilaksanakan, yakni palas mate atau prosesi awal ketika jenazah baru meninggal dan nyorat, tahapan kedua yang tingkatannya saparuh dari tiwah.
Dia menjelaskan, untuk tiwah banyak tahapan yang harus disiapkan, mulai dari membangun balai dan menyiapkan tempat pelaksanaan tiwah pada hari pertama, mendirikan sekaraya atau tempat bambu dan tombak untuk hewan kurban di hari kedua, dilanjutkan pembongkaran tulang jenazah yang sudah dikubur dan ditempatkan dalam balai. Kemudian, laluhan atau mengantarkan segala keperluan untuk upacara tiwah, seperti beras, hewan kurban, dan peralatan lainnya.
Barulah pada hari ketiga acara puncaknya, yakni membacakan doa dan ngajan (mempersembahkan hewan kurban). Setelah jenazah kembali dimakamkan, pada hari keempat peralatan untuk tiwah dibawa masuk ke dalam rumah keluarga yang melaksanakan acara tersebut dan dilakukan ritual penutupan. Tiga hari setelahnya, pihak keluarga yang ditinggalkan perlu melakukan upacara penyucian diri.
”Tiwah ini sebagai bentuk kasih sayang dan balas budi keluarga yang masih hidup pada saudara mereka yang sudah meninggal. Mau itu upacaranya cuma sampai nyorat atau bahkan palas mate, kalau memang cuma di situ kemampuannya ya tidak bisa dipaksakan, tapi roh keluarga yang meninggal tetap akan sampai ke lewu tatau,” jelas Marjono.
Menurutnya, ritual tiwah tergolong relatif dilaksanakan. Artinya, wajib untuk keluarga yang mampu, tapi bagi yang tidak mampu tidak perlu dipaksakan. Akan tetapi, apabila ada kesempatan, misalnya dengan cara kongsi atau mengikuti tiwah massal yang diselenggarakan oleh pemerintah, ritual tetap bisa terlaksana.
Seiring dengan perkembangan zaman dan peningkatan pembangunan, tiwah yang awalnya hanya ritual keagamaan, diangkat menjadi salah satu upacara adat atau budaya yang kemudian dikemas sebagai salah satu aset wisata. Hal ini pun disambut baik umat Hindu Kaharingan, karena pemkab pun turut menyalurkan bantuannya, yakni dengan pelaksanaan tiwah massal setiap tahun.
”Kami sangat mendukung program pemerintah tersebut, karena dengan digelarnya tiwah massal tentu akan sangat membantu keluarga kurang mampu untuk melakukan ritual puncak dalam prosesi kematian sanak saudara mereka,” pungkasnya.
Akan tetapi, meski dikemas dalam upacara adat, tiwah tetaplah bagian dari ritual keagamaan, karena setiap tahapan menggunakan cara umat Hindu Keharingan. Namun, jika dilihat dari nilai seninya, boleh disebut sebagai upacara adat atau budaya khas Dayak. (vit/ign)