SAMPIT – Sekitar 35 dokter di kota Sampit menggelar aksi damai di depan rumah sakit umum daerah (RSUD) Murjani Sampit Jalan HM Arsyad, Senin (24/10). Aksi yang dilakukan bertepatan dengan hari dokter nasional ke-66 itu sebagai bentuk penolakan terhadap wacana Kementerian Kesehatan (Kemenkes) dan Kementerian Riset Teknologi Pendidikan Tinggi (Ristekdikti) yang akan menggulirkan Program Pendidikan (Prodi) Dokter Layanan Primer (DLP).
”Aksi ini merupakan wujud aspirasi kami sekaligus menindaklanjuti imbauan dari IDI (Ikatan Dokter Indonesia) pusat kepada IDI di setiap wilayah untuk melakukan aksi damai menolak Prodi DLP yang akan digulirkan Kemenkes dan Ristekdikti,” kata Moch Choirul Waro, Ketua IDI Cabang Kotim di sela aksi damai.
Diberlakukannya Prodi DLP, lanjutnya, justru akan berdampak negatif, yakni pemborosan biaya, waktu, dan berpotensi merugikan masyarakat. Pemborosan biaya, baik untuk dokter pribadi maupun pemerintah dengan dikeluarkannya bantuan biaya pendidikan dari APBN.
Pemborosan waktu, karena selama ini untuk menjadi dokter memerlukan waktu pendidikan minimal 8 tahun, yakni pendidikan dasar 4 tahun, profesi 2 tahun, dan wajib intensif selama setahun. Belum lagi mengurus administrasi agar mendapat surat tanda registrasi (STR) memerlukan waktu sekitar setahun.
Jika ditambah dengan Prodi DLP selama tiga tahun, total waktu pendidikan menjadi 11 tahun. ”Bayangkan, begitu lama waktu yang harus ditempuh selama pendidikan, hanya untuk menjadi dokter di fasilitas layanan primer, seperti puskesmas dan klinik kesehatan pratama di kawasan perkebunan,” ujarnya.
Terlebih lagi, dengan adanya Prodi DLP, dokter yang mengikuti program tersebut harus kembali mengikuti pendidikan selama tiga tahun dan meninggalkan tempat bertugas. Otomatis pasien akan terlantar atau tidak ada yang menangani. Hal itu akan merugikan masyarakat.
Tujuan digulirkannya Prodi DLP, menurutnya, memang baik, yakni untuk meningkatkan kualitas pelayanan di fasilitas layanan primer. Akan tetapi, hal itu tidak bisa hanya difokuskan pada peningkatan kualitas dokter, sementara banyak faktor lain yang memengaruhi kualitas pelayanan tersebut, seperti ketersediaan dan kesinambungan obat-obatan, serta sarana-prasarana medis yang belum memadai.
”Oke lah, niatnya mau memperbaiki SDM, tapi kami di IDI juga punya program untuk meningkatkan kualitas dokter di fasilitas layanan primer, tidak perlu kuliah lagi tiga tahun. Salah satunya dalam bentuk modul yang bisa dibimbing dari pusat, pembelajaran jarak jauh, sehingga mereka tidak perlu meninggalkan tempat bertugas dan pasien tetap terlayani,” tutur Waro.
Dia menambahkan, di IDI pusat ada 33 kolegium dan masing-masing kolegium di provinsi dibawahi 50 dokter ahli. Dokter ahli inilah yang berkewajiban memberikan pendidikan tambahan dalam rangka meningkatkan kualitas dokter di fasilitas layanan primer.
Pembelajaran dilakukan dengan sistem jarak jauh. Dalam satu tahun dokter bisa menyelesaikan sekitar lima modul pembelajaran yang kualitasnya sama baiknya dengan perkuliahan. (vit/ign)