Polemik parkir selalu menjadi dinamika sebuah kota. Uang yang dikeluarkan setiap pengendara memang tak seberapa, namun kerap mengundang perkara. Parkir juga tak hanya bicara uang semata. Perwajahan kota menjadi taruhannya.
LAPORAN RADO dan AMIRUDIN
Teriknya matahari tak dihiraukan pria berompi orange siang itu. Pria itu sibuk lalu lalang mengatur setiap kendaraan yang masuk dan keluar. Pengendara yang akan keluar dari areal parkir pusat perbelanjaan itu, dihampiri dan dipungut bayaran atas jasanya memarkir ”kuda besi” (kendaraan, Red).
Seorang pengendara motor yang berniat pergi, merogoh kantong celananya. Selembar uang seribu rupiah diserahkan ke pria yang bertugas sebagai juru parkir itu. Melihat lembaran uang seribu itu, sang juru parkir tak terima. Dia meminta tambahan Rp 1.000 untuk upah jasanya.
"Masa seribu? Dua ribu Mas. Kalau hilang kita kan tidak cuma jaga motor, tetapi helmnya juga," kata juru parkir itu.
Tanpa banyak tanya, pria itu kembali merogoh dompet di kantong belakang celananya. Dia mencari lembaran uang dua ribuan dan langsung menyerahkannya pada juru parkir itu. "Karcisnya mana mas?" kata pengendara itu sebelum berlalu.
”Di sini nggak pakai karcis. Biaya parkir memang segitu?" balas juru parkir itu. Sang pengendara itu pun pergi tanpa bertanya lagi, meski raut wajahnya terlihat agak kesal. Tak hanya pengendara itu yang ditarik lebih dari seribu. Beberapa pengendara motor lain yang memberi dengan uang Rp 1.000, selalu diminta lebih.
Sejumlah pengendara agak merasa heran karena harus mengeluarkan uang lebih dari ketentuan. Apalagi di lokasi parkir itu terpasang spanduk bahwa biaya parkir untuk sepeda motor hanya Rp 1.000. Akan tetapi, mereka seolah tak berdaya ketika sang juru parkir meminta lebih dari itu.
"Percuma juga mendebat masalah seperti ini, hanya membuang-buang waktu. Lebih baik beri uangnya dan pergi," kata Imam, salah seorang pengendara.
Kondisi nyaris serupa juga terjadi di sejumlah lokasi parkir lainnya. Dari penelusuran Radar Sampit selama September lalu, rata-rata pungutan parkir mencapai Rp 2.000. Namun, ada juga sejumlah juru parkir yang tak mempermasalahkan meski pengendara memberi seribu rupiah, sesuai ketentuan pemerintah.
Seorang juru parkir di kawasan Patung Jelawat bahkan terang-terangan mengatakan, aturan pemerintah tentang retribusi parkir terabaikan. Plang yang memuat regulasi mengenai besaran pungutan parkir untuk semua jenis kendaraan, seolah hanya menjadi hiasan.
"Waduh, itu cuma aturan saja Mas. Kemarin sempat ribut dan bupati perintahkan harus patuhi aturan, tapi di lapangan sih tetap saja (melawan aturan)," kata juru parkir yang menolak namanya disebutkan itu.
Sengkarut pengelolaan parkir merupakan potret buram permasalahan yang tak pernah bisa diselesaikan. Pungutan liar di luar ketentuan menjadi hal biasa. Sebagian besar warga enggan mempermasalahkan karena uang yang dikeluarkan memang tak seberapa.
Mengacu Perda Kotim Nomor 20 Tahun 2010 yang mengatur tarif parkir, kendaraan roda dua sejatinya hanya ditarik Rp 1.000 dan mobil Rp 3.000. Selain itu, setiap penarikan retribusi parkir harus menggunakan karcis. Akan tetapi, dalam penerapannya, nyaris tak ada parkir yang menggunakan karcis tersebut.
Warga yang keberatan jarang terang-terangan. Protes biasanya kerap disampaikan melalui media sosial atau pesan ruang publik yang disediakan Radar Sampit. Bahkan, beberapa waktu lalu, sempat menyebar pesan berantai yang mengkritik pengelolaan parkir di Sampit, hingga sindiran halus yang menyebut Sampit lebih cocok disebut sebagai Kota Parkir.
Penelusuran Radar Sampit, pungutan di luar ketentuan yang dilakukan para jukir bukan tanpa alasan. Sebagian dari mereka mengaku harus memungut lebih besar agar memenuhi target setoran pada pengelola parkir. Besarannya beragam, sesuai lokasi dan potensi parkir yang dikelola.
Seorang juru parkir mengatakan, mereka harus kejar setoran kepada pemilik lahan parkir. Dalam satu malam, dia wajib menyetor uang sebesar Rp 15 ribu. "Memang segitu angkanya, walaupun hari hujan, ya, wajib setor. Tapi, kadang kalau ramai di malam tertentu bisa saja banyak untungnya, bisa sampai 40 ribu," kata Jukir yang selalu mangkal di Taman Kota Sampit ini.
Kepala Dinas Perhubungan, Komunikasi, dan Informasi (Dishubkominfo) Kotim Fadlian Noor mengakui banyaknya juru parkir yang tidak mematuhi aturan dengan memungut uang lebih dari yang ditentukan. Untuk mengatasi itu, pihaknya berencana menggunakan sistem parkir modern.
"Regulasinya memang hanya seribu rupiah untuk sepeda motor. Paling banyak dikeluhkan memang kendaraan roda dua," kata Fadlian, Senin (14/9).
Fadlian mengaku telah beberapa kali menyampaikan imbauan kepada jukir agar tetap mematuhi aturan soal pungutan. Namun, pengawasan tetap tak bisa maksimal. Apalagi jumlah zona parkir di Kotim cukup banyak, yakni mencapai 36 titik yang tersebar di sejumlah lokasi.
Solusi yang diberikan Fadlian hanya meminta masyarakat agar tak menuruti keinginan jukir nakal. Dengan perlawanan dari masyarakat, dia yakin masalah pungutan parkir di luar ketentuan bisa diselesaikan.
”Jangan mau membayar lebih. Selain akan menjadi kebiasaan, jukir yang lain juga akan ikut-ikutan memungut lebih. Jika membayar parkir dengan uang lebih, mintalah kembaliannya, jangan dibiarkan meski hanya seribu rupiah saja,” katanya.
Saran yang diberikan Fadlian justru kerap memicu konflik. Jukir kerap menolak jika dibayar sesuai ketentuan dan bersikeras meminta Rp 2.000. Tak jarang adu mulut kecil terjadi dan pengendara kerap mengalah.
Lebih lanjut Fadlian mengatakan, jukir tak hanya bertugas mengatur parkir agar tak semrawut, namun bertanggung jawab penuh terhadap keamanan kendaraan. Apabila kendaraan atau helm hilang, jukir harus bertanggung jawab mengganti kerugian pemilik kendaraan.
”Jika ada kehilangan maka jukir yang harus mengganti. Makanya jika parkir harus di tempat aman dan ada jukirnya. Jangan hanya memungut seribu, tapi hilang helm, tapi tidak diganti. Jika tidak mau datangi penggelolanya,” ujar Fadlian.
Untuk jangka panjang, pihaknya berencana menerapkan parkir modern. Dengan pengelolaan seperti itu, masalah pungutan liar parkir diyakini bisa diselesaikan. Dalam parkir modern, warga hanya masuk memgambil karcis dan keluar menyerahkan karcis.
”Jukir tidak memungut uang lagi, hanya mengawasi dan penggelola pun aman. Misalkan berapa lama dia parkir, itu juga akan dihitung,” katanya.
Pemasukan Rp 2,1 Miliar
Sektor parkir merupakan salah satu sumber pendapatan asli daerah (PAD ). Dalam setahun, retribusi parkir menyumbangkan angka sebesar Rp 2,1 miliar dari 36 zona parkir yang dikelola pihak ketiga. Padahal, potensi parkir sejatinya lebih besar dari itu. Pembenahan harus dilakukan agar pendapatan yang masuk optimal.
”Masalah perparkiran di Kotim harus segera dibenahi. Jika selama ini dikelola pihak ketiga, maka ke depannya perlu pemerintah langsung yang mengelolanya agar PAD bisa lebih besar dan bermanfaat bagi pembangunan daerah," kata Ketua Komisi IV DPRD Kotim Jainudin Karim.
Menurut Jainudin, lokasi parkir di Kotim terus bertambah, namun hal itu tidak diiringi bertambahnya PAD. ”Sampai saat ini kami masih belum mengetahui mengapa PAD parkir masih kecil. Permasalahan ini akan segera kami evaluasi bersama dinas dan instansi terkait," katanya.
Dari pungutan parkir di lapangan, hanya 25 persen yang diterima daerah, sedangkan sisanya menjadi hak pihak ketiga. ”Saya berpendapat kalau pemkab sendiri yang mengelolanya. Hasilnya akan sangat memuaskan untuk PAD kita," tegasnya.
Jika parkir di fasilitas umum atau milik pemerintah dikelola dengan sistem yang baik, lanjut Jainudin, selain memberikan keuntungan pada daerah, juga akan membuka peluang kerja yang bagus dan efisien. Petugas parkir akan mendapatkan gaji tetap dari pemerintah dan bisa mencegah terjadinya pungutan liar atau tak sesuai ketentuan. (ang/rm-66/ign)