SAMPIT – Penertiban galian C yang dilakukan aparat berdampak terhadap terhambatnya pembangunan yang dilakukan warga. Material seperti pasir atau tanah uruk tak bisa dipasok, karena selama ini berasal dari galian C yang ditertibkan. Di sisi lain, pemerintah mendorong agar pengusaha mengurus izin dan usaha itu bisa jalan selama izin berproses.
”Karena galian C itu dirazia, imbasnya juga ke kami, buruh bangunan. Apa yang dikerjain kalau pasir cor dan tanah uruknya kosong? Nggak ada yang berani mengantar,” kata Riswan, salah seorang buruh bangunan, kemarin (13/4).
Riswan menuturkan, penertiban itu juga berimbas pada pihak yang bersinggungan dengan pekerjaan material. ”Saya yakin kalau sebulan saja dihentikan semua, lihat saja efeknya. Pemerintah itu juga sama, pasir mereka yang gunakan ilegal juga. Artinya, sama juga menggunakan barang ilegal,” kata dia.
Riswan mengaku sebelum penertiban, sehari bisa bisa mendapat upah sebesar Rp 120 ribu. Namun, setelah penertiban, kini dia menganggur. ”Intinya, kami harapkan pasir bisa jalan lagi, biar semuanya sama-sama enak,” katanya.
Sementara itu, rapat lintas instansi terhadap permasalahan galian C sudah dilakukan di tingkat Pemkab Kotim. Hasil kesepakatan itu akan dibawa kepada Pemprov Kalteng. Salah satunya adalah permintaan untuk bisa beraktivitas kembali sembari perizinan diurus.
”Akan tetapi, dalam rapat itu disepakati bagaimana saat proses izin berjalan, usaha itu bisa berjalan. Namun, dengan batas waktu yang diberikan," kata Rudianur, Ketua Komisi II DPRD Kotim.
Dalam rapat yang dilaksanakan di aula setda Kotim yang dipimpin Asisten II Halikinoor, Rabu (12/4) lalu itu, juga disepakati penertiban tetap dilakukan. Meski demikian, agar tidak berdampak luas, ada beberapa solusi yang bakal dilakukan.
Satpol PP akan segera mendata pengusaha agar segera mengurus perizinannya. ”Dengan demikiaan, solusi diharapkan dapat menyelesaikan dampak luas terhadap galian C ini. Namun, ke depan pasir atau tanah yang bisa dikeruk dari Jalan Jenderal Sudirman km 12 ke atas,” katanya.
Kawasan yang boleh dikeruk, lanjutnya, hanya 500 meter dari jalan, sementara batasan satu kilometer dari jalan sudah tidak bisa, karena masuk kawasan hutan. Begitu juga dari km 12 ke arah Kota Sampit.
Hal itu diperingatkan karena kawasan selebihnya merupakan hutan produksi. Apabila berani sembarangan menggarapnya, bisa berujung pidana. Namun, apabila ingin tetap bekerja, perizinannya atau pelepasan kawasan wajib diurus di tingkat pemerintah pusat.
”Yang bisa dikeruk hanya kawasan APL saja. Jadi, tidak lagi pengerukan dilakukan semaunya seperti sekarang ini," tegas Rudianur.
Guna memastikan areal yang tidak masuk kawasan hutan produksi (HP), yang bisa dikeruk galian C menurut Rudianur, yang menentukan dari Dinas Pekerjaan Umum dan Penataan Ruang (PUPR).
”Sehingga kita sangat mendukung dengan penertiban ini, agar pengusaha segera mengurus izin. Namun, terkait solusi yang dinginkan, belum bisa dilakukan karena dalam beberapa hari ini akan dikonsultasikan kepada gubernur, apakah disetujui atau tidak," ujar Rudianur. (ang/ign)