KASONGAN - Anggota DPRD Katingan mendukung rencana SOPD yang hendak melaksanakan ritual mapas lewu (tolak bala). Wacana itu kembali menyeruak seiring banyaknya bencana di Katingan.
Ketua DPRD Katingan Igantius Mantir Ledie Nussa mengatakan, suku Dayak sejak zaman dahulu mempercayai bahwa segala bentuk pelanggaran atau dosa yang cukup berat harus dikenakan hukum adat berupa singer (denda) hingga mapas lewu atau ritual adat untuk menjauhkan masyarakat dari mara bahaya.
"Untuk itulah kami menunggu kesiapan dari SOPD yang bersangkutan, kapan kira-kira dilaksanakan mapas lewu tersebut. Ritual ini harus dilakukan, karena adanya suatu persistiwa atau kejadian yang berhubungan dengan perbuatan yang tidak baik. Apalagi dilakukan oleh pejabat nomor satu di Katingan saat itu," ungkapnya, Senin (11/9) kemarin.
Ritual mapas lewu dilakukan guna menghindari kehidupan masyarakat Katingan dari segala musibah maupun pertikaian. Para tokoh adat percaya, apabila tidak dilakukan segera maka akan menimbulkan bencana atau musibah susulan yang lebih besar. Upaya tolak bala diharapkan mampu menciptakan suasana kerukunan dan keharmonisan antara manusia dengan alam. Mapas lewu dapat diartikan sebagai upacara tolak bala.
"Dalam tahun 2017 saja, sudah terjadi tiga kali musibah banjir yang cukup besar dan sangat merugikan masyarakat. Padahal sejak berdiri tahun 2002 lalu, tidak pernah sekalipun datang musibah banjir sebegitu parah dengan waktu yang sangat berdekatan," tukasnya.
Kini masyarakat kembali dikejutkan dengan raibnya sebagian besar uang di APBD Kabupaten Katingan 2014 sebesar Rp 35 miliar yang disimpan di salah satu bank di Jakarta. Informasinya, kini uang tersebut cuma tersedia sekitar Rp 900 juta. Sedangkan sisanya belum diketahui keberadaannya. Kebenaran kasus tersebut masih simpang siur.
Sementara itu, anggota DPRD Katingan Karyadi menambahkan, beberapa hari terakhir masyarakat di wilayah utara khususnya yang bermukim di bantaran Sungai Samba mengeluhkan memburuknya kualitas sungai.
"Padahal Sungai Samba merupakan salah satu sungai yang paling bersih dibanding aliran sungai yang lain di Katingan. Tapi kini kondisinya sangat berbeda, saya juga tidak tahu mengapa. Yang jelas, air tidak bisa dimanfaatkan bahkan untuk mandi sekalipun," tukasnya.
Peristiwa itu tidak seperti biasanya. Sebab saat air sungai mulai meluap, warna air atau lumpur sungai cenderung stabil.
"Pertanyaannya adalah apakah ini merupakan fenomena alam di Sungai Katingan atau memang ada hal lain yang menyebabkan," imbuhnya.
Katingan memang masih memiliki kawasan hutan perawan seperti Taman Nasional Bukit Baka Bukit, namun tidak dapat dimungkiri bahwa di sekitarnya masih aktif pekerjaan beberapa pemegang IUPPHK (izin usaha pemanfaatan hasil hutan kayu).
"Ada juga masyarakat kita yang berusaha melakukan penambangan pada daerah aliran sungai sebagai mata pencaharian untuk mendapat sesuap nasi. Karena memang sumber usaha lainnya belum ada, inipun berkaitan dengan anjloknya harga beberapa komoditas hasil perkebunan seperti karet dan rotan," pungkasnya. (agg/yit)