SAMPIT – Maraknya kasus remaja ngelem yang terjadi Kota Sampit, membuat para pemilik toko material angkat bicara. Para pedagang itu mengaku dikelabui remaja dan anak di bawah umur yang notabene membeli lem dengan dalih tugas sekolah dari para guru.
Seorang pedagang, Mustamin mengaku baru tahu bahwa lem yang dia jual digunakan pembelinya dari kalangan remaja untuk dihirup aromanya. Mayoritas pembeli lem yang dijualnya merupakan anak-anak di bawah umur.
”Kebanyakan yang beli memang anak-anak. Saya sih cuek saja, karena mereka bilang kalau lem itu untuk tugas sekolah yang diberikan gurunya,” katanya, Kamis (21/9) siang.
Pria asal Lamongan, Jawa Timur itu menuturkan, remaja yang beli lem biasanya datang setelah jam sekolah. ”Mereka (remaja) itu biasanya datang setelah jam pulang sekolah. Sekitar jam satu siang. Kalau beli sih nggak pernah bergerombol. Satu atau dua orang gitu aja, tapi beda-beda orangnya,” katanya.
Lem tersebut dijual dengan harga murah yang terjangkau anak-anak dan remaja zaman sekarang. Harganya bervariasi, yakni berkisar Rp 18 ribu – Rp 40 ribu. Menurut Mustamin, para remaja tersebut membeli lem dalam jumlah yang cukup banyak. Dalam seminggu, dia mampu menjual lem sebanyak 12 – 20 kaleng kepada anak-anak dan remaja.
”Sehari bisa dua hingga tiga kaleng. Bahkan, pernah ada yang membeli sebanyak 6 kaleng. Saat saya tanya, mereka membeli mewakili teman-temannya yang lain untuk keperluan tugas sekolah,” jelasnya.
Terpisah, seorang psikolog sekaligus pakar hukum Baihaqi, mengatakan, maraknya remaja yang konsumsi lem lantaran kurangnya perhatian dari orangtua dan minimnya tingkat pengetahuan agama yang baik.
”Faktornya banyak. Beberapa di antaranya, karena tidak adanya waktu orangtua mengawasi dan mendidik anak-anaknya dan kurangnya pengetahuan agama dari anak-anak itu, bahwa mabuk lem itu juga merupakan tindakan yang dalam kategori dilarang agama,” tegasnya.
Baihaqi mendesak aparat penegak hukum mengambil langkah tegas mengawasi dan menindak para remaja tersebut apabila kedapatan mengonsumsi lem. Selama ini, karena tidak ada aturan khusus mengenai peredaran lem tersebut, membuat aparat susah menindaknya.
Karena itu, lanjutnya, pemerintah harus mengambil ancang-ancang menerbitkan perda terkait hal itu. ”Pemerintah harus mengambil langkah menanggulangi penyakit remaja ini. Jika dibiarkan terus, dalam kurun waktu lima tahun ke depan, Kotim bisa membusuk generasi mudanya karena perilaku ngelem. Saya harap, pemerintah membuat perda khusus terkait hal itu,” pungkasnya. (rm-83/ign)