SAMPIT – Dinas Sosial Kabupaten Kotawaringin Timur (Kotim) menegaskan tidak akan memberi bantuan bagi 106 pekerja seks komersial (PSK) karena tidak memiliki KTP elektronik. Tanpa KTP, pelacur tidak bisa masuk dalam daftar penerima santunan penutupan lokalisasi. Sedangkan bagi yang memenuhi syarat, bakal mendapat bantuan ekonomi produktif, biaya hidup, dan ongkos transportasi senilai Rp 5.050.000.
Kepala Dinsos Kotim Agus Tripurna Tangkasiang menegaskan, Kemensos RI memberikan syarat yang harus dipenuhi PSK sebagai penerima bantuan tersebut, yakni KTP-el. KTP-el untuk mencegah adanya penerima bantuan berulang kali. KTP juga digunakan syarat untuk membuka rekening di bank, sebagai sarana untuk mentransfer bantuan ke rekening masing-masing.
”Mereka juga dibantu biaya pemulangan sampai ke provinsi tujuan, serta bantuan untuk membeli alat perlengkapan ibadah,” ujar Agus di ruang kerjanya, Kamis (16/11).
Jika nanti lokalisasi ditutup dan ada yang masih menjadi PSK di daerah lain, maka tidak akan mendapatkan bantuan lagi, karena data tersebut sudah ada Kemensos RI.
Dinsos Kotim mencatat, ada 239 PSK di tiga tempat pelacuran yang bakal ditutup nantinya. Data tersebut telah diverifikasi ulang oleh dinsos dan PKBI pada 10 November 2017 lalu.
”Sebanyak 133 PSK se-Kotim yang bisa dibuatkan buku rekening atau penerima bantuan. Untuk pembuatan rekening, memesan tiket pesawat dan boarding pas harus menggunakan KTP-el, tidak bisa menggunakan surat keterangan domisili saja,” ungkapnya.
Agus membantah pihak yang menyebutkan beberapa PSK tidak terdata. Semua penghuni Lokalisasi Pasir Putih sudah terdata semua. Namun, beberapa diantaranya tidak mau menyerahkan kartu kependudukan.
”Ada alasan ketinggalan di tempat asalnya. Saat pendataan, mereka ada di tempat, namun beberapa yang tidak mau difotokopi, dan batas waktu sampai Agustus lalu. Kalau bagi pendatang baru setelah pendataan, tidak akan terdaftar,” tegasnya.
Menanggapi tuntutan 65 PSK Pal 12 Pasir Putih yang tak dapat bantuan, Agus tak mau berkomentar banyak. Dia mempersilahkan PSK mengadukan kekecewaan itu ke mana saja.
Berkaitan dengan pernyataan PSK yang menyebutkan Dinsos Kotim melakukan pendataan dengan cara memotret wajah dilengkapi dengan kertas bertuliskan nama dan NIK KTP, dibantah langsung oleh Agus.
”Kami belum pernah memotret dengan menampilkan nama dan identitas mereka. Begitu pun informasi atas perlakuan yang berbeda, termasuk bagi yang terkena HIV/AIDS. Sudah jelas dari Kemensos RI tidak ada perbedaan, asal syaratnya dipenuhi. Salah satunya KTP-el ini. Sudah jauh-jauh hari disosialiasikan, identitas diri itu penting,” imbuhnya.
Dinsos juga tidak punya solusi untuk 65 PSK, sebab batas waktu pendataan telah berlalu. Ada pengecualian jika Kemensos RI nanti memperbolehkan perubahan data penerima bantuan.
”Masing-masing di setiap lokalisasi ada yang tidak terdaftar. Kalau mereka mau membuat KTP, silahkan. Kami menyayangkan kenapa baru sekerang mau mengurus KTP-el ini. Padahal sudah jelas wajib dimiliki,” tambahnya.
Bantuan juga tidak diberikan kepada pekerja non-PSK yang ada di tiga lokalisasi. Penggelola atau germo juga tidak mendapat bantuan tersebut.
Tuntutan penundaan penutupan yang disampaikan ke DPRD dan Pemkab Kotim Senin (13/11) lalu juga tak dikabulkan oleh Kemensos RI. ”Makanya harus dikebut. Untuk non-PSK tidak dapat bantuan, apalagi germonya. Mungkin ada jalan lain, nanti bisa dikomunikasikan dengan Disnakertrans Kotim. Penyaluran tempat kerja, siapa tahu ada yang memerlukan sesuai kemampuan mereka,” terangnya.
Agus mengatakan, penutupan akan dilakukan Bupati Kotim pada pekan kedua Desember 2017, sekaligus penyerahan buku rekening tabungan secara simbolis. ”Penyerahan buku rekening sepenuhnya saat mereka pulang dan uang dicairkan ketika sudah berada di tempat tujuaan mereka,” katanya.
Pihaknya juga tengah mempersiapkan diri untuk mengantisipasi pascapenutupan. Pengawasan ketat akan dilakukan bersama instasi terkait. (mir/yit)