PALANGKA RAYA – Putusan vonis tiga bulan penjara dan denda 10 juta, subsider dua bulan kurungan penjara dari Majelis Hakim Pengadilan Tipikor Palangka Raya kepada Sekretaris Daerah (Sekda) Kota Palangka Raya, menimbulkan berbagai pertanyaan masyarakat. Bahkan Facebook (FB) Bidhumas Polda Kalteng membuat status terkait vonis itu dengan menuliskan “apa pendapat rekan-rekan”, tertanggal 28 Agustus.
Berbagai tanggapan pun muncul, salah satunya Marcos Tuwan, yang menulis “Minimal 1 tahun vonis 3 bulan. Jaka sembung bawa golok”. Ada pula Fadila Aziza Anisa
“Mana nih suara tokoh-tokoh yang lantang berbicara keadilan kok benyem. Kalau bisa KPK langsung turun tangan periksa semua pejabat yang ada di Kalteng,” tulisnya.
Tanggapan lain juga disampaikan di Mei Tania Tan, dia menulis “Udah capek-capek ngumpulin bukti.. Capek-capek nangkapnya. Ujung -ujungnya cuma 3 bulan. Itu hakimnya perlu di selidiki juga tuh. Doddy Khairi Asyadi juga berkomentar vonis tiga bulan, tapi perintah hakim hanya tahanan kota, artinya tidak dipenjarakan,” tulisnya berkomentar.
Namun, komentar Ahmad Anwar sedikit mendukung, dia menulis “sebenarnya kalo sudah vonis hakim ya tinggal diterima atau banding. Ga perlu di tanyakan pendapat rekan-rekan. Karena ga semuanya pakar hukum disini.”.
Sementara itu, menanggapi putusan majelis hakim, praktisi hukum sekaligus pengacara, Parlin Hutabarat kepada Radar Palangka, Kamis (30/8) mengatakan bahwa bicara putusan hakim, hal itu merupakan hak prerogatif majelis hakim sebagai ujung dari proses peradilan. Ia menilai putusan itu mungkin saja sesuai pasal yang ditetapkan Jaksa Penuntut Umum, jika JPU menuntut dalam dakwaan hingga penutut maka hakim tidak bisa keluar dari pasal yang sudah ditentukan.
“Nah bicara putusan itu, saya melihat JPU telah menetapkan Pasal 12 e jonto 12 A UU Nomor 20 tahun 2001 tentang Tipikor, nah ketika itu JPU menuntut enam bulan dan hakim memutuskan tiga bulan, saya merasa hal itu wajar karena memang pasal yang diterapkan 12 huruf A besar maksimal tiga tahun dan tidak disebut minimalnya,” ujarnya.
Lulusan Fakultas Hukum UPR ini menyampaikan dalam hal ini tidak ada terlihat ada dugaan mafia peradilan, kecuali putusan itu kontrofersial, contohnya dituntut 12 tahun divonis tiga bulan.
“Tidak ada saya liat hal itu, jika pun divonis bebas bukan juga itu ada mafia, melainkan saya berkeyakinan itu fakta persidangan.Pasal 12 A Ketentuan mengenai pidana penjara dan pidana denda sebagaimana dimaksud Pasal 5, Pasal 6,Pasal 7, Pasal 8, Pasal9, Pasal 10, Pasal 11 dan Pasal 12 tidak berlaku bagi tindak pidana korupsi yang nilainya kurang dari Rp 5.000.000,00,” katanya.
Parlin menerangkan dirinya berkeyakinan putusan itu sudah sesuai dengan proses hukum beracara. Jika bertanya rasa keadilan, maka keadilan itu berbeda satu sama lain, tentunya pihak yang kalah menyatakan tidak adil dan pihak menang pasti bilang adil.
”Saya menekankan putusan itu harusnya kita hormati, kalau bicara keadilan maka silakan pakai upaya hukum lain. Intinya dalam hal ini saya menilai tidak ditemukan hal yang negatif dan saya pun sependapat karena ada Pasal 12 A besar makanya putusannya seperti itu,” katanya.
Ia menambahkan bicara ada tidaknya kerugian negara, peristiwa itu bukan bicara ada uang negara melainkan subjeknya penyelenggara negara yang melakukan tindakan pemungutan, sehingga memang harus dibedakan.
”Intinya saya yakin itu sudah sesuai aturan dan memang putusan itu bisa pro dan kontra makanya ada upaya hukum lain, yakni banding, jadi silakan itu dilakukan,” pungkasnya.(daq/vin)