Kecapi merupakan salah satu alat musik tradisional yang dimainkan dengan cara dipetik. Meski keberadaannya sekarang sudah sulit didapatkan seiring perkembangan zaman, namun sejauh ini masih ada yang terus berupaya untuk melestarikannya dengan menjadi pengrajin alat musik tersebut. Dia adalah Harmuda alias Damang (45).
===================
ARHAM SAID, Kuala Kurun
RASA kagum terhadap alat musik tradisional kecapi berawal ketika mendengar suara kecapi yang dimainkan. Saat itu, Harmuda kecil masih duduk di bangku Sekolah Dasar (SD) kelas IV, tepatnya tahun 1984 silam. Penasaran, dia pun ngotot dan meminta kepada orang tuanya untuk dibelikan kecapi. Dari situlah dia mulai mempelajari proses pembuatan dan memainkan alat musik tersebut.
Kecintaannya terhadap kecapi tidak pernah berkurang sedikitpun. Usaha yang tidak kenal lelah dan kerja keras terus ditunjukkan, hingga pada tahun 2007 lalu, ada beberapa orang yang menginginkan dia untuk membuat kecapi, sebagai persiapan mengikuti gelaran Pesta Paduan Suara Gerejawi (Pesparawi) tingkat kabupaten.
”Pada saat itu 12 tahun silam, kecapi yang dipesan sebanyak enam buah. Berbekal pengetahuan yang didapatkan bertahun-tahun, saya berusaha untuk membuatnya meski secara otodidak. Hasilnya pun memuaskan dan disukai oleh pemesan. Dari situlah awal mula menjadi pengrajin alat musik tradisional kecapi hingga sekarang,” ujar Uda sapaan akrabnya, Rabu (29/5) sore.
Seiring waktu yang terus berjalan dan semakin banyaknya pesanan, juga berdampak pada keahliannya dalam membuat alat musik tersebut. Saat ini, dalam membuat satu buah kecapi, diperlukan waktu paling lama tiga hari, mulai dari mencari bahan baku, mengolah, dan mengukir.
”Kecapi yang dulu dan sekarang sangat berbeda. Kalau dulu bentuknya sederhana, polos, dan tanpa ukirannya. Jika dibandingkan sekarang, sudah memiliki beragam bentuk dan diukir untuk menarik minat pembeli,” tuturnya.
Dia mengatakan, mayoritas kecapi di Kabupaten Gumas dibuat dari bahan baku Kayu Jelutung. Keberadaannya pun cukup banyak, karena tumbuh di sembarang tempat yang ada di pinggir sungai. Kayu ini dipilih karena beberapa keunggulan, yakni mudah diukir, bentuk kayunya empuk, semakin kering akan semakin kuat, dan mampu menghasilkan resonansi suara yang bagus.
”Selain dari Kayu Jelutung, alat musik kecapi ini juga bisa dibuat dari kayu runggang, nangka, sungkai, cempedak, pulai, gahung, garu, dan lainnya. Akan tetapi sejak zaman dulu, lebih dominan dibuat kayu jalutung,” terangnya.
Untuk proses pembuatan kecapi, lanjut dia, dimulai dari mengambil bahan baku kayu, lalu membentuknya sesuai ukuran yang diinginkan, paling panjang satu meter dan lebar 20 sentimeter. Kemudian dipahat dan membuat lubang untuk menghasilkan resonansi suara. Setelah itu, dibuatkan penutup lubang dengan kayu sejenis, dilanjutkan dengan membuat ukiran dan pemasangan senar.
”Selama proses pembuatan kecapi, ada beberapa alat yang digunakan yakni parang, kapak, pahat, kikir kayu, amplas, gunting, kuas, serta cat kayu dengan berbagai macam warna,” ujarnya.
Dia menuturkan, ukiran yang dibuat juga memiliki motif yang berbeda-beda. Tercatat sudah ada puluhan motif yang dibuat, baik itu burung tingang, naga, bunga, kepala semut, dan belalang. Semua dikombinasikan dengan budaya khas Suku Dayak dan variasi warna, sehingga terlihat lebih menarik.
”Kalau untuk mengukir dengan motif khas Suku Dayak di kecapi tersebut, murni merupakan kreasi sendiri. Yang dipercantik dengan kombinasi warna-warni untuk membuatnya lebih menarik,” tegasnya.
Selama 12 tahun menjadi pengrajin kecapi, kata Uda, sudah banyak pembeli yang membeli hasil karyanya, baik dari anak sekolah yang tengah belajar kesenian, kalangan masyarakat, tokoh agama, pejabat, bahkan ada yang dari luar negeri.
”Kalau dari luar negeri, yang membelinya berasal dari Selandia Baru, Malaysia, Thailand, dan Brunei Darussalam. Sedangkan dari kalangan pejabat, ada Kepala Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Provinsi Kalteng Guntur Talajan, Kepala Dinas Perikanan Kabupaten Gumas Trinayati, dan lainnya. Biasanya kecapi ini dijadikan sebagai cinderamata,” katanya.
Untuk harga, kata dia, tergantung ukuran dan tingkat kerumitan ukiran. Paling murah dijual dengan harga Rp 150 ribu hingga Rp 250 ribu bagi pemula yang ingin belajar. Kalau kecapi dengan ukuran besar dan ukiran yang rumit, dipatok dengan harga Rp 500 ribu.
”Dari segi harga memang masih terbilang murah, jika dibandingkan dengan jeri payah kita dalam membuatnya. Patokan harga yang bervariasi tersebut untuk lebih mengenalkan alat musik tradisional ini kepada masyarakat,” tuturnya.
Sejauh ini, lanjut dia, dari Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Gumas sudah sering melibatkan para pengrajin dalam setiap event pameran, termasuk dirinya. Yang terbaru adalah ketika pelaksanaan Kalteng Quality Expo 2019 di Palangka Raya. Saat itu, 15 buah kecapi yang dibawanya habis dibeli oleh pengunjung.
”Kalau dari segi bantuan dana dan peralatan, untuk sementara belum ada. Hanya dibantu dalam bentuk pemasaran saja, seperti diikutsertakan oleh Dinas Perindustrian dan Perdagangan (Disperindag) setempat dalam setiap pameran di tingkat kabupaten, provinsi, hingga nasional,” ujarnya.
Dia pun sangat berharap adanya bantuan dari pemerintah daerah. Setidak-tidaknya bantuan peralatan, seperti alat ukir, pahat, dan bansaw mini untuk membelah kayu. Jika bisa terealisasi, maka itu akan menjadi angin segar dalam upaya mengembangkan usaha kerajinannya tersebut.
”Untuk pengajuan bantuan ke pemerintah masih belum diusulkan, karena kami diminta untuk membuat legalitasnya terlebih dahulu. Maka dari itu, terbentuklah komunitas pengrajin alat musik tradisional ”Kacapi Tingang”, katanya.
Dalam upaya untuk mendapatkan legalitas, dia sempat membuat kesalahan dengan membentuk komunitas, padahal alangkah lebih baik membentuk kelompok saja, karena tidak terlalu repot dan proses pengurusannya juga lebih mudah. Karena sudah terlanjur, pembentukan komunitas ini terus dilanjutkan, dengan mengurus akta notaris, NPWP, izin lokasi, izin usaha, dan lainnya.
”Apa yang terjadi ini murni karena ketidakpahaman mengenai perbedaan antara komunitas dengan kelompok. Apabila membentuk kelompok, tidak terlalu repot, karena hanya perlu 10 orang saja, sedangkan komunitas minimal 40 orang,” terangnya.
Saat ini, tambah dia, di komunitas tersebut telah bergabung berbagai pengrajin kecapi, rabab atau biola khas dayak, suling, belawung, bahalang, dan gendang dengan ciri khas tersendiri. Mereka ada yang berasal dari Desa Hurung Bunut, Sei Antai, Linau, Petak Bahandang, dan desa di Kecamatan Rungan.
”Kedepan, komunitas ini diharapkan terus berjalan dan berkembang, serta mendapatkan perhatian lebih dari pemerintah. Dengan demikian, kelestarian kerajinan alat musik tradisional tersebut akan tetap terjaga, hingga generasi selanjutnya,” pungkasnya. (*-fm)
.