SAMPIT | PANGKALANBUN | PALANGKA | KOTAWARINGIN | METROPOLIS | BARITO | GUMAS | DPRD SERUYAN

METROPOLIS

Rabu, 03 Juni 2020 13:28
Mencermati Pancasila di Hari Lahir Pancasila
Oleh: Dr. H. Joni,SH.MH

Mengenang 1 Juni, adalah hari lahirnya Pancasila. Terlepas dari kontroversi politis khususnya dari yang pro dan kontra mengenai kepastian dan jasa pencetusnya, Presiden Jokowi telah mengambil keputusan bersejarah dalam perkembangan ideologi bangsa. Sebab, setelah hampir 71 tahun kemerdekaan RI, baru kali ini pemerintah memutuskan 1 Juni sebagai Hari Lahir Pancasila. Keputusan itu didasarkan pada Keppres Nomor 24 tahun 2016. Terlepas dari penetapan ini, kita sekarang berada pada lampu merah, yang mengarah pada mkrisis identitas ideologi Pancasila

Tak hendak bersentimentil, lampu merah krisis identitas terhadap ideologi kita sendiri yaitu Pancasila ini bisa disebut begitu menakutkan bahkan mengerikan. Tidak bermaksud pesimis, berdasarkan penelitian tak terpublikasikan diantara 10 orang mahasiswa hanya sekitar 4 yang hafal Pancasila. Hsl ini belum lagi di kalangan siswa SMA SMP atau anak SD yang seharusnya hafal di luar kepala isi Pancasila. Hafal saja tidak bagaimana mau paham. Ini yang dimaksud mengkhawatirkan atau bahkan mengerikan. 

Kontroversi kelahiran Pancasila

Setidaknya ada tiga tanggal yang berkaitan dengan hari lahir Pancasila, yaitu tanggal 1 Juni 1945, tanggal 22 Juni 1945 dan t 18 Agustus 1945. Walaupun demikian, selama masa pemerintahan Presiden Soeharto, hari lahir Pancasila diperingati setiap tanggal 1 Juni. Setelah Reformasi 1998, muncul banyak gugatan tentang hari lahir Pancasila yang sebenarnya. Dengan munculnya Keppres dimaksud maka kontroversi itu secara administrative telah selesai. Tiap tanggal 1 Juni diperingati sebagai hari lair Pancasila dan dinyatakan sebagai hari libur secara nasional.

Mencermati sejarah, tanggal 1 Juni 1945 adalah tanggal ketika kata "Pancasila" pertama kali diucapkan oleh Ir. Soekarno (saat itu belum diangkat menjadi Presiden RI) pada saat sidang BPUPKI (Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia). Kata "Pancasila" muncul kembali dalam Piagam Jakarta yang bertanggal 22 Juni 1945.

Rumusan yang kemudian dijumpai dalam rumusan final Pancasila yang dikenal oleh rakyat Indonesia juga muncul dalam Mukadimah atau Pembukaan UUD 1945 yang disahkan pada tanggal 18 Agustus 1945 sebagai konsititusi negara RI. Namun di dalam Mukadimah ini tidak terdapat kata "Pancasila". Rumusan di dalam Mukadimah ini juga memiliki perbedaan dengan rumusan yang diajukan oleh Ir. Soekarno pada 1 Juni 1945 dan rumusan yang terdapat dalam Piagam Jakarta 22 Juni 1945.

Pada tataran sejarah ini, dapat dilacak keberadaan Pancasila ini tatkala Jepang semakin terdesak dalam Perang Dunia II, Pemerintah Pendudukan Bala Tentara Jepang di Jawa melalui Saiko Syikikan Kumakici Harada mengumumkan secara resmi berdirinya BPUPKI (Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia) pada 1 Maret 1945. Dr. KRT Rajiman Widyodiningrat ditunjuk sebagai Ketua. Ir. Soekarno yang saat itu sudah menjadi tokoh pergerakan kemerdekaan terkemuka menyetujui pengangkatan tersebut karena menganggap bahwa dengan menjadi anggota, Ir. Soekarno sendiri akan lebih leluasa bergerak. BPUPKI terdiri dari dua bagian, yaitu Bagian Perundingan yang diketuai oleh Rajiman dan Bagian Tata Usaha yang diketua oleh RP Suroso dengan wakil MR AG Pringgodigdo.

 

Pancasila sebelum Era Reformasi

Sebelum era reformasi dikenal sebagai era orde baru. Selama jangka waktu lebih kurang 32 tahunlama masa pemerintahan Orde Baru, sikap pemerintah terhadap Pancasila ambigu. Pada tahun 1970, pemerintah Orde Baru melalui Kopkamtib melarang peringatan 1 Juni sebagai hari lahir Pancasila Walaupun demikian, dalam perkembangan selanjutnya pemerintah Orde Baru justru mengembangkan Pancasila dengan memperkenalkan Eka Prasetya Panca Karsa, yang menjadi materi dalam penataran P4 yang sifatnya wajib bagi semua instansi, baik pemerintah maupun swasta.

Sejak masa pemerintahan Orde Baru,sejarah tentang rumusan-rumusan awal Pancasila didasarkan pada penelusuran sejarah oleh Nugroho Notosusanto melalui buku Naskah Proklamasi jang Otentik dan Rumusan Pancasila jang Otentik (Pusat Sejarah ABRI, Departemen Pertahanan-Keamanan, 1971).

Dalam hubungan ini,  Nugroho menyatakan ada empat rumusan Pancasila, yaitu rumusan yang disampaikan oleh Mohammad Yamin pada tanggal 29 Mei 1945, rumusan yang disampaikan oleh Ir. Soekarno pada tanggal 1 Juni 1945, rumusan yang diajukan oleh Panitia 9 yang diajukan pada tanggal 22 Juni 1945, dan rumusan yang termaktub di dalam Pembukaan UUD 1945 yang ditetapkan pada tanggal 18 Agustus 1945. Nugroho meyakini bahwa rumusan Pancasila adalah rumusan yang termaktub di dalam Pembukaan UUD 1945.

Hari lahir Pancasila yang sebenarnya hingga kini masih belum disepakati oleh para sejarawan walaupun secara resmi pemerintah RI memperingati tanggal 1 Juni sebagai hari lahir Pancasila. Namun, peringatan-peringatan resmi kenegaraan yang diadakan sejak Reformasi 1998 belum memiliki dasar hukum yang kuat karena belum ada Keppres atau Ketetepan Presiden yang mengatur penetapan tanggal 1 Juni sebagai hari lahir Pancasila.

 

Substansi Pancasila

Saat ini, Pancasila dinyatakan sebagai ideologi terbuka, dan senantiasa dikaitkan dengan sistem pemerintahan demokrasi dan Hak Asasi Manusia (HAM). Di dalam kerangka ini, Pancasila yang merupakan dasar negara Indonesia yang dituangkan dalam lima dasar yang dipadukan dalam satu rangkaian kesatuan, satu totalitas, yang merupakan satu kebulatan yang tunggal dan mandiri. Tiap sila mengandung dan mencerminkan makna keempat sila yang lainnya. Tiap sila tidak terlepas dari kaitannya dengan sila yang lain.

Adapun hubungannya dengan HAM, bahwa demokrasi Pancasila itu memang secara makro dapat dinyatakan merupakan penjabaran dari HAM, terutama di Indonesia. Jabaran demokrasi Pancasila sebagai manifestasi dari HAM tentu memerlukan pembahasan secara lebih terinci. Bagaimana pula aplikasi dari tiap sila di dalam Pancasila, yang dinyatakan sebagai demokrasi Pancsila itu memerlukan pembahasan dan deskripsi sehingga lebih memperjelas kontekstualitasnya.

Makna lebih mendasar dari hal ini adalah dalam kerangka melestarikan nilai-nilai Pancasila itu melalui media pendidikan. Pendidikan kewarganegaraan menjadi media strategis dilihat dari alamatnya – yaitu para mahasiswa sebagai generasi potensial masa depan Indonesia. Juga dilihat dari substansinya yaitu jabaran dari nilai-nilai Pancasila itu sendiri yang memerlukan telaah secara dinamis dari waktu ke waktu.

Pada masa lalu, sebagaimana tersurat dan tersurat dalam ketetapan MPR No. II/MPR/1978 tentang Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila, Pancasila adalah jiwa seluruh rakyat Indonesia, kepribadian bangsa Indonesia, pandangan hidup bangsa dan dasar negara Republik Indonesia. Pancasila merupakan pandangan hidup, kesadaran dan cita-cita moral yang meliputi kejiwaan dan watak yang sudah berurat – berakar didalam kebudayaan bangasa Indonesia.

Kebudayaan yang menuntunkan bahwa hidup manusia akan mencapai kebahagiaan jika dapat mengembangkan keselarasan dan keseimbangan baik dalam tatanan kehidupan sebagai pribadi, dalam hubungan manusia dengan masyarakat, hubungan manusia dengan alam dan lingkungannya maupun hubungan manusia dengan tuhannya, maupun dalam mengejar kemajuan lahirian dan kebahagiaan rohaniah.

Pemaparan di atas tidak perlu diingkari, kendatipun masa telah berubah. Namun penyadaran bahwa Pancasila dalam posisi sebagaimana dimaksud akan tetap abadi. Hal ini disebabkan oleh karena Pancasila sudah merupakan pandangan hidup yang berakar dalam kepribadian bangsa, maka ia diterima sebagai dasar negara yang mengatur hidup bernegara dan  bermasyarakat. Hal ini terbukti nyata, meskipun dituangkan dalam rumusan yang sedikit berbeda tapi dalam tiga buah Undang Undang Dasar yang pernah berlaku di negara ini, yakni dalam Pembukaan UUD 1945, dalam mukaddimah konstitusi Republik Indonesia Serikat 1949, dan dalam  mukadimah UUDS 1950 Pancasila selalu tercantum di dalamnya.       

Berdasarkan pemahaman di atas, dari sisi referensi yang selama ini dijadikan sebagai bahan rujukan menunjukkan bahwa berbagai literatur yang membahas keterkaitan antara Demokrasi Pancasila, kontekstualitasnya dengan HAM dapat dipahami berdasarkan jabaran dari Pancasila itu sendiri. Lebih terinci, jika dicermati isi dari masing-masing sila dari Pancasila itu, maka akan ternyata bahwa masing-masing silanya mengandung dan memuat HAM. Artinya bahwa kandungan di dalam demokrasi Pancasila itu merupakan cermin dari HAM. Adapun rincian sebagaimana dimaksud adalah sebagai berikut:

Pertama, Hak Asasi Manusia (HAM). Menurut Sila Ketuhanan Yang Maha Esa, dalam hal ini, sila Ketuhanan Yang Maha Esa mengandung pengakuan terhadap Tuhan Yang Maha Esa dan menjamin setiap orang untuk melakukan ibadah menurut keyakinannya masing-masing. Dengan sila ini dijamin kemerdekaan beragama bagi setiap orang. Setiap orang bebas memilih dan menjalankan ajaran agamanya masing-masing. Setiap agama dipandang sama hak dan kedudukannya terhadap negara.

Pengakuan terhadap Ketuhanan Yang Maha Esa, berarti pengabdian pada Tuhan Yang Maha Esa dalam arti melaksanakan segala perintah Tuhan Yang Maha Esa dan mencegah atau tidak melakukan segala perbuatan yang dilarang-Nya. Tuhan memandang sama pada semua umat manusia, tiada yang lebih disisi-Nya kecuali ketakwaannya.

Dari hal di atas, berarti sila pertama dari Pancasila, Ketuhanan Yang Maha Esa telah mengandung pengakuan terhadap Hak Asasi Manusia dalam segala segi kehidupan manusia. Ketuhanan Yang Maha Esa adalah sebuah causa prima atau sebab yang utama dan pertama, sebagai asal dari segala kehidupan yang mengajarkan persamaan, keadilan, kasih sayang dan kehidupan yang tentram. Hal ini semua sama dengan pengakuan terhadap HAM.

Pengabdian terhadap Tuhan Yang Maha Esa dapat dilaksankan manakala penghormatan terhadap hak-hak asasi manusia mendapat pengakuan berupa jaminan terhadap kemerdekaan beragama sebagai salah satu hak asasi yang terpenting. Hal ini secara konstitusional juga dipertegas di dalam  pasal 29 ayat (2) UUD 1945, pasal 18 Universal Declaration of Human Rights, pasal 18 Konstitusi Republik Indonesia Serikat (KRIS) 1949, dan juga di dalam Ketetapan MPR tentang Hak Asasi Manusia dan UU tentang Hak Asasi Manusia.

Kedua, Hak Asasi Manusia Menurut Sila Kemanusiaan Yang Adil dan Beradab. Dapat dinyatakan bahwa di dalam kerangka kemanusia Yang Adil dan Beradab, hakekatnya  adalah sikap yang menghendaki terlaksananya human values dalam arti pengakuan dignity of man, dan human rights dan human freedom. Tiap – tiap orang diperlakukan secara pantas, tidak boleh disiksa dan di hukum secara ganas, dihina atau diperlakukan secara melampaui batas. Kemanusiaan mengakui seluruh manuisia sebagai sama-sama makhluk Tuhan dan dengan demikian segala  bangsa sama tinggi dan sama rendahnya dan ini berarti pula adanya suatu pengakuan kemerdekaan bagi segala bangsa dengan menolak kolonialisme dan imperialisme.

Hak-hak asasi yang telah mendapat pengakuan seperti: hak untuk tidak diperbudak, hak untuk tidak dianiaya, pengakuan sebagai manusia pribadi, hak untuk tidak ditangkap, ditahan, dibuang secara sewenang-wenang, dan untuk mendapat peradilan yang bebas, hak dianggap tidak bersalah sampai dibuktikan kesalahannya menurut Undang-undang dan sebagainya, semua itu adalah perwujudan dari sila kemanusiaan tersebut.

Ketiga, Hak Asasi Manusia Menurut Sila Persatuan Indonesia. Di dalam kerangka ini, sila Persatuan Indonesia atau kebangsaan adalah merupakan sikap yang mengutamakan kepentingan bangsa di atas kepentingan suku, golongan, partai dan lain-lain. Hal ini berarti persatuan antara golongan-golongan, suku-suku dan partai-partai yang mempunyai kedudukan dan kesempatan yang sama dalam negara Indonesia, dalam arti adanya keseimbangan yang harmonis dengan tidak mengutamakan yang satu dengan mengabaikan yang lainnya.

Kesadaran kebangsaan Indonesia itu lahir dari keinginan untuk bersatu dari satu bangsa, agar setiap orang Indonesia  dengan bebas menikmati hak-hak asasinya tanpa pembatasan dan belenggu darimanapun datangnya. Kesadaran kebangsaan ini tidak sedikit dijiwai kebangkitan kebangsaan di dunia luar yang digerakkan oleh perasaan bangga diri dan keinginan mempertahankan hak-hak asasi manusia. Dengan kata lain, kesadaran kebangsaan adalah titik tolak dalam perjuangan mempertahankan hak asasi manusia, sebab tanpa adanya kesadaran kebangsaan ini tidak ada suatu jaminan bahwa hak asasi itu mendapat perlindungan.

Sudah tentu agar perasaan kebangsaan ini tidak menjadi penyebab terlanggarnya hak asasi dari bangsa-bangsa lain, maka perasaan kebangsaan itu keluar harus bersifat persahabatan yang bersifat universal dengan bangsa-bangsa lain dalam suatu persamaan derajat dan hormat-menghormati, anti imperialisme dan kolonialisme, tidak eksklusif dan tidak chauvinis.

Keempat, Hak Asasi Manusia menurut Sila Kerakyatan Yang Dipimpin Oleh Hikmat Kebijaksanaan dalam Permusyawaratan/Perwakilan. Dapat dinyatakan bahwasanya kedaulatan rakyat berarti kekuasaan negara ada ditangan rakyat.  Negara dibentuk oleh rakyat dari rakyat dan untuk rakyat. Kedaulatan rakyat itu disalurkan secara demokratis melalui perwakilan, yang bagi bangsa Indonesia melalui Majelis Permusyawaratan Rakyat. Oleh karena kedaulatan ada di tangan rakyat, maka wakil-wakil rakyatlah yang mempunyai kewenangan itu. Representasi di dalam kelembagaan negara sebagaimana tercermin di dalam Undang Undang Dasar 1945, yang memberikan kewenangan kepada lembaga-lembaga tersebut adalah implementasi dari sila kerakyatan.

Kedaulan rakyat berisi pengakuan akan harkat dan martabat manusia, sedangkan pengakuan martabat manusia itu berarti pula menghormati dan menjunjung tinggi HAM yang melekat padanya. Kedaulatan rakyat ini berwujud dalam bentuk hak asasi manusia, seperti hak mengeluarkan pendapat, hak berkumpul dan berapat, hak ikut serta dalam pemerintahan dan jabatan-jabatan negara, kemerdekaan pers dan lain-lain. Sudah tentu sesuai dengan jiwa Pancasila itu sendiri kedaulatan rakyat itu hendaklah bersifat musyawarah dan mufakat serta tenggang rasa yang didasarkan pada aspek kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan /perwakilan.

Kelima, Hak Asasi Manusia Menurut Sila Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia. Dalam hal ini, keadilan sosial berwujud hendak melaksanakan kesejahteraan umum bagi seluruh anggota masyarakat. Dengan ini dimaksudkan adanya keadilan bagi sesama anggota masyarakat (sosial). Keadilan yang dimaksud adalah keadilan yang memberi perimbangan dengan pemahaman bahwa hak milik berfungsi sosial.

Hal ini berarti tiap-tiap orang dapat menikmati kehidupan yang layak sebagai manusia yang terhormat, dalam arti tidak ada kepincangan dimana ada segolongan yang hidup mewah sedang golongan lain sangat melarat, atau dengan kata lain setiap orang harus mendapat kesempatan yang sama untuk mendapat nafkah dan jaminan hidup yang layak dalam lapangan ekonomi dan sosial dengan tidak saling menindas, melainkan saling harga menghargai dan bantu membantu untuk kepentingan masyarakat dan negara.

Jadi dalam paham keadilan sosial dijamin hak untuk hidup layak, dijamin adanya hak milik, adanya hak atas jaminan sosial, adanya hak atas pekerjaan dengan system pengupahan dan syarat-syarat kerja yang adil dan baik, berhak atas tingkat hidup yang menjamin kesehatan dan lain-lain, yang kesemuanya itu telah menjadi hak asasi yang telah diakui oleh UUD maupun Universal Declaration of Human Rights.

 

Keharusan Menghayati dan Mengamalkan Pancasila

Berdasarkan paparan di atas, Pancasila bagi bangsa Indonesia merupakan dasar negara, pandangan hidup bangsa yang mempersatukan kita, jiwa dan kepribadian bangsa. Tujuan yang hendak dicapai oleh bangsa Indonesia seperti yang dituntunkan dalam Pembukaan UUD 1945, yakni suatu masyarakat yang adil dan makmur material dan spiritual berdasarkan Pancasila dalam wadah Negara Kesatuan Republik Indonesia yang merdeka, berdaulat, bersatu dan berkedaulatan rakyat dalam suasanya perikehidupan bangsa yang aman, tertib dan damai serta dalam lingkungan pergaulan dunia yang merdeka, bersahabat dan tertib.

Pancasila itu merupakan kebulatan yang bersifat hirarkis dan piramidal yang mengakibatkan adanya hubungan organis diantara kelima sila (dasar) negara itu -- sebagaimana disampaikan Notonagoro, yang kemudian dilanjutkan oleh  Muhammad Yamin bahwa: Pancasila itu sebagai benda rohani yang tetap dan tidak berubah sejak Piagam Jakarta sampai kepada hari ini, maka sudah sewajarnya ia tetap ada dan tetap akan ada pada masa lalu, kini maupun waktu mendatang nanti.

Dalam kaitan ini, yang paling penting adalah penghayatan dan pengamalan Pancasila, sebagai dasar menghadapi berbagai problematika dalam kehidupan moderen. Pancasila harus disegarkan kembali kedudukannya sebagai pedoman hidup. Harus dihayati dan diamalkan sebagaimana mestinya. Jika tidak dikondisikan demikian, masyarakat akan terombang ambing dalam ketidakpastian.*** Notaris, Pengurus Pusat INI (Ikatan Notaris Indonesia), Dosen Sekolah Tinggi Ilmu  Hukum Habaring Hurung Sampit

 

 


BACA JUGA

Rabu, 09 September 2015 00:45

Uji Kebohongan, Tim Hukum Ujang Dukung Uji Forensik

<p>&nbsp;PALANGKA RAYA - Tim Kuasa Hukum Ujang-Jawawi menyatakan penetapan hasil musyawarah…
Sitemap
  • HOME
  • HOT NEWS
  • NEWS UPDATE
  • KOLOM
  • RAGAM INFO
  • INSPIRASI
  • FEATURE
  • OLAHRAGA
  • EKONOMI
Find Us
Copyright © 2016 PT Duta Prokal Multimedia | Terverifikasi Dewan Pers