Oleh: Agustiar Sabran
SEMENJAK tahun 2009 yang lalu, RUU mengenai permasalahan ini digulirkan dan men jadi pembicaraan di DPR. Lama, tertindih dengan berbagai permasalahan lain, baru tahun 2020 ini permasalahan yang sangat penting, khususnya bagi Masyarakat Hukum Adat (MHA) ini masuk dalam Prolegnas, dan kini berada pada tahap sinkronisasi.
Sebagaimana dimaklumi, bahwa status RUU Masyarakat Hukum Adat masuk daftar Program Legislasi Nasional (Prolegnas) Prioritas 2020 nomor urut 32. Pada Prolegnas Prioritas 2019 lalu, RUU Masyarakat Hukum Adat sempat mulai dibahas di Badan Legislasi (Baleg).
Namun, masih menyerap masukan dan aspirasi berbagai pemangku kepentingan. Sementara, DPD juga mempunyai usulan yang sama terkait masyarakat adat yakni RUU tentang Perlindungan Hak Masyarakat Adat. Oleh karena usulan DPD tak jauh berbeda, maka yang disetujui masuk Prolegnas adalah RUU .
Masyarakat Hukum Adat
Bahwasanya pada dasarnya RUU ini perlu dan seharusnya secara konkret mendapatkan dukungan dari kelompok masyarakat sipil yang lebih luas. Setidaknya hal ini dengan mencermati kondisi konkret bahwa MHA adalah komponen penting bangsa Indonesia yang berperan sentral dalam pengelolaan sumber daya alam (SDA) di wilayah masing masing. Keberadan MHA tak dimungkiri menunjukkan identitas keberagaman bangsa yang sangatmajemuk dan menciptakan pola multikultural dalam segala aspek.
Keberadaan MHA juga sebagai penopang dan dalam posisinya yang natural menjaga keberlangsungan lingkungan hidup dan penyumbang pengetahuan dan ekonomi bagi masyarakatnya. Sejarah telah membuktikan hal itu, dengan berbagai pola pengelolaan SDA yang mencerminkan kelestarian dalam kurun waktu yang sangat panjang.
Pengelolaan berbasis modern yang memang juga menjadi keharusan, pada gilirannya melahirkan benturan yang memerlukan perumusan kembali pola-pola yang mempertemukan kepentingan MHA dengan masyarakat modern dengan basis pengelolaan modern pula.
Faktanya, bangsa Indonesia menikmati banyak manfaat dari apa yang dipraktikkan MHA di kehidupannya dalam melindungi alam. Semua itu akan hilang jika kita tidak menaruh perhatian pada kebijakan yang memberikan perlindungan hukum yang memadai bagi MHA. Bentuk dari perlindungan hukum inilah yang kiranya secara konkret memerlukan patokan, sebagai semacam pedoman untuk mengakomodasikan kepentingan MHA pada masyarakat modern.
Faktor Mendasar
Kiranya patut mendapat perhatian, tidak secara politis tetapi memerlukan kebijakan untuk mengakomodasikan beberapa hal berkaitan dengan kedudukan MHA dalam kancah pengelolaan aset, khususnya SDA. Hal yang harus mendapatkan perhatian utama, di samping permasalahan lain pada tataran lebih teknis, kiranya menjadi titik dasar dalam akomodasi MHA dalam kancah pengelolaan aset, khususnya SDA dimaksud.
Pertama dan utama, secara komprehensif diperlukan kebijakan berupa pengawalan dan pembahasan secara serius, untuk keberhasilan RUU ini, dan nantinya menjadi Undang-Undang Masyarakat Hukum Adat.
Motivasi dan sekaligus kepastian atas komitmen ini diperlukan, bukan sekadar memberikan semacam bahasa hiburan, khususnya kepada MHA. Faktanya, beberapa kali RUU diajukan, tetapi senantiasa kandas. Oleh karena itu, saat sekarang diperlukan kekuatan komitmen pembahasan yang benar-benar memiliki akurasi kepentingan yang mendasar.
Kedua, atas dasar urgensi yang harus menjadi perhatian dan titik temu dari berbagai perdebatan terhadap RUU dimaksud, maka fungsi, kedudukan dan hak-hak MHA yang selama ini cenderung terabaikan, khususnya disebabkan oleh pola modernitas dalam pengelolaan berbagai komponen, khususnya SDA harus dipulihkan.
Dalam kaitan ini, MHA cenderung terpinggirkan dalam pengelolaan SDA, pada hal secara alamiah merekalah yang seharusnya paling berhak untuk itu. Pola pemulihan ini menjadi starting point dalam RUU MHA yang harus diakomodasikan.
Ketiga, berkenaan dengan eksistensi keturunan raja-raja di Nusantara, yang selama ini menjadi perlambang dari otoritas pengelolaan terhadap potensi SDA di mana mereka mempunyai wilayah kekuasaan. Merekalah peredam konflik dan pemersatu kelompok kelompok dalam MHA yanhg telah melaksanakan fungsinya dalam waktu yang sangat lama. Dalam perkembangannya mereka ini terpinggirkan.
Pengaburan terhadap eksistesi mereka ini, menjadi titik keresahan yang kemudian berkembang menjadi kebijakan yang diakui atau tidak memunculkan pola marginalissi terhdap keberadaan MHA. Di dalam RUU MHA, poin ini harus memperoleh perhatian seksama.
Keempat, kedudukan organisasi masyarakat terutama LSM Yang menunjukkan eksistensinya, yang lahir dengan berbasis adat, khususnya ketika mereduksi berbagai permasalahan yang muncul di era modern harus ada ketegasan dalam pengaturannya.
Organisasi dimaksud pada hakikatnya ingin menjembatani kepentingan MHA yang semakin lama tenggelam atau setidaknya terpinggirkan dalam kancah pembuatan kebijakan modern yang didasarkan kepada kepentingan para penanam modal.
Secara mendasar pula, dalam RUU MHA perlu meletakkan dengan tegas mengapresiasi keempat permasalahan di atas, dengan bahasa hukum yang tidak menimbulkan multi interpretasi. Orientasi terhadap berbagai permasalahan yang menjadi dasar RUU MHA ini harus jelas dan terarah.
Secara teknis, dan memerlukan pengaturan yang tegas pula, pemerintah pusat, pemerintah daerah dan seluruh komponen yang berkedudukan sebagai stakeholders dengan pelaku pokok, yaitu MHA harus bekerja sama saling bahu memnbagu berkontribusi dalam melahirkan UU yang benar benar komprehensif.
Kiranya perlu digarisbawahi pula, bahwa kewenangan atas wilayah MHA, yang pasti mengenal betul wilayahnya dengan batas-batas jelas yang didapatkan melalui proses sejarah yang panjang dirumuskan terlebih dahulu, agar tidak bertele tele di dalam mengakomodasikan eksistensinya.
Oleh karena itu, MHA perlu untuk mengkomunikasikan wilayah adatnya kepada masyarakat di sekitarnya, pemerintah, dan pihak lain dengan menggunakan bahasa (media) yang sama. Pelaksanaan ini dapat dengan cara menggunakan peta, yang biasanya digunakan oleh Dephutbun maupun instansi lain, yang dalam pembuatan peta tersebut dilaksanakan secara partisipatif dan dengan teknik yang sederhana.
Secara teknis pula dibutuhkan pengakuan atas dasar kesepakatan dengan masyarakat sekitar yang datang kemudian, sebagai kelompok masyarakat yang tidak terakomodasikan sebagai MHA. Kendati mungkin mengalami kesulitan, hal ini harus dilakukan untuk tidak menimbulkan permasalahan di kemudian hari. Bentuk kejelasan kewenangan wilayah masyarakat hukum adat dapat dilakukan untuk mengakomodasikan kepentingan MHA khususnya dalam hal kawasan atau wilayah MHA itu sendiri. *)Anggota DPR RI Dapil Kalteng dan Ketua DAD Kalteng