SAMPIT – Kasus pembunuhan Nur Fitri dengan tersangka Acn berujung pada gugatan praperadilan di Pengadilan Negeri Sampit sejak penetapannya sebagai tersangka pada 8 Oktober 2020 lalu. Dalam praperadilan itu, penetapan tersangka, penahanan dan penangkapan serta penyitaan barang bukti dinilai tidak sesuai prosedur dan dianggap cacat hukum serta bertentangan dengan hak asasi manusia.
Acn memboyong pengacara ternama, yakni Profesor Frans Sisu Wuwur dan Fidelis dalam mengajukan gugatan tersebut. Dalam uraian permohonan itu disebut, Acn dijerat dengan Pasal 338 KUHP, Pasal 353 KUHP, sub Pasal 351 KUHP. Peristiwa kematian korban sudah berlangsung tiga tahun dan dalam melakukan penyelidikan, penyidikan, dan penangkapan yang dilakukan aparat dinilai cacat hukum.
Menurut kuasa hukumnya, syarat formil dan materil tidak terpenuhi, karena dalam Pasal 18 Ayat (1) KUHAP, petugas harus memperlihatkan surat tugas penangkapan lengkap dengan identitas pemohon dan menjelaskan uraian singkat kejahatan.
Acn sendiri ditangkap saat berada di rumahnya. Dia diciduk dan ditahan secara paksa tanpa membawa surat tugas atau pamit dengan ketua RT, RW, atau diketahui warga sekitar. ”Oleh sebab fakta akibat upaya paksa, tindakan yang dilakukan tidak resmi dan tidak sah,” ucap kuasa hukum Acn.
Keluarga Acn sempat panik ketika pria itu tidak ada di rumah beserta dua unit kendaraan roda empat. Keesokan harinya, 9 Oktober 2020, setelah mereka melapor ke pihak kepolisian, baru mendapatkan informasi bahwa Acn ditahan atas kasus pembunuhan tersebut.
Mereka menilai tindakan tersebut tidak sesuai etika dan bertentangan dengan kebijakan hukum. Selain itu, mereka juga turut mempertanyakan alat bukti baru, sehingga pemohon dijadikan tersangka dalam kasus pembunuhan tersebut sejak dijadikan sebagai saksi setelah tiga tahun proses tersebut bergulir.
Acn juga mempermasalahkan barang bukti dua mobil. Pasalnya, yang kini dijadikan barang bukti hanya ada satu unit, sementara mobil lainnya tidak diketahui keberadaannya. Akibat tindakan tersebut, Acn juga menuntut kerugian materiil sebesar Rp 6 miliar dan inmateriil Rp 8 miliar akibat perbuatan sewenang-wenang pihak kepolisian.
Dalam permohonannya, Acn meminta agar diterima atau dikabulkan serta meminta dibebaskan dan merehabilitasi namanya. Sementara itu, kuasa dari Polres Kotim dalam jawaban praperadilan yang dibacakan AKP Aji Suseno menyebutkan, objek praperadilan tidak konsisten dan tidak jelas.
Seperti uraian adanya pelanggaran asasi, mereka beranggapan demikian sudah jelas sarana yang diberikan, yakni melalui propam. Penetapan sebagai tersangka sesuai Pasal 17 KUHAP. Harus ada minimal dua alat bukti sudah dipenuhi oleh penyidik yang mana mereka memiliki empat alat bukti yang terdiri dari keterangan saksi, keterangan ahli, surat, dan petunjuk.
Begitu juga dengan penangkapan yang dilakukan, dinilai sudah cukup bukti serta bukti permulaan yang cukup dan dilengkapi dengan surat penangkapan serta ada berita acara penangkapan, sehingga tidak mengada-ada atau tidak melakukan penangkapan secara liar. Hal itu dinilai sesuai prosedur hukum.
Demikian pula dengan tindakan penahanan, dinilai telah berdasarkan pertimbangan penyidik dengan beberapa aspek pertimbangan, yakni khawatir tersangka melarikan diri, menghilangkan barang bukti, dan mengulangi tindak pidana, serta penyitaan yang dilakukan sudah melalui proses izin dari Ketua Pengadilan Negeri.
Kasus dugaan pembunuhan terhadap Fitri terjadi 14 Oktober 2017 silam. Wanita itu ditemukan tak bernyawa di pinggir Jalan Pramuka Km 2,5 Kelurahan Sawahan, Kecamatan MB Ketapang, Kotim. Fitri tewas dengan luka parah di wajahnya, diduga akibat hantaman benda tumpul.
Kasus itu terkuak sejak perkaranya diproses Polres Kotim dan ditingkatkan ke penyidikan pada Agustus 2020. Dalam surat pemberitahuan dimulainya penyidikan, Polres Kotim menetapkan Acn sebagai tersangka. Acn dibidik dengan Pasal 338 KUHP dan atau Pasal 353 Ayat (3) KUHP sub Pasal 351 Ayat (1) KUHP. (ang/ign)