Penyakit tanaman pisang kerap menyerang sejumlah lahan pertanian milik masyarakat di Kecamatan Seruyan Hilir Timur, Kabupaten Seruyan. Hal itu berpengaruh terhadap perekonomian masyarakat setempat.
ALDI SETIAWAN, Kuala Pembuang
Kecamatan Seruyan Hilir Timur, khususnya Desa Pematang Panjang, Bangun Harja dan sekitarnya, terkenal sebagai wilayah penghasil produksi pisang, khususnya pisang kepok yang melimpah di Bumi Gawi Hatantiring, sebutan Kabupaten Seruyan.
Akan tetapi, produksi pisang di wilayah setempat mulai berkurang sejak munculnya wabah penyakit seperti layu fusarium yang disebabkan Fusarium Oxysporum f Sp Cubense (FOC) serta penyakit darah yang disebabkan bakteri patogen tanaman yang disebut ralstonia solanacearum ras 2, P celebensis atau Banana Blood Disease (BBD). Hal itu berimbas pada hasil produksi masyarakat.
Untuk menuju Desa Pamatang Panjang, dari Kota Kuala Pembuang hanya perlu waktu sekitar sepuluh menit. Hamparan perkebunan milik masyarakat akan menyambut orang yang berkunjung ke desa itu.
Lahan perkebunan pisang milik masyarakat setempat tersebunyi di dalam hamparan perkebunan kelapa yang berada di kiri dan kanan jalan.
Diang (55), petani setempat mengaku memiliki lahan perkebunan sebanyak tujuh baris (disebut balur atau tembokan dalam bahasa setempat). Lebar per baris sekitar 10 meter dan panjang mencapai 350 meter tiap barisnya.
Lahan perkebunan seluas itu ditanami berbagai macam komoditas, seperti kelapa dan pisang. Baik itu pisang kepok maupun pisang lilin. ”Di sela kelapa itu, ditanami pisang. Memang tidak terlalu rapat dan agak berjarak, karena andalannya memang kelapa,” katanya, Rabu (13/1).
Meskipun tidak menjadi komoditas andalan di lahan perkebunan miliknya, pisang menjadi salah satu buah yang sangat membantu perekonomian keluarganya.
Akan tetapi, masalah datang ketika tanaman pisang di kebunnya pertama kali diserang penyakit pada sekitar tahun 2019 silam. Hal itu berlanjut hingga sekarang.
”Kalau dibandingkan dengan lahan perkebunan milik masyarakat yang lainnya, lahan punya saya terbilang yang lambat diserang, karena saat itu saya dengar lahan-lahan masyarakat di daerah Unit II itu sudah kena, lalu mulai menyebar ke Pematang Panjang, di daerah hulu kebun saya, dan akhirnya sampai ke sini,” ujarnya.
Dia menambahkan, ciri-ciri tanaman pisang yang terkena penyakit tersebut kebanyakan pada saat usia muda akan terlihat baik-baik saja. Namun, saat memasuki usia hendak berbuah, daun pisang tersebut mulai berubah warna menjadi kekuningan dan buah yang dihasilkan akan menyusut dan kecil.
Jika dibelah, di dalam buah pisang tersebut akan terdapat bercak kecokelatan sampai hitam dengan tekstur yang sangat keras. Tentu saja buah itu tidak bisa dimakan, apalagi dijual.
Sejak saat itu, lanjutnya, produksi pisang yang dihasilkan kebunnya langsung merosot. Sebelum terserang penyakit, kebunnya bisa menghasilkan pisang hampir dua kuintal lebih, baik pisang lilin maupun pisang kepok dengan masa panen 15 hari sampai dengan satu bulan satu kali.
Akan tetapi, di masa sekarang, mencari 50 kilogram pisang saja sangat sulit. ”Pisang kepok itu mencari 10 kilogram saja sulit, pisang lilin juga demikian. Itu pun bukannya dalam jangka waktu yang pendek, satu bulan setengah bahkan lebih baru bisa panen, tapi harga jualnya sangat tinggi, pisang lilin itu sekitar Rp 3.000 per kilo, kalau dulu itu sekitar Rp 1.000, dan kalau pisang kepok saat ini sampai Rp 5.000 per kilo, sedangkan dulu cuman sekitar Rp 2.000-an,” tuturnya.
Menurutnya, hal tersebut sangat berpengaruh terhadap perekonomiannya. ”Dengan hasil panen pisang yang dulu, peribahasanya masih bisa buat beli-beli ongkos di dapur sembari menunggu panen kelapa yang memang cukup lama. Kalau ditotal-total bisa saja dapat Rp 500 ribu lebih tiap panen, tapi saat ini itu sangat sulit,” ujarnya.
Keadaan tersebut diperparah dengan rendahnya hasil produksi kelapa yang dihasilkan kebunnya yang notabene jauh dari hasil musim panen biasanya. ”Saat ini saya tidak melakukan perlakuan khusus terhadap kebun saya. Kalau untuk masalah pisang, mungkin nanti akan kami tanam ulang sembari berharap tanaman yang baru tidak terkena penyakit lagi. Untuk kelapa saat ini memang musim panen yang sedikit. Tapi kalau saya lihat-lihat beberapa waktu belakangan, buah-buah kelapa mudanya sudah mulai lebat. Mudah-mudahan saja itu jadi tanda produksi kelapa di kebun saya kembali normal,” harapnya.
Terpisah, Kepala Dinas Ketahanan Pangan dan Pertanian (DKPP) Seruyan Albidinnor mengatakan, jika disesuaikan dengan standar operasional prosedur (SOP) yang ada terhadap penyakit pisang tersebut, memang diharuskan untuk melakukan eradikasi atau pemusnahan massal atau sterilisasi lahan dengan tujuan pemutusan mata rantai.
”Akan tetapi, dalam beberapa pertemuan yang kita lakukan masih belum ada kesepakatan untuk itu, karena masih ada beberapa yang bagus. Yang jadi masalah, jika seperti itu, maka yang terkena penyakit ini akan menular ke tanaman pisang yang masih bagus itu," katanya.
Dia menambahkan, lahan tersebut seharusnya dilakukan eradikasi dan disuntikkan senyawa aktif yang akan membunuh pisang-pisang itu, lalu mengistirahatkan lahan tersebut dan menggantinya dengan tanaman hortikultura lainnya, seperti jagung dan lain-lain. Dalam jangka waktu satu sampai dua tahun, diganti dengan bibit pisang yang tahan hama dan penyakit.
Sebelumnya, DKPP juga ada mengadakan bantuan untuk mengatasi wabah penyakit tersebut. Akan tetapi, berdasarkan evaluasi, ternyata hasil yang didapat belum efektif, sehingga tidak dilaksanakan kembali. Sementara ini, yang bisa dilakukan pihaknya terkait keluhan petani tersebut, yakni dengan membantu pupuk dan pestisida.
”Kalau yang secara khusus, kami belum mempunyai obat untuk mengatasi itu. Tapi, baru-baru ini kami berencana mau mengadakan semacam kerja sama untuk melakukan riset terkait adanya wabah penyakit pisang tersebut. Semoga dalam waktu dekat ini kami bisa segera melakukan MoU dan bisa langsung diujicobakan dengan lahan petani yang terdampak," ujarnya.
Lebih lanjut dia mengatakan, pihaknya tidak memprogramkan secara khusus penanggulangan penyakit tanaman pisang tahun ini. Hal itu berdasarkan hasil evaluasi pelaksanaan program sebelumnya. Pada 2019 lalu, pihaknya telah mengadakan bibit pisang kultur jaringan yang disinyalir tahan terhadap serangan penyakit tersebut dan ternyata tidak berpengaruh signifikan terhadap kemampuan bertahan maupun keseragamannya.
Sementara ini pihaknya hanya bisa memberikan kiat bertahan dari serangan penyakit tanaman tersebut. ”Kita bicaranya bertahan ya, bukan untuk memberantas. Pertama, rawat dan pupuk tanaman itu. Kalau antibodinya kuat, cukup vitamin dan haranya, dengan sendirinya akan bisa bertahan. Kedua, peralatan yang digunakan untuk berkebunan seperti parang, arit, dan lain sebagainya harus steril. Ketiga, jangan lupa memotong jantung pisangnya dan jangan sampai dibiarkan, karena saat ini diduga inangnya penyakit tersebut adalah dari serangga. Kedisiplinan itu yang membuat bisa bertahan, dalam artian petani masih bisa panen," tuturnya.
Menurutnya, penyakit pisang dalam tiga tahun terakhir sangat berpengaruh terhadap hasil produksi pisang di Seruyan. Sebelumnya Seruyan bisa mengirim pisang ke Sampit 10 - 20 ton. ”Sekarang hanya mampu tiga sampai empat truk, sekitar delapan ton saja,” tandasnya. (***/ign)