Rasa lelah yang menyergap tubuh tak membuat semangat peserta pendakian ke Bukit Tantan Samatuan ciut. Mereka terus bersemangat melanjutkan ekspedisi selanjutnya menuju Situs Dambung Mangkurab.
=============================
ARHAM SAID, Kuala Kurun
Ekspedisi ke Bukit Tantan Samatuan berlanjut Minggu (6/11), sekitar pukul 08.30 WIB. Berbeda dengan medan menuju Bukit Tantan Samatuan yang ekstrim dan terjal, untuk menuju ke Situs Dambung Mangkurab, peserta harus berjalan kaki melewati jalan berbatu dikelilingi lebatnya hutan Kalimantan dan menyeberangi derasnya arus Sungai Kahayan.
Jarak antara Posko II atau Camp Domas menuju ke situs Dambung Mangkurap berkisar 1,8 kilometer. Bisa ditempuh menggunakan kendaraan roda empat dengan jarak tempuh sekitar 10 menit. Para peserta langsung diantar sampai ke bibir Sungai Kahayan.
Tantangan pertama menanti, peserta harus menyeberangi derasnya arus Sungai Kahayan. Sesekali, ada peserta yang tergelincir akibat salah mengambil jalur, sehingga mengakibatkan barang bawaannya basah.
Tidak sampai di situ, setelah berhasil menyeberang, seluruh peserta yang dipimpin Bupati Gumas Arton S Dohong harus berjalan kaki sejauh 600-700 meter untuk sampai ke Situs Dambung Mangkurab. Selama perjalanan, harus menjaga sikap dan ucapan, karena merupakan tempat sakral yang dipercaya memiliki penunggu roh halus.
Pukul 10.00 WIB, seluruh peserta akhirnya sampai ke Situs Dambung Mangkurab. Hal itu dimanfaatkan peserta untuk berfoto di depan situs tersebut. Di lokasi itu terdapat Batu Patahu peninggalan Dambung Mangkurab, yang disebut dengan Patahu Balanga.
”Konon, Batu Patahu peninggalan Dambung Mangkurab tersebut tidak bisa dipindahkan. Pernah ada yang mencoba memindahkan, namun selang beberapa lama batu patahu tersebut kembali lagi ke tempat asalnya. Ini yang menjadi daya tarik wisatawan dan ke depan akan dijadikan salah satu destinasi wisata Gumas,” kata Bupati Gumas Arton S Dohong.
Ke depan, kata Arton, pemkab bersama masyarakat sekitar bisa menjaga, memelihara, dan melindungi situs dengan baik. Jangan sampai ada orang yang merusak atau mengganggu lokasi itu. Nantinya, pemkab akan membangun akses jalan, sehingga bisa langsung ke lokasi, baik itu menggunakan kendaraan bermotor maupun roda empat.
”Siapa saja yang berkunjung ke sini, harus bisa menjaga dan melindungi situs peninggalan leluhur kita ini,” tegas Arton.
Dari cerita leluhur, lanjutnya, Dambung Mangkurab menikah dengan adik Raja Banjar. Setelah dari Hulu Sungai Kahayan, karena iparnya adalah Raja Banjar, Dambung Mangkurab diundang untuk menjaga kerajaan di Kalimantan Selatan itu. Dambung pun diangkat menjadi Panglima. Ketika Raja Banjar wafat, kekuasaannya diserahkan ke Dambung Mangkurab, yang sekarang dikenal nama yang berubah menjadi Lambung Mangkurat, di Banjarmasin.
”Inilah tempat nyata, posisi dan kehidupan beliau, sebelum beliau ke wilayah Kalsel,” tuturnya.
Selama berada di Situs Dambung Mangkurab, peserta membersihkan rumput liar yang tumbuh di sekitar lokasi situs. Selain itu, ada juga meminta pertolongan dan memohon doa kepada yang maha kuasa, agar diberikan kemampuan, kesehatan, dan berbuat yang terbaik untuk Gumas.
”Di sini tempat orang bisa meminta pertolongan kepada Tuhan yang maha kuasa. Menurut cerita, lokasi ini cukup akrab di kalangan masyarakat bagian Hulu Sungai Kahayan,” tuturnya.
Beberapa saat kemudian, seluruh peserta mengikuti prosesi ritual Maluput Hajat, artinya menunaikan janji karena sudah berjanji akan memberikan makanan kepada mereka jika sampai ke situs tersebut. Dipimpin sat orang basir (Pemuka Agama Hindu Kaharingan), satu ekor babi dan ayam, dipotong untuk persembahan.
”Keyakinan kita, segala sesuatu itu semua ada penghuninya yang harus kita minta izin dan persembahkan sesuatu. Ritual ini atas permintaan dari batu patahu tersebut,” ujarnya.
Sementara itu, konsultan pariwisata/travel agen asal Bali, I Nyoman Landra mengatakan, ritual di Bumi Kalimantan merupakan sesuatu hal yang sangat tradisional. Tradisi dan bukti situs yang ada harus dilestarikan.
”Ini pertama kali saya datang ke Kalteng, khusus Gumas. Saya melihat objek wisata di Gumas, khususnya Situs Dambung Mangkurab ini memiliki keunggulan tersendiri. Hanya saja, untuk menjangkau lokasi masih terlalu jauh,” katanya.
Menurutnya, potensi wisata di Gumas memang luar biasa. Situs yang ada harus dipertahankan. Ritual dan situs yang didatangi itu bisa dipopulerkan ke belahan dunia lain.
”Ekspedisi ini merupakan titik awal untuk menuju ke arah seperti menjadi Pulau Dewata di Bali. Meskipun dalam pelaksanaannya memerlukan kerja keras,” tuturnya.
Kerja sama dengan Pulau Bali, lanjutnya, sangat memungkinkan. Bali merupakan pintu gerbang awal yang bisa dipopulerkan lewat marketing, sehingga bisa dipasarkan ke dunia. Tiga jam berada di Situs Dambung Mangkurab setelah melaksanakan ritual sekitar pukul 13.00 WIB, para peserta kembali dan makan bersama di bibir Sungai Kahayan. Ekspedisi selanjutnya adalah susur sungai menuju Situs Tumbang Dangoi dan sekitarnya. (***/bersambung)