PALANGKA RAYA – Bagi yang masih ‘bau kencur’ mungkin kehadiran Timotheus Tenggel Suan ke balai Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) Jalan RTA Milono bukan sesuatu yang istimewa. Namun bagi jurnalis yang sudah puluhan tahun berkecimpung di dunia jurnalistik, seperti Ketua PWI Kalteng H Sutransyah, Sadagori Binti yang karib disapa Bang Ririn, kehadiran pria yang dikenal masyarakat Kalteng dengan nama TT Suan, kelahiran Tumbang Manjai, Rangan Tangku, Kabupaten Katingan, 23 Agustus 1933 ini adalah sebuah kehormatan.
”Di usia saya saat ini, saya ingin sekali mengunjungi PWI. Karena dulu saya ikut merintis supaya di Kalteng ini ada tempat berkumpulnya para wartawan seperti tempat lain,” ucap TT Suan didampingi istrinya Saniah Imat Suan, saat bicara tentang kerinduan hatinya dan bagaimana puluhan tahun silam wartawan Kalteng tak dipandang sebelah mata oleh pegawai pemerintah.
Ia berkisah usulannya untuk mengadakan balai PWI, saat ia menjabat sebagai Kepala Biro Humas di Provinsi Kalteng, dimentahkan saat berhadapa dengan anggota DPRD Kalteng kala itu.
”Sekarang gedung PWI sudah bagus sekali, hati saya rasanya senang karena dulu pernah ikut berjuang supaya gedung ini ada,” ucap pria yang mengaku pendengarannya sudah tak awas itu dengan rasa haru.
TT Suan yang pernah 11 tahun menetap di Jogjakarta, Jawa Tengah (Jateng), ini juga berkisah bagimana ia akhirnya dipanggil Tjilik Riwut (Gubernur Kalteng kala itu) di medio tahun 1962-an dan diminta kembali membangun Kalteng sebagai seorang anak muda. Lalu akhirnya menjabat sebagai kepala biro humas dan aktif menulis serta menjadi wartawan. Dan baru berhenti menulis sejak awal 2016 karena jari-jemarinya sudah tak mampu “menari” diatas mesin tik lagi.
Menanggapi cerita TT Suan, Sutransyah pun bertutur bahwa keberadaan balai PWI Kalteng yang cukup representatif dengan dua lantai saat ini, dimana lantai atas digunakan sebagai aula pertemuan, tak lepas dari dukungan Pemerintah Provinsi (Pemprov) Kalteng.
“Balai PWI ini ada tak lepas dari dukungan pemerintah terhadap wartawan. Tanpa andil Pak TT Suan mungkin balai PWI ini pun tak akan ada. Kami sangat bersyukur kepada Tuhan karena keberadaan Bapak juga tak lepas membuat balai PWI ini ada,” papar Sutransyah.
Di akhir kunjungannya, pria yang menyelesaikan Kursus Wartawan Tertulis ‘’Pro Patria” Yogyakarta, medio Januari hingga Juni 1958, serta pernah mendalami dunia jurnalistik, dimana dari bulan November hingga Desember 1976 mengikuti pelatihan sebagai kameramen dan Asisten Sutradara PFN Departemen Penerangan Republik Indonesia Jakarta, hingga sekarang memegang Kartu Pers Seumur Hidup ini berpamitan sambil membawa berbagai edisi terbitan Kalteng untuk mengetahui perkembangan dunia jurnalistik yang msih sangat dicintainya. (vin)