SAMPIT – Minuman keras tradisional jenis lonang atau baram hanya boleh diproduksi untuk acara adat. Jika ada sisa setelah acara adat, maka lonang wajib dimusnahkan.
”Lonang itu dilarang, tapi kalau ada acara adat seperti tiwah diperbolehkan. Dengan catatan, jumlahnya terbatas, hanya pada pelaksanaan acara tersebut. Setelah selesai, tidak boleh ada sisanya,” kata Kepala Dinas Pelayanan Terpadu Satu Pintu (PTSP) Kabupaten Kotim Johny Tangkere kemarin (26/4).
Pada pelaksanaan upacara adat, kata Johny, panitia pelaksana harus melaporkan berapa banyak lonang dibuat dan yang diperlukan.
Menurutnya, Pemkab Kotim sendiri hanya memperbolehkan peredaran minuman beralkohol golongan A seperti bir, yang kadar alkoholnya hanya 5 persen ke bawah. Sementara untuk minuman beralkohol golongan B yang kadar alkoholnya di 5-20 persen dan C yang kadar 20-45 persen tidak diizinkan beredar di Kotim.
”Untuk Kotim dilarang pendistribusian miras dengan kadar alkohol di atas 5 persen. Golongan B dan C hanya ada di Aquarius sebagai hotel bintang 4. Izinnya dari kita, kita berikan karena dalam Peraturan Kementerian Pariwisata, hotel berbintang 4 dan 5 diperbolehkan menjual miras tipe B dan C. Hanya saja harus diminum di tempat. Tidak boleh dibawa keluar dari lokasi penjualan,” tandasnya.
Tempat hiburan selain hotel bintang empat dan bintang lima, hanya boleh menjual minuman beralkohol golongan A. Jika melanggar, akan ada sanksi pencabutan izin.
”Apabila kami temukan tempat hiburan yang menjual selain bir, kami akan beri sanksi langsung dengan mencabut izin penjualannya. Kami sudah mengingatkan mereka, jangan coba-coba menjual di luar golongan A. Kalau ada yang menjual golongan B dan C, lalu kami temukan buktinya, akan langsung kami cabut izinnya. Kami tidak akan berikan izin perpanjangan lagi,” ucapnya saat diwawancarai, Selasa (25/4) lalu.
PTSP juga menyatakan, pemerintah daerah memiliki perda miras yang akan diperbarui. ”Kamis ini akan dibahas,” imbuhnya.
Secara terpisah, Ketua Badan legislasi (Baleg) DPRD Kotim Dadang H Syamsu mengatakan, dewan sudah mengagendakan pembahasan regulasi peredaran minuman keras. Ada beberapa hal yang diperkuat di raperda miras, mulai dari penertiban hingga sanksi pidana bagi penjual miras.
”Raperda ini lahir dari semangat untuk memberantas peredaran miras,” kata Dadang H Syamsu kemarin.
Raperda miras yang dibahas ini bukan merevisi perda lama, namun lebih mengarah kepada pembuatan produk hukum baru. Perda miras terdahulu akan dicabut setelah produk hukum yang baru disahkan.
Substansi raperda baru berbeda dari sebelumnya, yakni proses perizinan penjualan miras, areal penjual miras, tim yang akan menertibkan, hingga sanksi pidana.
”Sanksi yang diatur perda itu ancaman kurungan 6 bulan penjara dan denda Rp 50 juta. Itu hanya perda. Lain lagi kalau si pelaku melanggar UU yang menjadi dasar perda itu, maka akan lebih berat lagi dari ancamannya,” kata Dadang.
Politikus PAN ini menyatakan, Badan Legislasi akan menekan Pemkab Kotim dalam berkewajiban melakukan penertiban miras selagi masih ada oknum nakal yang berjualan.
Selain itu, raperda miras ini juga mengatur soal penggunaan miras tradisional. Kedepannya tidak akan sebebas sekarang ini. Miras tradisional seperti lonang hanya diizinkan dalam kegiatan ritual adat Dayak. Dalam proses pembuatannya harus mendapatkan izin dari Pemkab Kotim.
”Dan juga proses pembuatannya juga ada pendampingan dari Dinas Kesehatan Kotim. Ini penting agar tidak membahayakan bagi warga yang mengkonsumsinya nanti,” tukas Dadang.
Menurutnya, perda itu bukan untuk menghilangkan minuman lokal seperti baram dan lonang, tetapi lebih kepada pengaturan agar tertata dan terdata. (ang/sei/yit)