Konsep kematian bagi umat Hindu adalah badannya dan raganya tetapi jiwa, roh, atma tetap ada dan kembali kepada Tuhan Raying Hatalla. Hal ini tergambar saat salah satu jenazah umat Hindu bernama Suratmi (41) warga Jalan Kini Balu menjalani kremasi di kompleks Pura Penataran Agung Dalem Prajapati Jalan Tjilik Riwut Km 2,5, Rabu (17/5).
DODI, Palangka Raya
Dalam agama Hindu, Kremasi adalah sebuah acara perabuan api untuk mengubah jenazah menjadi abu dengan cara diapikan. Dengan dikremasikan itu maka unsur alam angkasa, udara,air, api dan tanah bisa menyatu. Berbeda dengan kubur maka badan kasarnya sulit dan lambat kembali ke alam.
Kremasi juga merubah jasad menjadi sebuah abu dan nanti akan larung atau hanyutkan ke sungai untuk kembali ke unsur alam. Disebut dalam Hindu adalah Pansa Maha Buta artinya lima unsur alam.
Mempersiapkan kremasi harus ada kematian. Permohonan maaf dan pengembalian atma atau jiwa atau roh kapada Tuhan Ranying Hattala. Karena konsep Hindu yang mati itu adalah badannya dan raganya tetapi jiwa, roh, atma kembali ke tuhan. “Jiwa atau atma selalu ada,” ungkap Wakil Suka Duka Umat Hindu Palangka Raya, Mujiono.
Mujiono menguraikan kenapa badan diupacarai, karena badan berjasa sekali kepada atma dalam proses hidup dan kehidupan. Artinya badan tanpa jiwa atau jiwa tanpa badan tidak ada artinya dalam kehidupan ini.
Upacara ini merupakan wujud nyata dalam suatu penghormatan dan penghargaan dalam pensucian sakralisasi atau inisiasi raga dan jiwa. Hingga diharapkan menyatu kepada tuhan Yang Maha Kuasa Yang menjadi asal mula kehidupan.
Mujiono menerangkan untuk tahapan berawal dari rumah, berupa perawatan jenazah dan pemandian atau penyucian sedemikian rupa. Dengan Tirta Suci lalu diberikan busana layak seperti orang hidup. Melenggkapi saran dan prasarana hingga bila menghadap Tuhan.
Kepada jenazah diberikan Tujuh Janang Sari. Kening, ulu hati, kemaluan dan tangan. Hal itu merupakan simbol dari tujuh alam, unsur alam dan tujuh kekuatan dalam diri manusia.
Setelah itu, maka dimasukkan dalam peti. Lalu dikeluarkan dari rumah ke halaman dengan sebuah prosesi penghormatan dari anak, cucu dan keluarga kepada jenazah. Lalu pemberangkatan dan pelepasan dari mantu. Diiringi pemutusan hubungan antara meninggal dan masih hidup.
Dengan simbol memutus Benang Tri Datu berupa benang merah, putih dan hitam serta dilengkapi dengan uang kepeng. Diawali anak paling tua hingga terakhir lalu diberangkatkan ke lokasi kremasi.
Kemudian, lanjut Mujiono, ada lagi upacara sakral untuk menyucikan dan hal lain dipimpin oleh juru mangku atau pemangku agama. Upacara sosial masyarakat lalu doa bersama.
Kemudian, penyulutan api suci. Api ini bukan api sembarangan atau biasa tetapi api suci yang sudah dimohonkan oleh pendeta dan pemangku. Api ini untuk menjadikan abu dari jenazah jadi abu jenazah.
Setelah abu jenazah ada pengulapan. Artinya abu dikumpulkan dan diwadahkan pada tempat suci. Dibentuk sedemikian rupa hingga seakan menjadi sosok masih hidup dengan simbol-simbol pembacaan doa dari pemangku agama. Lalu dibawa ke larung abu jenazah dibawa ke sungai tepat di belakang tugu Soekarno.
Mujiono membeberkan larung abu jenazah ini merupakan simbol menyatukan dengan air dan mengembalikan ke alam. Kenapa harus air, karena dianggap ke lautan sebagai tempat menyempurnakan dalam pengembalian serta menetralisasi unsur-unsur negatif.
”Kami percaya lautan merupakan simbol penyempurnaan jiwa,” ucapnya.
Lalu, setelah itu akan ada upacara lagi tiga hari kemudian disebut masaru dan dilakukan oleh seluruh keluarga. Artinya penyembahan kepada alam dengan memberikan sesaji. Pembersihan secara spiritual oleh keluarga dan masyarakat dipimpin oleh pemangku di rumah duka hingga kegiatan berakhir. satu tahun kemudian dilakukan acara Ngaben.
Mujiono berujar dalam kremasi ini menelan biaya 5-7 juta, namun akan dibantu oleh tim suka duka hingga keluarga hanya mengeluarkan dana sedikit.
“Kegiatan ini masih kremasi, ini tahapan awal selanjutnya ada upacara Ngaben,” terangnya
Ditanya terkait perhatian pemerintah, dia menyebutkan sudah sangat baik, tetapi diharapakan lebih lokasi kremasi lebih sempurna. Karena harus ada atap dan kompor untuk kremasi dan ada sebuah tempat khusus untuk larung abu.
“Memang harusnya ada tempat khusus dan krematorium hingga tidak kelihatan jenazah kala dikremasi. Jujur hal itu sudah ada komunikasi ke instansi terkait tetapi sampai sekarang belum tahu termasuk tidak ada mobil jenazah untuk dimiliki,” pungkasnya. (daq/vin)