SAMPIT – Kebijakan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) terkait sekolah lima hari dengan sistem ”seharian” di sekolah (Full Day School) disambut positif sejumlah sekolah di Sampit. Namun, penerapannya perlu persiapan matang. Terutama membuat siswa lebih nyaman di sekolah.
”Kami akan mengikuti aturan tersebut. Apalagi ini program nasional. Kendala kami juga tidak terlalu berat untuk menjalankannya, sehingga tidak akan jadi masalah. Kami hanya tinggal menunggu juknis (petunjuk teknis) dari pemerintah,” kata M Darma Setiawan, Kepala SMA Negeri 1 Sampit, Kamis (15/6).
Menurutnya, sarana dan fasilitas di sekolahnya untuk menunjang kebijakan itu, sudah cukup memadai, seperti kantin, kamar mandi, toilet, maupun tempat ibadah, meski, perlu sedikit penyesuaian. Misalnya, kantin diharapkan bisa mengelola makan siang para murid.
Selain itu, lanjutnya, beberapa persiapan juga perlu dilakukan. Pertama, sehubungan dengan penyusunan jadwal pelajaran. Namun, pihaknya mereka masih menunggu informasi lebih lanjut dari kementerian. Kedua perlu sosialisasi kepada kepada orangtua atau wali siswa.
”Setiap orangtua pasti juga akan memikirkan kondisi dan keperluan anak mereka selama di sekolah. Bagi para guru, agar menemukan cara untuk membuat para siswa merasa nyaman selama di sekolah, sehingga mereka tidak merasa bosan dan terpaksa berada di sekolah seharian,” ujarnya.
Secara pribadi, Darma mengaku mendukung program tersebut. Pasalnya, selain tidak merugikan siswa, justru dapat menghindarkan mereka dari bahaya pergaulan bebas. Dengan menghabiskan waktu lebih banyak di sekolah, murid tidak akan memiliki waktu melakukan hal-hal yang dinilai kurang bermanfaat, seperti keluyuran dan lainnya. Sekolah juga mempunyai lebih banyak waktu membina siswanya.
”Walaupun dalam Full Day School porsi pembelajaran tetap sama seperti biasannya, setidaknya sisa waktu setelah pembelajaran formal bisa dimanfaatkan untuk pembinaan karakter siswa, pendalaman agama, ataupun ekstrakurikuler,” katanya.
Hal senada diungkapkan Kepala SMK Negeri 2 Sampit Ino. Pihaknya siap menerapkan kebijakan Kemendikbud yang sedianya dilaksanakan di tahun ajaran baru tersebut. Namun, pelaksanaannya tetap harus sesuai prosedur. Pihaknya masih menunggu juknisnya.
”Siap saja sebenarnya. Fasilitas juga tidak terlalu jadi masalah. Paling yang jadi malasah terkait makan siang siswa. Apakah dihandle kantin atau mau bagaimana, tapi hal ini juga masih bisa dirembukkan dengan orangtua atau wali siswa,” ujarnya.
Selain itu, lanjutnya, materi pembelajaran masih bisa disesuaikan dengan peraturan tersebut. Pembinaan karakter memang sudah mereka lakukan sebelum wacana Full Day School melibatkan orang dari luar sekolah agar bisa maksimal dalam pelaksanaannya.
Kepala MTs Nurul Ummah Umiyati juga siap menerapkannya, meski fasilitas di sekolahnya belum sepenuhnya mendukung . Tempat ibadah, misalnya, masih menggunakan ruang kelas kosong lantaran belum memiliki rumah ibadah, baik masjid maupun musala.
”Sebisa mungkin kami laksanakan. Walaupun dari segi fasilitas belum cukup memadai, tapi kalau memang sudah jadi aturan dari pemerintah, sebisa mungkin kami penuhi. Tapi, kami juga masih menunggu juknis dari pimpinan,” katanya.
Pemberlakuan Full Day School, lanjutnya, justru baik bagi siswa, untuk mengantisipasi mereka dari kegiatan yang tidak bermanfaat sepulang sekolah. Terlebih lagi bisa menghindarkan mereka dari bahaya pergaulan bebas.
Hanya saja, menurutnya, penerapannya bakal bermasalah dari sisi finansial. Sebagai sekolah swasta yang sebagian besar pegawainya berstatus honorer, pihaknya harus memikirkan honor tambahan bagi pegawainya karena harus melakukan kerja ekstra. Minimal untuk makan siang.
Kesiapan Anggaran
Saementara itu, Ketua Dewan Pendidikan Kotim Akmal Thamroh mendukung program Full Day School. Namun, terdapat beberapa hal yang perlu jadi perhatian, salah satunya kesiapan stakeholder satuan pendidikan menjalankan program tersebut.
”Program itu bagus. Hanya saja, jika dijalankan, sekolah dan semua stakeholder-nya siap atau tidak menjalankannya. Sebab untuk menerapkan Full Day School itu, semua harus ikut bertanggung jawab dan siap melaksanakannya. Mulai dari orangtua, anak, hingga guru siap,” katanya, Kamis (15/6).
Dia menuturkan, murid SD paling perlu diberikan pembiasaan menyiapkan menghadapi program tersebut. Sebab, pada dasarnya anak-anak mudah bosan. ”Karena pulangnya semakin siang, jam 15.00 WIB, anak-anak itu kan pasti perlu makan dan minum. Kalau di Jawa itu di sekolah ada yang mengelola. Jadi, di sini, apakah sekolah siap mengelola seperti itu juga?” ujarnya.
Selain itu, lanjutnya, Perpanjangan waktu belajar seharusnya diikuti dengan inovasi cara mengajar yang baik oleh guru. Saat pembelajaran, guru seharusnya tidak lagi mengajar secara monoton, tetapi menciptakan suasana belajar yang asyik dan menyenangkan untuk menghabiskan waktu.
Akmal menambahkan, pada tambahan jam belajar, murid harus bisa dibuat lebih proaktif. Guru mengajar tidak hanya dengan membaca buku di depan kelas dan memberi tugas. Tapi, harus membuat anak murid aktif, baik, dengan cara melakukan kerja kelompok atau diskusi materi yang melibatkan anak murid.
”Sistemnya bagus, tetapi dalam prosesnya tergantung teknik pelaksana untuk bisa menjalankannya dengan efektif. Bagaimana menciptakan suasana agar anak tidak bosan belajar selama 8 jam di sekolah. Kalau dari pagi sampai sore belajar monoton saja, mereka pasti jenuh. Apalagi anak-anak SD,” katanya.
Dia juga berharap tidak ada pungutan yang justru membebani orangtua/wali peserta didik dalam penerapan program itu. Di sisi lain, pemerintah juga perlu memikirkan hal penting lainnya, yaitu penambahan insentif untuk tenaga pengajar.
”Selama penambahan jam belajar itu, apakah ada tambahan penghasilan bagi tenaga guru? Terutama untuk guru honor yang dibayar oleh BOS (bantuan operasional sekolah). Tambahan penghasilan mereka apakah dibayarkan? Kalau dibayarkan, dari mana sumbernya? Ini perlu dipikirkan. Pemkab apakah siap membayar atau tidak?” katanya. (vit/sei/ign)