Kepungan alam dan sulitnya akses jalan tak membuat warga pedalaman terpasung keterbatasan. Canggihnya teknologi membawa mereka ikut melihat dunia tanpa harus pergi jauh ke kota. Meski penuh perjuangan, mereka juga ingin menikmati peradaban.
DESI WULANDARI, Sampit
Perlu waktu sekitar enam jam untuk mencapai Desa Tumbang Kalang, Kecamatan Antang Kalang, Kabupaten Kotawaringin Timur (Kotim). Radar Sampit yang bertolak dari Kota Sampit sekitar pukul 14.00 WIB, Kamis (24/8) lalu, baru tiba sekitar pukul 20.00 WIB.
Jalan yang tak sepenuhnya mulus, membuat mobil pikap sayur yang ditumpangi Radar Sampit—menumpang mobil sayur karena angkutan menuju Tumbang Kalang sangat minim—harus berjuang mencapai tujuan.
Sang sopir memutuskan mengambil jalan pintas, menembus belantara hutan dan perkebunan. Sebab, jalan umum banyak rusak dan berbukit. Tanjakan curam dan licin bisa membahayakan di tengah musim penghujan seperti sekarang.
Jalan pintas perkebunan sebenarnya tak kalah memprihatinkan. Tanah merah dan belumpur jadi tantangan. Mobil yang penuh dengan muatan sayur dan ikan itu beberapa kali kesulitan saat jalanan menanjak. Cuaca mendung membuat suasana saat itu kian mencekam.
Sepanjang perjalanan, gawai yang dibawa Radar Sampit beberapa kali hilang jaringan. Begitu memasuki wilayah Tumbang Kalang, jaringan telekomunikasi mulai agak lancar, meski saat itu hujan mengguyur deras.
Ada dua provider yang sudah masuk wilayah itu. Salah satunya Telkomsel. Provider ini, jaringan telepon maupun internetnya tergolong baik. Lokasi tower BTS-nya berada di wilayah itu, sehingga jaringannya kuat. Warga sekitar mengaku sangat terbantu.
”Kami tak kesulitan menghubungi kerabat atau teman yang jauh di Kota Sampit, atau bahkan di luar daerah sekali pun. Adanya internet juga membuat kami tak ketinggalan informasi,” kata Iyan, warga Tumbang Kalang.
Karena ibu kota kecamatan, lanjutnya, jaringan telekomunikasi sangat lancar. Warga sangat terbantu. Apalagi bagi aparatur pemerintah kecamatan. Urusan pemerintahan bisa cepat dikoordinasikan dengan pejabat terkait di Pemkab Kotim.
Kondisi demikian, kata Iyan, tak bisa dirasakan sepenuhnya semua warga Antang Kalang. Ada 15 desa di wilayah itu. BTS yang ada belum mampu menjangkau semua desa. Enam desa di antaranya belum ada jaringan telekomunikasi. Sebagian lainnya jaringan memang sudah masuk, namun tak sepenuhnya lancar. Desa Tumbang Ngahan, misalnya.
Jaringan telekomunikasi di desa yang dapat ditempuh melalui jalur darat dari Tumbang Kalang selama dua jam itu, hanya ada pada beberapa titik tertentu. Paling lancar di wilayah berbukit. Terutama Bukit Ipu—demikian warga setempat menyebutnya.
Menurut Nahup, warga Tumbang Ngahan, untuk menuju Bukit Ipu, warga harus menempuh jalan darat sekitar 30 menit. Bukit itu paling tinggi. Jaringan telepon maupun internet sama kualitasnya seperti di kota.
Untuk menuju ke titik itu perlu sedikit perjuangan. Selain jalanan yang curam, sebagian besar juga masih berupa kubangan lumpur.
”Sekitar tahun 2012, warga banyak tahu kalau di Bukit Ipu sinyal telepon dan internet dapat diakses. Sekarang cukup banyak warga memanfaatkannya. Namun, hanya sinyal Telkomsel yang bisa diakses, provider lain belum bisa,” tutur Nahup.
Masuknya jaringan telekomunikasi mengubah pola hidup masyarakat desa. Rata-rata warga setempat memiliki telepon genggam, mulai dari gawai canggih dengan fasilitas internet atau seluler biasa yang hanya sekadar berkirim pesan singkat dan telepon.
”Baik remaja maupun aparatur desa, memanfaatkan akses sinyal di Bukit Ipu untuk mempermudah mereka berkomunikasi. Bagi aparat desa, berkoordinasi dengan pemerintah di kecamatan dan kabupaten,” ujar Nahup.
Hampir sekitar empat tahun warga setempat menjadikan Bukit Ipu sebagai lokasi favorit untuk menikmati dunia tanpa batas yang disediakan Telkomsel. Kemudahan warga kian bertambah ketika jaringan semakin kuat.
Dalam setahun terakhir, warga mendapati salah satu titik sinyal Telkomsel di salah satu rangka rumah warga yang belum selesai pengerjaannya. Hanya saja, cuma sinyal telepon dan layanan pesan singkat yang bisa digunakan.
”Untuk Android, tidak dapat tersambung sinyal. Bisanya hanya telepon genggam biasa yang dapat sinyal. Itu pun kami haru memanjat kerangka rumah jika ingin menelepon,” ujarnya, seraya menambahkan, hal tersebut memudahkan warga berkomunikasi apabila ada hal darurat yang ingin disampaikan kepada orang lain di kota atau lokasi lain secepatnya.
Lokasi rumah itu berada di depan puskesmas pembantu (pustu) yang ditempati bidan desa. Saat itu, seorang warga tampak sibuk mengutak-atik telepon genggamnya. Dia duduk di papan kayu yang dipasang di atas kerangka rumah itu. Papan sengaja dipasang untuk tempat menelepon.
Sesekali terdengar tawa dari wanita paruh baya itu. Sekitar 15 menit dia asyik bercengkrama dengan seseorang di telepon.
Radar Sampit mencoba sinyal di titik itu dengan membawa tiga telepon genggam berbeda, yakni dua Android dan satu telepon genggam biasa dengan fasilitas terbatas. Ternyata Android dengan fasilitas internet tak bisa menangkap sinyal Telkomsel di tempat tinggi tersebut.
Hanya seluler biasa yang dapat mengakses sinyal itu. Namun, kualitas jaringannya tak maksimal, sehingga suara masih putus nyambung. ”Ini pun sudah cukup membantu. Banyak warga yang sudah memanfaatkan sinyal yang terbatas di rumah itu,” katanya.
Apabila ingin mendapat sinyal yang lebih bagus, kata Nahup, tentu saja harus ke Bukit Ipu. Radar Sampit mencoba ke lokasi itu dengan meminjam sepeda motor milik warga. Sekitar 30 menit perjalanan ditempuh dengan jalanan yang tak rata. Sebagian besar berlumpur, karena sehari sebelumnya hujan lebat di daerah tersebut.
Lokasi itu cukup ramai. Di bawah pohon di pinggir jalan, warga berinisiatif membuat tempat duduk, khusus untuk menelepon atau menikmati fasilitas internet. Rita, warga Desa Tumbang Ngahan mengaku sering ke bukit tersebut untuk menelepon anaknya yang sekolah di Kota Sampit dan Banjarmasin.
”Biasanya kalau sore hari banyak warga yang menelepon di sini. Aparatur desa juga sering ke sini mengirim laporan program desa. Sebab, di sini jaringan internet dapat diakses,” katanya.
Menurut Rita, jaringan Telkomsel masuk ke wilayah itu, sebelumnya dia dan warga lainnya harus bersusah payah menuju Desa Tumbang Kalang untuk sekadar menelepon anaknya di Sampit. Biayanya tak murah. Warga harus mengeluarkan kocek melalui jalur sungai sebesar Rp 500 ribu untuk sekali perjalanan.
”Jika turun ke kecamatan baru bisa berkomunikasi dengan anak-anak. Tentu saja itu menyulitkan. Namun, sejak ada sinyal di Bukit Ipu, kami sedikit membantu. Meskipun harus bersusah menjangkaunya,” ujarnya.
Rita berharap Telkomsel dapat memperkuat dan memperluas jaringan di wilayah itu, sehingga warga tak perlu lagi bersusah payah harus ke Bukit Ipu untuk berkomunikasi.
Julianus, mantan Kepala Desa Tumbang Ngahan mengatakan, meskipun terbatas dan harus berjuang untuk mengakses sinyal, masyarakat sudah sedikit lebih maju dan ikut menikmati layanan telekomunikasi, baik telepon dan internet yang berhasil dijangkau Telkomsel.
Kondisi itu berbeda jauh dibanding sebelumnya, sekitar tahun 2012 ke bawah. ”Sebelum masuknya sinyal telepon di Bukit Ipu, kami memanfaatkan transportasi sungai untuk mengirim dan menerima surat. Karena itu pula warga desa sering ketinggalan informasi,” katanya.
Selain berkirim surat, lanjutnya, aparatur desa memanfaatkan jasa motoris kelotok yang mengantar barang atau penumpang ke desa-desa. Surat tertulis dan kabar secara lisan dititipkan melalui motoris kepada kepala desa atau aparatur desa lainnya. Tentu saja tak sepenuhnya lancar. Surat atau informasi yang dititipkan terkadang sering terlambat disampaikan.
”Hal tersebut mempersulit kami membangun komunikasi. Tapi, mau tidak mau harus kami lakukan. Sebab, saat itu belum terdeteksi sinyal di desa kami,” ujarnya.
Camat Antang Kalang Berdikari mengatakan, di Antang Kalang ada enam desa yang tidak terjangkau jaringan telekomunikasi, yakni Desa Sungai Puring, Tumbang Ngahan, Tumbang Ramei, Tumbang Hejan, Buntut Nusa, dan Tumbang Gagu.
”Dari enam desa itu, lima di antaranya belum tersambung transportasi darat, sehingga cukup menyulitkan telekomunikasi tersambung. Masyarakat masih bergantung pada transportasi sungai,” kata Berdikari.
Berdikari menuturkan, untuk memperluas jaringan telekomunikasi, Pemkab Kotim akan memasang jaringan V-Sat yang bekerja sama dengan PT Telkom Indonesia. Melalui program itu, semua desa di wilayah itu akan terjangkau jaringan telekomunikasi.
”Bahkan, dari enam desa tersebut, sudah ada yang menganggarkan dana desa untuk pengadaan V-Sat. Mereka berharap pemerintah secepatnya melaksanakan program tersebut,” katanya.
Kerja sama Pemkab Kotim dengan PT Telkom Indonesia Cabang Banjarmasin dalam program itu terwujud 26 Agustus lalu. Bupati Kotim Supian Hadi menandatangani nota kesepatatan kerja sama dengan perwakilan PT Telkom Indonesia, Slamet Rianto.
Pembangunan infrastruktur telekomunikasi tersebut akan dimulai dari desa. Pada 2017 ini akan diawali dengan sepuluh desa di wilayah utara yang akan dibiayai APBD. ”Sejak lama saya sudah menginginkan seluruh wilayah di Kotim tercover jaringan telekomunikasi, sehingga masyarakat Kotim tidak lagi mengalami kesulitan jaringan telepon dan internet,” kata Supian.
Supian menegaskan, Pemkab akan berupaya sepenuhnya agar semua wilayah Kotim bisa mengakses jaringan telekomunikasi maupun internet. Targetnya sampai 2019 mendatang. Tiap desa diminta berpartisipasi dengan mengalokasikan anggaran melalui dana desa.
”Kami akan menggunakan provider telkomsel untuk masyarakat di wilayah pedalaman. Sebab, kerja sama dilakukan dengan PT Telkom Indonesia yang memiliki jaringan telekomunikasi baik dan terluas di Indonesia untuk membuka gerbang digital hingga ke seluruh pelosok wilayah Kotim,” katanya. (***/ign)