PALANGKARAYA – Sebanyak 733 tempat pemungutan suara (TPS) di Kalimantan Tengah (Kalteng), rawan terjadi jual beli surat suara serta berbagai kecurangan lainnya pada pemilihan umum tahun 2019. TPS rawan itu berada di wilayah pelosok yang sulit dijangkau.
”Kerawanan itu dilihat dari situasi dan kondisi geografis yang sulit dijangkau serta belum ada jaringan telekomunikasi," kata Koordinator Divisi Pencegahan dan Hubungan Antarlembaga (PHL) Bawaslu Kalteng Siti Wahidah, Kamis (11/4).
Ratusan TPS itu tersebar di seluruh wilayah Kalteng. Secara keseluruhan, di Kalteng ada 8.137 TPS. Siti tak menyebut secara rinci wilayah TPS rawan tersebut. Dia hanya menegaskan, ratusan TPS itu menjadi perhatian serius Bawaslu Kalteng.
Selain soal TPS, lanjutnya, Bawaslu juga memantau keluarga dan kerabat kepala daerah yang mencalonkan diri. Mereka diawasi ketat agar tidak memanfaatkan program pemerintah serta mencegah pengerahan aparatur sipil negara (ASN).
”Misalnya istri kepala daerah di Kabupaten Kapuas yang menjadi caleg, kami telah mewanti-wanti Bawaslu setempat agar melakukan pengawasan ketat. Jangan sampai caleg itu memanfaatkan jabatan suaminya untuk menyosialisasikan diri," kata Siti.
Mengenai pelanggaran yang ditemukan maupun dilaporkan dan telah ditangani Bawaslu, Siti mengungkapkan, hingga 11 April 2019 ada sebanyak 118 pelanggaran. Pelanggaran yang dilakukan peserta pemilu tersebut paling banyak terjadi pada masa kampanye.
Koordinator Penyelesaian Sengketa Proses Pemilu Bawaslu Kalteng Rudyawati Dorotea Tobing mengatakan, dari 118 pelanggaran tersebut paling banyak terkait alat peraga kampanye (APK) yang dipasang di tempat ibadah, fasilitas umum, dan tempat pendidikan.
”Ada juga mobil ambulans bergambar partai dan calon legislatif yang telah ditindak. Itu sementara berbagai pelanggaran yang sudah kami tangani sampai sekarang," kata Rudyawati.
Ketua Bawaslu Kalteng Satriadi mengingatkan partai politik maupun calon anggota legislatif agar tidak melakukan pelanggaran pemilu. Apabila ketahuan dan terbukti, dikenakan sanksi hukum dan administrasi. Sanksi administrasi berupa pembatalan pencalonan meski telah memperoleh kursi di DPD RI, DPR RI, DPRD provinsi, ataupun kabupaten/kota.
”Kami tidak menakut-nakuti. Sanksi hukum dan sanksi administrasi itu aturan. Kami tidak segan memberikan tindakan sesuai aturan," kata Satriadi.
Belum Sejahtera
Sementara itu, politik uang yang diprediksi kian subur dalam pemilu tahun ini, dinilai terjadi karena masyarakat yang belum sejahtera. Di sisi lain, masyarakat juga belum memahami sepenuhnya pengetahuan di bidang politik.
”Politik uang terjadi karena kurangnya edukasi masyarakat dalam hal pemahaman politik. Ini bisa membuktikan bahwa kesejahteraan masyarakat masih kurang,” kata Muhammad Arsyad, salah seorang caleg di Kotim.
Menurut Arsyad, kinerja Bawaslu selama ini menunjukkan perubahan yang lebih baik dalam pengawasan. Apalagi Bawaslu menempatkan pengawasnya di semua TPS. Persoalan pemberantasan politik uang bukan hanya menjadi tanggung jawab lembaga itu, tetapi tanggung jawab bersama.
”Mereka juga punya keterbatasan personel. Tak mungkin Bawaslu setiap kecamatan mengawasi jalannya penyelenggaraan pemilu selama 24 jam,” ujarnya.
Sebelumnya diberitakan, ketegasan Bawaslu Kotim dalam mencegah dan menekan politik uang jadi harapan banyak caleg, terutama bagi pendatang baru. Mereka berharap pertarungan politik tak dikotori praktik curang yang berujung pada buruknya kualitas pemilu dan caleg yang terpilih.
”Saya pribadi mengharapkan Bawaslu agar lebih ketat, transparan, dan bertindak tegas bagi caleg yang menggunakan politik uang. Selama bukti ada dan terekam jelas, harus diproses. Jangan hanya menunggu,” kata Ayu Paramitha, salah seorang caleg. (agf/hgn/ign)