Kalimantan Tengah menyiapkan lahan di tiga kabupaten untuk menjadi ibu kota pemerintahan pengganti Jakarta. Selama sepekan Radar Sampit melakukan ekspedisi menyusuri wilayah itu.
LAPORAN HENY
Terik matahari siang itu, Selasa (25/6), cukup menyengat. Panasnya yang membuat kerongkongan cepat kering, membuat Radar Sampit yang menggunakan motor matic 125 cc harus berhenti berkali-kali untuk minum air mineral.
Hamparan pepohonan yang membentang luas, menemani sepanjang perjalanan di atas aspal mulus. Di beberapa titik, pohon kelapa sawit tertanam rapi. Jalanan berkelok dan berbukit semakin sering dijumpai setelah melewati pintu gerbang selamat datang di Kabupaten Gunung Mas.
Suasana jalan menuju Kelurahan Tumbang Talaken, Kecamatan Manuhing, Gumas itu sepi. Jarang pengendara lain melintas.
Saat melintasi Desa Takaras, wilayah sebelum Tumbang Telaken, jalan yang dilintasi Radar Sampit mulai banyak rusak. Ada sekitar 121 titik yang rusak. Membuat perjalanan terasa begitu lama.
Mendekati Tumbang Talaken, tepat di pinggir jalan negara, Radar Sampit berhenti di sebuah kios. Seorang pria berkaus putih lusuh duduk santai di depan kios bersama temannya. Keduanya menatap heran pada Radar Sampit.
Setelah Radar Sampit memperkenalkan diri, barulah mereka terbuka. Tiko, demikian pria berkaus lusuh itu disapa. Pemilik kios berusia sekitar 40 tahun itu mengaku mengetahui rencana perpindahan ibu kota yang tengah disiapkan pemerintah.
”Saya mendukung rencana pemerintah, tetapi ada juga rasa tidak mendukung, karena khawatir tanah saya ini tepat berada di pinggir jalan. Kalau nantinya daerah ini jadi ibu kota, bisa digusur nantinya,” tutur Tiko.
Tiko mengaku khawatir tak mendapat ganti rugi apabila rencana pembangunan ibu kota sampai ke tanahnya. ”Kalau diganti rugi pemerintah, saya mau saja dipindahkan. Tetapi, kalau tidak diganti rugi, itu yang membuat saya khawatir,” tuturnya.
Tumbang Talaken merupakan salah satu wilayah yang masuk dalam kawasan yang disiapkan jadi ibu kota negara. Jaraknya 145 kilometer dari Kota Palangka Raya. Bisa ditempuh melalui jalan darat dengan lama perjalanan 2 jam 45 menit.
Presiden RI Joko Widodo pernah menjejakkan kaki di kelurahan itu, 8 Mei lalu. Saat itu, Jokowi berkunjung untuk meninjau langsung lokasi calon ibu kota yang disiapkan Pemprov Kalteng. Kawasan yang dikunjungi Jokowi tepatnya berada di Bukit Nyuling, sekitar 300 meter dari pusat permukiman Tumbang Talaken.
Plt Lurah Tumbang Telaken, Bambang H Mulyanto mengatakan, saat kedatangan Jokowi, dia ikut mendampingi sambil membawa peta yang sudah disediakan.
”Sejujurnya saya cukup kaget dan bingung karena baru pertama kali daerah ini didatangi presiden,” kata Bambang yang sudah 19 tahun menetap di Tumbang Telaken.
Camat Manuhing Sugiarto mengatakan, Jokowi berkunjung ke Tumbang Talaken sekitar 45 menit. ”Kedatangan Presiden saat itu mendadak, karena hanya dalam hitungan jam saya menyiapkan lapangan,” kata Sugiarto.
Pihaknya bersama pengelola jalan dari Kementerian Pekerjaan Umum lalu mengadakan pertemuan untuk mengurus sertifikat tanah untuk badan jalan. Pemerintah pusat meminta agar semua jalan dibuatkan sertifikat badan jalan selebar 15 meter dengan panjang mulai dari Desa Takaras hingga batas Kecamatan Manuhing.
Sugiarto menuturkan, warga Tumbang Telaken dan sekitarnya belum bisa menikmati listrik secara maksimal. ”Listrik kami di sini terbatas dan hanya menyala mulai pukul 16.00-06.45 WIB dengan menggunakan solar cell,” ujarnya.
Menurutnya, keterbatasan listrik merupakan permasalahan lama yang sudah dialami sejak bertahun-tahun lamanya. Warga pernah mengusulkan beberapa kali agar listrik PLN bisa masuk kawasan tersebut.
”Saya teruskan usulannya, tetapi belum juga ada tindak lanjut sampai sekarang,” katanya. Masuknya wilayah itu sebagai kandidat ibu kota pemerintahan, membuat harapan warga untuk menikmati listrik 24 jam penuh kian membesar. ”Kami harapkan daerah ini bisa mengikuti daerah lain juga yang sudah bisa menikmati listrik 24 jam,” ujarnya.
Sugiarto menambahkan, Tumbang Telaken merupakan wilayah terpencil. Jaringan sinyal komunikasi sulit. Hanya ada di area-area tertentu.
Lebih lanjut Sugiarto mengatakan, lahan di Manuhing sebagian dimiliki tujuh perkebunan besar swasta (PBS) kelapa sawit. Dia tak ingat total luasannya. Secara keseluruhan, Manuhing memiliki lahan seluas 1.113 kilometer persegi dengan sebelas desa dan satu kelurahan.
Tumbang Talaken merupakan bagian dari Kecamatan Manuhing. Wilayah itu masuk dalam segitiga emas yang jadi kebanggaan Kalteng yang diusulkan jadi ibu kota. Kawasan segitiga emas mencakup tiga kabupaten, yakni Palangka Raya, Gunung Mas, dan Katingan.
Ada beberapa keunggulan sehingga kawasan tersebut disebut segitiga emas, yakni areal yang luas mencapai 500 ribu hektare dan merupakan tanah negara. Secara topografi, tanahnya lebih tinggi dibanding kawasan lain. Daerah itu juga bebas dari banjir dan longsor. Selain itu, potensi sumber daya alamnya melimpah.
Terpisah, Bupati Gumas Jaya S Monong mengatakan, pihaknya menyiapkan lahan seluas 121 ribu hektare di dua kecamatan, yakni Manuhing dan Manuhing Raya, untuk jadi ibu kota.
”Tentu kami sangat menyambut baik wacana itu. Semua yang diperlukan akan kami siapkan, sehingga wacana tersebut bisa terealisasi,” tuturnya, Jumat (28/6).
Menurut Jaya, ada beberapa keunggulan Gumas menjadi ibu kota pemerintahan, di antaranya lahan yang sangat luas. Apabila lahan yang disiapkan masih kurang, masih ada lahan lain, yakni di Kecamatan Rungan Barat dan Rungan.
Selain itu, lanjutnya, ketersediaan air bawah tanah juga mencukupi. Di sisi lain, kebakaran hutan dan lahan juga sudah berkurang. Hanya saja, tantangan yang paling berat adalah infrastruktur yang masih sangat terbatas.
”Kalau dari segi kesiapan infrastruktur memang belum memadai dan pembangunannya harus dimulai dari awal,” katanya.
Dia mengatakan, apabila pemindahan ibu kota terealisasi, merupakan peluang baik bagi kemajuan daerah. Masyarakat juga memiliki banyak peluang usaha yang bisa dimanfaatkan untuk meningkatkan ekonomi dan kesejahteraan mereka.
Selain peluang usaha, lanjut dia, kualitas sumber daya manusia (SDM) juga harus ditingkatkan agar mampu bersaing dan tidak tersisih akibat eksodus warga yang datang ke daerah tersebut. Semua perlu persiapan dan kesungguhan yang matang.
”Bagi yang tidak mau dan tidak mampu bersaing dari sisi kualitas SDM, akan menjadi penonton. Begitu juga sebaliknya. Masyarakat harus bisa mengubah cara pandang, perilaku, dan pola pikir mereka agar tidak terpinggirkan tanpa berbuat apa-apa,” terangnya.
Sejauh ini, lanjutnya, sudah ada tim teknis dari pusat yang menyambangi Gumas untuk melakukan kajian dan penelitian lebih lanjut secara mendalam untuk menentukan lokasi bagi ibu kota pemerintahan. ”Kami tinggal menunggu perkembangannya seperti apa nanti,” katanya.
Jaya juga mengaku telah memerintahkan camat, kepala desa (kades), lurah, damang, kepala adat, dan mantir adat, agar tidak mengeluarkan Surat Pernyataan Tanah (SPT) atau Surat Keterangan Tanah Adat (SKTA) di lahan yang masih tergolong hutan.
”Ini dilakukan agar tidak menimbulkan spekulasi dan adanya pihak tertentu yang mengambil keuntungan pribadi. Semua pihak harus mematuhinya. Terkecuali jika ada lahan yang terlanjur sudah digarap, dibuktikan dengan adanya tanam tumbuh sebagai bukti benar ada aktivitas masyarakat,” ujarnya.
Dia menambahkan, kepemilikan lahan oleh masyarakat lokal tentu akan memperkuat kedudukan mereka, apabila ibu kota pemerintahan benar-benar ditetapkan di Kabupaten Gumas.
”Dengan demikian, nantinya saat investor masuk dan ingin membangun, akan lebih terarah tanpa mengabaikan kepentingan masyarakat sekitar. Kami tidak ingin masyarakat lokal tersisihkan oleh laju pembangunan dan ketatnya persaingan,” ujarnya.
***
Pemerintah Provinsi (Pemprov) Kalteng mengusulkan Kecamatan Rakumpit sebagai salah satu wilayah calon ibu kota di Palangka Raya. Perlu waktu sekitar dua jam menempuh jalur darat untuk mencapai wilayah itu dari pusat Kota Palangka Raya.
Dari tujuh kelurahan di kawasan itu, hanya dua kelurahan yang masuk segitiga emas Kalteng, yakni Kelurahan Petuk Bukit dan Pager. Petuk Bukit paling dekat dengan Palangka Raya di antara kelurahan lainnya dengan jarak sekitar 55 km, sementara Kelurahan Pager berjarak sekitar 65 km.
Kantor yang tak terawat menyambut Radar Sampit saat berkunjung ke Petuk Bukit. Pintu kantor itu terkunci. Tak ada pegawai yang turun kerja di hari Senin (24/6) itu. Padahal, hari itu merupakan awal pekan.
Dari balik jendela, meja dan kursi dipenuhi debu dan sarang laba-laba. Semakin memperkuat bahwa kantor itu jarang didatangi pegawainya. Camat Rakumpit, Wiliam, yang saat itu bersama Radar Sampit, hanya bisa geleng-geleng kepala melihat perilaku pegawai di kelurahan itu.
”Sudah saya instruksikan agar pegawai aktif bekerja. Padahal, kelurahan ini cukup dekat dibandingkan kelurahan lainnya,” katanya.
Perumahan warga di sekitar kantor kelurahan itu hanya sekitar belasan unit. Hanya terlihat beberapa warga di luar rumah. Sebagian warga lainnya berkebun, sehingga saat siang hari wilayah itu sepi.
Secara keseluruhan, Petuk Bukit memiliki luas lahan 299,91 Km2 dengan jumlah penduduk 989 jiwa. Kondisi jalan di kelurahan itu sudah beraspal, sehingga memudahkan akses warga. Selain itu, warga juga sudah bisa menikmati listrik selama 24 jam.
Meski pemberitaan mengenai perpindahan ibu kota gencar menghiasi media massa, namun, tak semua warga setempat mengetahuinya. Wandi, misalnya. Penyedia jasa kelotok di wilayah Rakumpit ini mengaku tak tahu rencana tersebut karena jarang mengakses berita.
Namun, jika rencana itu terealisasi, dia berharap pembangunan di daerahnya bisa merata dan perekonomian semakin membaik. ”Asalkan membawa dampak baik bagi perekonomian di sini, semua masyarakat pasti mendukung rencana pemerintah,” kata pendatang asal Kabupaten Kapuas yang telah menetap selama tiga tahun di Rakumpit ini.
Dia juga berharap apabila wilayah itu jadi ibu kota, akses transportasi jadi lebih mudah. Pasalnya, akses yang ada saat ini membuat dia terkadang harus mengeluarkan biaya besar. Untuk berbelanja ke Palangka Raya, misalnya, ongkos keluar cukup menguras dompet. Pasar yang ada di wilayahnya hanya menjual barang dan kebutuhan seadanya.
”Untuk transportasi saja sudah Rp 150 ribu. Belum termasuk belanja. Harus belanja ke kota atau di dekat Tangkiling (sekitar 50 kilometer dari Rakumpit, Red),” ujarnya.
Sementara itu, Wiliam mengatakan, sebagian besar masyarakat di Rakumpit bekerja sebagai petani di kebun karet, sawit, nenas, dan sayur. ”Ada juga yang mencari ikan di sungai dan sebagian lainnya PNS,” katanya.
Wiliam mengatakan, pada dasarnya masyarakat mendukung wilayah itu jadi ibu kota. Hanya saja, warga meminta masyarakat lokal diperhatikan dan diberdayakan. Jangan sampai tersingkirkan.
Menurut Wiliam, belum ada tim dari pemerintah pusat yang turun ke lokasi itu untuk berkoordinasi dengannya terkait pemindahan ibu kota. Hanya saja, dia dihubungi TNI Angkatan Udara untuk melihat kondisi tanah di Rakumpit. ”TNI AU melakukan survei kondisi tanah,” ujarnya.
Lahan di Rakumpit, lanjut Wiliam, sebagian besar milik masyarakat. Ada beberapa yang dimiliki perusahaan besar sawit (PBS).
Terpisah, Wali Kota Palangka Raya Fairid Naparin mengatakan, berbagai persiapan telah dilakukan, seperti peningkatan infrastruktur dan kajian. Termasuk menyosialisasikan komitmen pemerintah kota untuk memperjuangkan hak-hak masyarakat. ”Komunikasi dengan tim pemerintah pusat pun sudah ada melalui pemerintah provinsi,” katanya.
Fairid meminta warga tak perlu khawatir dengan akan dampak negatif yang timbul. Pasalnya, kajian pemerintah dilakukan dengan detail untuk mengantisipasi dampak buruk bagi daerah yang jadi ibu kota baru.
Wakil Wali Kota Palangka Raya Umi Mastikah menambahkan, wilayah untuk ibu kota baru sudah dipersiapkan. Hal itu seiring selesainya pembahasan Rencana Tata Ruang Wilayah Kota (RTRWK) Palangka Raya.
Umi berharap jika nantinya Palangka Raya resmi terpilih menjadi ibu kota pemerintahan, bisa menjadi tonggak awal bangkitnya pembangunan di Kalteng. Selain itu, perekonomian masyarakat juga akan meningkat drastis.
”Kalau dari potensi dan bentuk wilayah sangat diunggulkan. Kami juga berharap jika nantinya terpilih menjadi ibu kota baru, masyarakat Kalteng maupun perangkat daerah serta tokoh masyarakat bisa menerima dan mendukung," katanya.
***
Katingan merupakan wilayah terakhir yang dijelajahi Radar Sampit. Di kabupaten ini, lahan yang disiapkan untuk calon ibu kota seluas 112.279,85 hektare. Lahan itu tersebar di empat kecamatan, yakni Tewang Sanggalang Garing, Katingan Hilir, Pulau Malan, dan Katingan Tengah.
Lahan yang disiapkan Pemkab Katingan terdiri dari areal penggunaan lainnya (APL) sekitar 22.138 hektare, hutan produksi (HP) 71.570 hektare, hutan produksi konversi (HPK) 18.225 hektare, dan danau serta sungai seluar 53 hektare. Jumlah penduduk di empat kecamatan itu mencapai 12.475 jiwa dengan kepadatan rata-rata 8 jiwa per kilometer persegi.
Radar Sampit mengunjungi salah satu kelurahan di Tewang Sanggalang Garing, Pendahara. Wilayah itu bisa dicapai sekitar 45 menit dari Kota Kasongan, Ibu Kota Kabupaten Katingan.
Jalanan di wilayah itu beraspal mulus. Rumah warga rata-rata sudah teraliri listrik PLN. Akses komunikasi juga lancar, termasuk jaringan internet.
Suasana saat itu cukup ramai. Sejumlah warga melakukan beragam aktivitasnya. Subandri (40), warga setempat, saat itu sedang sibuk mengeringkan ikan di tengah teriknya matahari.
”Ikan ini mau dijadikan ikan asin untuk dimakan sendiri bersama keluarga,” katanya saat disambangi Radar Sampit.
Subandri mengaku mengetahui wilayahnya masuk kandidat ibu kota. Namun, dia kurang setuju rencana tersebut. ”Saya antara setuju dan kurang setuju, karena saya khawatir warga di sekitar tersisihkan,” kata Subandri.
Bupati Katingan Sakariyas mengatakan, pihaknya telah mencadangkan dan menetapkan lokasi kawasan pembangunan strategis dalam rencana tata ruang wilayah kabupaten (RTRWK) dan rencana pembangunan jangka menengah daerah (RPJMD) untuk persiapan calon ibu kota.
Sosialisasi kepada masyarakat juga dilakukan, termasuk mempersiapkan infrastruktur penunjang, seperti jalan darat, angkutan sungai, dan pembangunan pelabuhan laut di wilayah Pegatan.
Pemkab Katingan, lanjutnya, siap menerima eksodus warga yang akan datang ke wilayah itu. ”Kemungkinan satu sampai dua juta orang akan datang ke Katingan kalau jadi ibu kota," ujarnya.
Dia menegaskan, tak akan ada penggusuran rumah warga apabila infrastrukur dan bangunan pendukung ibu kota dibangun. Pasalnya, luasan lahan yang disiapkan sebagian besar masih berupa hutan.
Selain itu, kata Sakariyas, sejumlah masalah lingkungan, seperti kebakaran lahan, sudah bisa diantisipasi. Nyaris tak pernah terjadi lagi kebakaran hutan dan lahan beberapa tahun belakangan. Selain itu, wilayah tersebut juga tergolong bebas dari banjir.
Menurut Sakariyas, ada dampak positif dan negatif apabila ibu kota benar-benar pindah ke wilayah itu. Positifnya, meningkatnya pembangunan infrastruktur dan pertumbuhan ekonomi akan meroket. (hgn/arm/rm-99/rm-100/ign)