Berbagai cara dilakukan orang tua agar anaknya senang belajar. Salah satunya dengan mendekatkan literasi lewat candu yang memapar anak saat ini. Ya, gawai atau ponsel pintar. Bisa juga lewat media pelajaran tiruan seperti tablet literasi.
USAY NOR RAHMAD, Sampit
SEPEDA motor matik tua berhenti di rumah bercat abu muda, di Desa Pelangsian, Kecamatan Mentawa Baru Ketapang, Kotawaringin Timur , Kalimantan Tengah, Minggu (8/9) pagi. Perempuan berhijab yang menyapu teras itu membalas salam sembari mempersilakan masuk.
Pigura beragam ukuran menghiasi ruang tamu. Beberapa isinya menceritakan penerimaan penghargaan dari pejabat daerah. Ada juga foto kolase, seorang bayi laki-laki montok nan lucu.
Di sudut lain ada lagi kumpulan foto berpigura dengan ukuran senada. Ada yang bertema jurnalistik. Ada juga yang menggambarkan kehidupan hewan-hewan kecil di alam.
”Itu foto-foto karya suami saya ,” kata Asykuriah.
Asykuriah merupakan guru di SDN 4 Mentawa Baru Ketapang. Dia memperoleh penghargaan lomba karya tulis literatif di Perpuskataan Nasional Republik Indonesia, di Jakarta, Agustus 2019 lalu.
Asykuriah memperoleh penghargaan lomba karya tulis literatif di Perpuskataan Nasional Republik Indonesia, di Jakarta, Agustus 2019 lalu .
Tak lama, seorang pria berperawakan gempal keluar dari kamar dan menyapa saya. Arbit Safari, suami Asykuriah. Profesinya sebagai jurnalis di media massa lokal di Kotim.
Arbit disusul Ahmad Zaid Firdaus, anak tunggal mereka. Anak ini memiliki banyak prestasi membanggakan. Terutama di bidang catur. Berbagai kompetisi sudah dilahap pecatur cilik ini.
Semua tampak segar dan bersemangat menyambut saya saat itu. Sudah jauh hari kami janjian wawancara. Kami berbincang santai ditemani makanan ringan di ruang tamu.
Setelah cukup berbasa-basi, Asykuriah dibantu sang suami menyiapkan seperangkat perlengkapan. Ada buku kecil mirip binder. Agak tebal. Ada pula kotak seukuran kertas A3, berbalut selotip rapi.
”Ini namanya tablet literasi,” kata Asykuriah, menjelaskan kotak itu.
”Tablet” dari nampan plastik bertutup itu sangat membantunya mengajar Zaid. Bahkan, juga diterapkan pada anak didiknya di sekolah tempatnya mengajar.
”Lebih mudah mengerti, dari pada harus baca bukunya langsung,” kata Zaid, anak Asykuriah.
Kotak itu berisi lembaran penjelasan bergambar soal pelajaran. Bisa dimasukkan pelajaran apa saja. Lembarannya ditarik ke kiri. Tablet pun menampilkan lembar selanjutnya. Begitu cara kerjanya.
Bagian layar depan sengaja menampilkan halaman muka menyerupai tampilan di tablet asli. Maksudnya agar anak penasaran. Dan memang, cukup menarik perhatian.
”Anak-anak itu rasa ingin tahunya tinggi. Tapi, kalau langsung disuruh baca buku, pasti enggak mau,” kata Asykuriah.
Zaid salah satu contohnya. Zaid merupakan sosok anak yang susah tertarik dengan buku. Apalagi bila melihat artikel panjang. Dia lebih senang ilmu pasti, seperti matematika, dan semacamnya.
Sebab itu, tablet literasi dibuat. Materi pelajaran tersampaikan. Anak pun paham dan senang belajar. Tablet literasi menjadi pembuka ketertarikan anak terhadap kegiatan literasi. Melalui membaca, menyimak, dan menyampaikan.
Tak ada kegiatan istimewa soal kegemaran berliterasi di keluarga ini. Kendati demikian, mereka menyadari budaya literasi di keluarga sangat penting.
Selain melalui ”tablet” literasi, Asykuriah dan Arbit terus menumbuhkan kecintaan ilmu pengetahuan kepada anaknya. Salah satu caranya, dengan mendekatkan literasi pada hobi sang anak. Misalnya, saat sedang cinta-cintanya sama catur, Zaid diarahkan berburu informasi soal hobinya itu.
"Sekarang Zaid lagi suka buka buku online tentang langkah-langkah catur para grand master," tambah Arbit.
Tak ada juga pembatasan dalam menggunakan gawai bagi Zaid. Apalagi kedua orang tuanya sehari-hari juga bekerja menggunakan gawai. Sulit melarangnya. Hanya akses terhadap konten saja yang dibatasi.
Tapi, hebatnya, Zaid justru bisa membatasi dirinya sendiri. Dia lebih senang main catur secara langsung ketimbang berlama-lama dengan gawainya.
”Yang terpenting bagi kami menumbuhkan kecintaan pada ilmu dengan literasi. Jadi, setiap ada permasalahan, terutama menyangkut hobi yang disenangi, bisa diatasi dengan cara berburu informasi di internet,” ujar Asykuriah.
Tularkan Literasi
Sembilan tahun Asykuriah mengajar murid kelas 1 SD. Dalam mengajar, dia lebih banyak menyampaikan pelajaran dengan cara bercerita.
Namun, suatu waktu, Asykuriah mendadak dapat tugas dari kepala sekolah untuk menggantikan wali kelas 4 yang sedang cuti melahirkan.
Saat itu dia bingung, bagaimana cara menjelaskan pelajaran soal perkembangan biologi katak kepada murid dengan cara bercerita. Muncullah ide cerita Kodo dan Kidi.
Kodo merupakan katak jantan dewasa, sedangkan Kidi katak betina dewasa. Mereka kawin, hingga akhirnya Kidi bertelur. Telur tersebut berekor yang disebut kecebong. Kemudian, kecebong tumbuh menjadi anak katak. Anak kataknya dinamakan Kodi, Kido, dan Kudu.
Cerita Kodo dan Kidi disampaikan melalui tablet literasi. Hasilnya, sesuai harapan. Murid kelas 4 mudah mengerti materi metamorfosis pada katak. Selain itu, pesan-pesan moral juga dapat disisipkan lewat media itu.
”Senang sekali. Pelajaran mudah dimengerti. Asyik juga kalau semua pelajaran disampaikan seperti itu,” kata Muhammad Akbar Alviansyah, murid Asykuriah.
Menyampaikan pelajaran dengan tablet literasi bukan tanpa kendala bagi Asykuriah. Dia harus berkeliling ke setiap meja di kelas itu dalam menyampaikan cerita. ”Bisa saja materinya ditampilkan melalui proyektor, tapi tentu kurang menarik bagi anak,” ujarnya.
Asykuriah sebenarnya belum puas dengan karyanya. Dia ingin menambahkan suara, sehingga lebih menarik dan menambah senang anak-anak.
Selain melalui tablet literasi, Asykuriah juga membuat buku cerita dalam bentuk digital. Buku digital itu bisa diakses melalui gawai atau ponsel pintar. Buku digital dibagikan ke orang tua murid melalui grup media sosial, sehingga orang tua bisa mengingatkan kembali pelajaran yang didapat di sekolah kepada anaknya saat berada di rumah.
”Bisa saja murid diajarkan langsung lewat buku digital itu. Tapi, di sekolah kami, murid dilarang membawa ponsel,” kata guru yang biasa disapa Bu Asykur ini.
Upaya dan inovasi Asykuriah berbuah apresiasi dari pihak sekolah. Apalagi di SDN 4 Mentawa Baru Ketapang, tempatnya mengajar sangat mengedepankan budaya literasi.
”Saya sangat mendukung para guru berkreasi. Apalagi dapat bersinergi dengan orang tua murid,” ucap Kepala SDN 4 Ketapang Suharti Miran Harjo, Senin (16/9).
Kepala SDN 4 Ketapang Suharti Miran Harjo, memberikan arahan kepaa murid-muridnya dalam suatu kesempatan.
Di SDN 4 Ketapang, di hari tertentu ada waktu khusus untuk membaca. Murid-murid diwajibkan membaca buku 15 menit sebelum pelajaran dimulai. Setelah membaca, murid diminta menuliskan apa yang telah dibaca. Selanjutnya diminta menyampaikan di depan kelas.
”Semua kelas kami desain sedemikian rupa. Agar lebih menarik. Di setiap kelas ada yang namanya pojok literasi," ungkap Suharti.
Tak hanya 15 menit sebelum belajar, pojok literasi juga bisa digunakan bagi murid pada waktu istirahat untuk membaca.
”Senang, jadi lebih banyak kesepatan untuk membaca buku," kata Nasila, murid kelas 5.
Menariknya, pihak sekolah juga melibatkan orang tua atau wali murid dalam mengelola pojok baca tersebut. Termasuk dalam hal penyediaan bahan bacaan.
Selain itu, di sekolah setiap tahunnya juga mengadakan gebyar literasi. Berbagai kegiatan literasi dilombakan. Tidak hanya antarmurid, antarguru, namun juga antarorang tua murid.
Mengispirasi
Literasi ala keluarga Asykuriah mengispirasi keluarga lainnya. Khususnya bagi muridnya, Putri Najwa Kayla Gadiza.
Tri Ratna Setiyawati dan anaknya Putri Najwa Kayla Gadiza, belajar bersama di rumahnya. Tak ada waktu khusus untuk belajar. Tapi di setia ada waktu luang selalu dimanfaatkan Putri untuk belajar.
Putri tertarik dengan media pembelajaran lewat tablet literasi. Dia terilhami membuat hal serupa saat menyampaikan siklus rantai makanan di Perpustakaan Nasional beberapa waktu lalu.
”Saya membuat sendiri stiker berbentuk binatang, mewarnainya dibantu mama,” kata Putri, Rabu (18/9).
Putri memamerkan karyanya di Perpustakaan nasional belum lama ini.
Putri juga membuat proyektor gulung dengan menggunakan pipa paralon. Tampilan layar proyektor diganti dengan cara menggulung.
Sementara stiker tadi digunakannya untuk mengenalkan satu per satu jenis hewan yang terlibat di rantai makanan yang dijelaskannya.
Putri yang kini duduk di bangku kelas 6 ini juga akhirnya membuahkan prestasi di tingkat nasional. Berkat sketsanya tentang rantai makanan. Dia berhasil meraih juara 3 di kompetisi literasi yang juga diikuti Asykuriah di cabang berbeda.
Tri Ratna Setiyawati, ibu Putri Najwa Kayla Gadiza, salut dengan prestasi anaknya. Yang membuatnya bangga, kemampuan Putri dalam berkreasi membunuh bosan kala belajar.
Di kesehariannya, tak banyak perintah saat menyuruh anaknya belajar. Demikian halnya dalam membudayakan literasi di keluarganya. Dia hanya mengingat bila anaknya lupa pekerjaan rumahnya.
"Saya sekadar mengingat saja. Selebihnya memberikan dukungan," kata Tri, dikunjungi di rumahnya di Jalan DI Panjaitan Selatan.
Tak ada jam belajar tertentu bagi Putri. Putri hanya selalu memanfaatkan waktu luang untuk kegiatan literasinya.
Demikian halnya dengan penggunaan ponsel. Orang tua Putri hanya membatasi pemberian paket data pada ponsel pintar yang dipegangnya.
Bahkan, Putri kini senang mengikuti berbagai lomba kecerdasan melalui internet. Kendati demikian, dia mengaku masih tetap mengidolakan buku fisik dibanding membaca lewat gawai.
”Mata sakit dan cepat bikin mengantuk,” ujar Putri.
Apa yang dilakukan Asykuriah dan Putri Najwa Kayla Gadiza merupakan literasi modern. Memodifikasi dan memanfaatkan teknologi sebagai media berliterasi. Mereka mewariskan literasi antargenerasi. Melapangkan masa depan bagi generasi yang haus ilmu pengetahuan dan ”rakus” bahan bacaan.
Gita Anggraini, penggiat literasi di Sampit mengatakan, literasi itu tak selalu harus melalui buku. Bisa saja lewat media lainnya. Seperti gawai. Atau, gawai tiruan sekali pun.
Literasi merupakan kemampuan menggunakan potensi dan keterampilan dalam mengolah dan memahami informasi. Baik lewat membaca, bercerita, dan menulis.
”Jadi, literasi itu luas. Enggak harus buku. Dengan gawai pun bisa,” ungkapnya.
Zaman telah berkembang. Kemajuan teknologi tak dapat dilawan. Karena memang bukan untuk dilawan, namun untuk dimanfaatkan. Dimanfaatkan untuk kemajuan zaman. (***/ign)