PALANGKA RAYA - Ratusan masyarakat Dayak dari 42 organisasi menggelar aksi damai di tiga lokasi berbeda dalam satu hari. Aksi itu digelar di Bundaran Besar, Kantor DPRD Provinsi Kalteng, dan Markas Polda Kalteng, Selasa (10/12). Aksi damai ini dijaga ketat puluhan personel Polda Kalteng, Polresta Palangka Raya, serta Polsek Pahandut.
Ada 10 tuntutan atau pernyataan sikap dalam aksi itu, yakni menuntut pembebasan semua peladang yang sedang menjalani proses hukum dan yang sudah ditahan. Menuntut pemerintah dan aparat hukum tidak lagi melakukan upaya kriminalisasi terhadap peladang tradisional. Pembakaran ladang bukan pembakaran hutan dan lahan. Keempat, praktik berladang adalah upaya mempertahankan hidup, sekaligus menjadi tradisi dan budaya Dayak. Pelarangan berladang dengan menerapkan kearifan lokal adalah salah satu bentuk penghancuran budaya dan tradisi. Praktik perladangan tradisional oleh masyarakat merupakan bentuk kedaulatan mereka terhadap pangan, konsumsi, ekonomi, sosial, budaya serta kedaulatan atas tanah dan ruang hidup. Pemerintah harus menindak tegas dan transparan sesuai hukum setiap korporasi yang melakukan pembakaran hutan dan lahan pada areal konsesi izinnya. Pemerintah harus segera mencabut izin-izin korporasi yang terbukti melanggar aturan perizinan, pelanggaran pada praktik produksi, dan sebagainya. Pemerintah harus segera mencabut dan/atau merevisi setiap regulasi terkait pelarangan berladang dengan kearifan lokal serta berbagai regulasi yang tidak kontekstual dengan masyarakat adat sesuai Inpres No. 11 Tahun 2015, Surat Edaran Kapolri No. SE/15/XI/2016 dan sahkan PERDA perladangan berbasis kearifan lokal masyarakat adat Dayak Kalteng.
"Tujuan kami menggelar aksi di tiga lokasi ini agar semua pihak mengerti, agar sebanyak 17 rekan kami yang ditangkap beberapa waktu lalu segera dilepaskan. Kami peladang membakar ladang sama sekali tidak pernah merembet hingga berakibat karhutla, tetapi selalu dijaga sehingga tidak menyebabkan terjadinya kebakaran hutan dan lahan,” ujar Ketua Aliansi Masyarakat Adat Nusantara Kabupaten Gunung Mas Nurhayati saat menyampaikan orasi.
Nurhayati berani menjamin bahwa tidak akan terjadi karhutla selama para peladang baraktivitas, sebab upaya tersebut sudah dilakukan secar turun temurun.
”Maka itu segera bebaskan para peladang tradisional itu dan kabulkan 10 poin tuntutan kami. Jika tidak, ke depan akan menggelar demo serupa dengan jumlah massa lagi,” tekannya.
Nurhayati membeberkan, tahun 2019 bisa dikatakan sebagai tahun yang “kelam” bagi peladang tradisional di Kalimantan Tengah. Terlebih tercatat 35 orang peladang dijerat hukum atas dakwaan membakar hutan dan lahan.
“Kami para peladang yang selalu dijadikan kambing hitam oleh negara sebagai penyebab utama kebakaran hutan dan lahan serta kabut asap di Kalimantan Tengah. Seolah-olah peladang adalah penjahat/kriminal. Padahal tidak demikian,” ujarnya.
Dia menambahkan ada dampak negatif yang membentuk stigma dan paradigma di publik yang seolah-olah bahwa peladang dan praktik perladangan tradisional adalah penyebab utama kebakaran hutan dan lahan.
“Intinya kami ini berladang untuk mempertahankan hidup, tradisi dan budaya dayak,” katanya.
Di lokasi sama, Kapolres Kota Palangka Raya Kombes Dwi Tunggal Jaladri menyampaikan, tuntutan pembebasan tidak bisa, sebab berkas sudah diserahkan ke pengadilan sehingga prosesnya kini berada di pengadilan.
“Intinya mereka mau menuntut, silahkan melakukan penuntutan pada saat penangkapan atau melakukan prapradilan. Kami dalam posisi ini mengawal mereka dalam hal menyampaikan orasi dan pendapat,” katanya. (daq/sho/yit)