Kopi hangat siang itu, Senin (3/4), menghalau dingin dan kantuk yang menyerang di tengah hunjaman hujan di luar gedung kantor Unit Pelayanan Teknis (UPT) Cempaga, Kotim. Biskuit yang tersaji di atas meja menjadi teman berbincang panjang soal kondisi pendidikan di wilayah yang dihuni 24.014 jiwa itu.
Mengurai kompleksnya masalah pendidikan tak semudah membalik telapak tangan. Ada segudang persoalan yang membentang dan belum selesai. Masalah paling utama adalah pemerataan. Kesenjangan yang terus "digugat" warga pedalaman agar bisa menikmati manisnya "kemerdekaan".
Tiga sekolah dasar yang dikunjungi Radar Sampit di Cempaga; SD Negeri 1 Jemaras, SD Negeri Luwuk Kama, dan SD Negeri 2 Patai, merupakan contoh nyata tak adilnya pembangunan pendidikan. Sekolah yang berada di pinggir jalan Trans-Kalimantan Poros Selatan atau ruas Sampit – Palangka Raya itu kondisinya memprihatinkan.
Meski dari luar, bangunan sekolah yang berjarak sekitar 40 kilometer dari Kota Sampit itu tampak kokoh karena berkonstruksi beton, di dalamnya peserta didik belajar dengan fasilitas sekolah yang sebagian besar rusak dan tak layak. Belum lagi kondisi bangunan yang perlu renovasi atau bahkan ditambah.
Kepala Unit Pelayanan Teknis (UPT) Dinas Pendidikan Cempaga Gunawan menuturkan, tiga sekolah dasar itu merupakan prioritas usulan perbaikan sekolah dan penambahan sarana prasarana yang selalu disampaikan dalam musrenbang. Termasuk usulan tahun ini.
”Paling berat (kerusakannya) tiga sekolah itu yang jadi prioritas. Mudahan tahun ini terealisasi," ujarnya.
Gunawan menyadari, anggaran pemerintah belum mampu menyelesaikan masalah pendidikan. Hanya, warga yang jauh dari perkotaan juga memperoleh hak yang sama untuk menempuh pendidikan di tempat yang layak, dengan suasana yang nyaman.
Belajar dengan kondisi fasilitas yang terbatas dan buruk, jelas sangat memengaruhi efektivitas proses menyerap maupun penyampaikan ilmu pengetahuan bagi peserta didik dan guru. Hal itu juga yang membuat persaingan meraih prestasi dengan sekolah di wilayah perkotaan sangat jomplang.
”Harapan kami, agar pembangunan pendidikan di daerah pedalaman, utamanya sekolah, mendapat perhatian lebih lagi," ujarnya.
Kebijakan pemerintah mewajibkan anggaran minimal sebesar 20 persen dari total anggaran daerah, menurut Gunawan, belum mampu menghapus kesenjangan tersebut. Hanya saja, dia meminta anggaran pemerintah bisa lebih adil untuk membangun fasilitas pendidikan yang layak di pedalaman.
Menurut Gunawan, pendidikan merupakan pondasi penting untuk membangun daerah agar lebih maju. Melalui pendidikan yang baik, daerah diyakini akan lebih berkembang. Masalah kemiskinan dan kesenjangan antara daerah perkotaan dan pedesaan akan terselesaikan apabila warga terdidik dengan baik.
”Pembangunan pendidikan itu tak kalah pentingnya dengan pembangunan infrastruktur. Apa gunanya kalau infrastruktur baik tapi warganya tak terdidik dengan baik untuk memanfaatkannya," ujarnya.
Kompleksnya masalah pendidikan juga perlu solusi selain bergantung pada anggaran pemerintah yang terbatas. Campur tangan orangtua murid merupakan salah satu jalan keluar.
Hanya saja, Gunawan mengungkapkan, pihak sekolah sekarang lebih berhati-hati menerapkan kebijakan agar orangtua peserta didik ikut berperan membantu sekolah. Pungutan yang sebelumnya bisa disepakati dalam komite sekolah, kini ditiadakan. Khawatir masuk kategori pungutan liar (pungli) yang jadi target tim sapu bersih pungli.
”Sekarang sulit meminta orangtua ikut berperan. Apalagi di kampung. Jika ada pungutan, mereka bisa lapor di media sosial. Meski itu sudah disepakati dalam komite sekolah, mereka berpikir sekolah itu gratis sepenuhnya. Padahal, peran orangtua juga diperlukan untuk membangun sekolah," katanya.
Meski penuh keterbatasan, Gunawan menuturkan, warga tetap memiliki semangat tinggi menyekolahkan anaknya. Sekolah yang tersedia di Cempaga juga masih mencukupi menampung anak-anak untuk menimba ilmu.
Berdasarkan data UPT Dinas Pendidikan Cempaga, di wilayah itu ada 33 sekolah, terdiri dari 26 sekolah dasar, 5 sekolah menengah pertama (SMP), dan masing-masing satu sekolah menengah atas (SMA) dan sekolah menengah kejuruan (SMK). Total jumlah murid/siswa tercatat sebanyak 5.123 orang yang tersebar di delapan desa. Rinciannya, tingkat SD sebanyak 3.386 orang, SMP 1.045 orang, SMA 389 orang, dan SMK sebanyak 303 orang.
Kesadaran warga agar anaknya menempuh pendidikan, terutama tingkat sekolah dasar, terus meningkat. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) Kotim, angka partisipasi sekolah usia 7 – 15 tahun meningkat dari 99,18 persen pada 2013, naik menjadi 100 persen pada 2015 (lihat infografis).
Meski Cempaga dikepung perkebunan besar swasta (PBS) kelapa sawit, kata Gunawan, rata-rata fasilitas dan kondisi sekolah masih kalah jauh jika dibandingkan di wilayah perkotaan. Pihak sekolah, terutama tiga sekolah prioritas yang perlu penanganan, tak pernah mengajukan bantuan ke perkebunan.
”Belum pernah (mengajukan). Untuk plasma saja belum terealisasi, apalagi untuk bantuan ke sekolah," kata Gunawan.
KONTRAS
Adanya kesenjangan pembangunan pendidikan antara perkotaan dan pedalaman bukan hoaks belaka. Setidaknya hal itu tergambar saat Radar Sampit menyusuri sejumlah sekolah di perkotaan. Rata-rata bangunannya megah dan mentereng. Bahkan ada yang bertingkat. Suasananya nyaman dan asri. Sangat mendukung proses belajar mengajar.
SD Negeri 6 Mentawa Baru Hulu, misalnya. Sekolah yang berdiri di atas tanah seluas 3.990 meter persegi di Jalan Ahmad Yani Sampit ini didukung fasilitas memadai. Sekolah ini memiliki 12 ruang kelas dan 1 perpustakaan.
Halamannya pun luas dan nyaman. Pepohonan yang rindang berdiri di sudut sekolah. Di depan masing-masing ruang kelas, tumbuh tanaman penghias yang terawat rapi. Anak didik diajar untuk merawat tanaman yang "dipagari" semen itu. Kondisi yang kontras dan sulit ditemui di sekolah wilayah pedalaman.
Kepala SD 6 Mentawa Baru Hulu Sajuri menuturkan, sekolah itu masih kekurangan ruangan, yakni kantor guru dan unit kesehatan sekolah (UKS). Kantor guru yang ada sudah terlalu sempit dan sesak untuk 18 orang guru di sekolah tersebut. Namun, pihaknya tak mau ngotot mengajukan bantuan pada pemerintah untuk mengatasi kekurangan tersebut.
”Kami juga sadar, banyak sekolah lain di daerah pedalaman yang lebih perlu dibangun. Karena itu kami juga tak mau memaksa," ujarnya, Sabtu (8/4) lalu.
Sajuri menambahkan, sebagian besar fasilitas belajar mengajar, seperti meja dan kursi masih bagus, bahkan tahan hingga 4-5 tahun mendatang. Majunya sekolah itu, menurutnya, juga berkat peran orangtua murid.
Orangtua yang mampu, ikhlas menyumbangkan sebagian rejekinya agar anaknya bisa bersekolah dengan nyaman. Pihaknya juga tak bisa melarang karena hal itu atas kemauan dan kesadaran orangtua murid.
Selain itu, peran orangtua yang tergabung dalam komite sekolah juga sangat besar untuk menunjang kegiatan yang anggarannya tak ditanggung sekolah. Untuk acara perpisahan misalnya, murni dari iuran orangtua murid tanpa paksaan.
”Keputusan seperti itu diambil berdasarkan keputusan bersama orangtua murid. Tak ada paksaan. Kami hanya memfasilitasi," ujar pimpinan dari sekolah dengan 366 murid ini.
DEMI HARGA DIRI
Perbandingan kondisi sekolah di kota dan pedalaman yang seperti bumi dan langit tak dimungkiri Ketua Komisi III DPRD Kotim yang membidangi pendidikan, Rimbun. Hal itu untuk menjaga harga diri daerah apabila ada tamu dari luar. Apabila sekolah di kawasan perkotaan memprihatinkan, akan jadi penilaian buruk bagi daerah secara keseluruhan.
”Kami memang mengakui, sekolah di kota lebih bagus dibandingkan di pedalaman. Hanya, sekolah yang bagus di kota, mungkin disebabkan jika ada tamu dari luar daerah, pembangunan di Kota Sampit ini jadi ukuran penilaiannya (termasuk gedung sekolah)," katanya.
Meski demikian, Rimbun menegaskan, tak ada yang diistimewakan dalam pembangunan pendidikan. Hanya saja, anggaran pendidikan yang masih terbatas, belum mampu membangun dan memperbaiki sekolah di seluruh Kotim secara merata. Pembangunan dan perbaikan dilakukan berdasarkan skala prioritas.
Di sisi lain, menurut Rimbun, anggaran belanja langsung bidang pendidikan masih sangat kecil dari total anggaran yang mendekati hampir Rp 400 miliar tahun ini. Angka itu lebih dari 20 persen APBD Kotim yang sebesar Rp 1,7 triliun lebih. Belanja langsung pendidikan yang dipatok persentasenya hanya sekitar 0,5 persen atau sekitar Rp 2 miliar.
”Anggaran pendidikan masih banyak tersedot untuk pembayaran gaji guru sertifikasi dan kontrak, sementara untuk sarana dan prasarana hanya 0,5 persen (dari total pagu anggaran pendidikan). Itu pun dibagi ke 17 kecamatan," ujarnya.
Karena keterbatasan anggaran tersebut, lanjut Rimbun, pemkab memilah sekolah yang benar-benar darurat perbaikan. Sekolah juga perlu mengajukan usulan ke Dinas Pendidikan agar bisa dimasukkan dalam rencana kerja anggaran (RKA) Disdik. ”Dengan begitu bisa dipilah mana yang bersifat urgen atau perlu dibangun," ujarnya.
Menurut Rimbun, untuk mengatasi beratnya beban APBD dalam membangun pendidikan, peran pihak ketiga atau perusahaan sangat diperlukan. Apalagi Kotim dikepung perusahaan besar swasta (PBS) di bidang perkebunan kelapa sawit. Bantuan bisa diberikan melalui program corporate social responsibility (CSR) perusahaan yang memang diwajibkan.
”Di Kotim sudah ada perda tentang CSR. Aturan itu bisa menjadi payung hukum sekolah untuk mengajukan bantuan melalui prosedur yang jelas," katanya.
Prosedur itu, jelas Rimbun, dimulai dari pengajuan sekolah ke kepala desa, kecamatan, UPTD, dan dinas terkait. Selanjutnya disampaikan ke kepala daerah yang ditindaklanjuti dengan membuat surat edaran kepada perusahaan tersebut.
”Bantuan perusahaan itu solusi untuk mengatasi kekurangan anggaran pendidikan tadi,” ujarnya.
Selain sarana dan prasarana, lanjut Rimbun, masalah pendidikan yang perlu perhatian adalah penyebaran tenaga pendidik. Guru di pedalaman masih sangat kurang untuk semua jenjang pendidikan, sementara di kota menumpuk. Dia mengaku kerap menerima laporan guru yang bertugas di wilayah pelosok, mengajukan mutasi pindah ke kota dan dikabulkan.
”Makanya kami minta pemkab supaya bisa mengambil kebijakan tidak lagi memindahkan (guru) tenaga kontrak dari pedalaman ke kota. Justru sebaiknya pemkab memindahkan tenaga pendidikan dari kota ke desa. Kita ingin SOPD (satuan organisasi perangkat daerah) terkait memoratorium pemindahan guru dari desa ke kota sampai semua kebutuhan guru terpenuhi," tegasnya.
PERLU PROSES
Pembangunan pendidikan, terutama peningkatan kualitas mutu sekolah serata merata di semua sekolah di Kotim perlu proses lama dan jalan yang panjang. Upaya itu sangat berat dan terus dilakukan secara bertahap. Pemerintah berupaya agar semua warga mendapatkan haknya untuk menuntut ilmu.
”Kami berupaya menjalankan visi dan misi Bupati dan Wakil Bupati Kotim (Supian Hadi-Taufiq Mukri) yang tertuang dalam RPJMD (rencana pembangunan jangka menengah daerah), agar kualitas kependidikan bisa diberikan secara merata. Dalam artian, seluruh pendidikan kualitasnya bisa baik, jangan sampai ada kesan diskriminasi,” tegas Kepala Dinas Pendidikan Kotim Suparmadi, Selasa (18/4).
Menurut Suparmadi, agar kualitas pendidikan merata, tak ada kesenjangan, perlu perjuangan berat. Tolok ukur suksesnya pembangunan pendidikan adalah ketuntasan wajib belajar sembilan tahun yang dicanangkan pemerintah. Hal tersebut bisa dinilai dari angka partisipasi kasar (APK) pendidikan.
Mengacu data BPS pada buku ”Kotim Dalam Angka 2016”, APK Kotim di semua jenjang pendidikan, yakni SD/sederajat 117,93 persen, SMP/MTs 93,58 persen, dan SMA/sederajat 58,04 persen (lihat grafis).
”Kalau untuk SD kita sudah aman, yang perlu peningkatan lagi untuk jenjang SMP dan SMA,” kata Suparmadi.
Mengenai perbaikan sekolah yang rusak untuk mendukung proses belajar mengajar, Suparmadi meminta sekolah agar tak terlalu bergantung pada APBD. Pihak sekolah diminta sebisa mungkin menjaga agar sekolah tetap bisa menjalankan fungsinya sebagai tempat untuk menuntut ilmu.
”Jangan untuk hal-hal yang perlu perbaikan kecil mengajukan untuk perbaikan dari APBD. Bisa diambil dari dana BOS, misalnya, seperti memperbaiki atap yang bocor, mengecat sekolah, dan hal kecil lainnya,” katanya.
Untuk sekolah yang perlu rehab berat atau penambahan, Suparmadi menuturkan, dilakukan berdasarkan usulan dari sekolah. Disdik kemudian mengkaji usulan itu dan memilah sekolah yang benar-benar darurat dan perlu penanganan segera.
Menurutnya, hal itu tak mudah, karena sekolah yang rusak jumlahnya cukup banyak, sehingga terkadang bisa menimbulkan kecemburuan apabila ada sekolah yang lebih dulu diperbaiki.
Berdasarkan data pokok pendidikan per April 2017, jumlah ruang kelas yang rusak untuk jenjang SD mencapai 1.814 unit ruangan dari total 2.467 ruang kelas. Rinciannya, rusak ringan 1.460 unit, sedang 196 unit, berat 110 unit, dan rusak total 48 unit. Jenjang SMP sebanyak 2.577 unit dari total 3.582 unit. Rinciannya, rusak ringan 2.061, sedang 264, berat 181, dan rusak total 71 unit.
Perlu anggaran ratusan miliar, bahkan triliunan untuk memperbaiki semua ruangan tersebut. Sangat mustahil untuk bisa merehab total menggunakan anggaran belanja langsung pendidikan yang hanya sekitar Rp 2 miliar per tahun.
”Anggaran hingga mencapai sekitar Rp 400 miliar itu sebagian besar banyak yang tersedot untuk belanja tidak langsung, yakni membayar gaji guru yang jumlahnya ribuan,” katanya.
Terkait kekurangan guru, Suparmadi menegaskan, pihaknya masih berupaya menata agar jumlah guru mencukupi rasio antara guru dan murid. Apabila ada kekurangan, dia meminta sekolah merekrut guru honor.
Menukil lagi data BPS Kotim, rasio atau rata-rata perbandingan murid dan guru pada 2015/2016 untuk jenjang SD sebanyak 16 murid per guru, SMP sebanyak 14 murid per guru, dan SMA sebanyak 11 murid per guru.
Suparmadi menyadari, masih banyak sekolah, terutama di pedalaman yang belajar dengan fasilitas terbatas. Meski demikian, dia meminta semua pihak terkait dalam dunia pendidikan agar tak hanya melihat kekurangan tersebut. Sebaliknya, berbuat yang terbaik untuk membangun pendidikan dan meningkatkan kualitas lulusan peserta didik.
”Saya selalu tekankan hal itu dalam setiap pertemuan dengan guru dan kepala sekolah. Jangan sampai kita hanya melihat kekurangan yang ada, tapi bagaimana bisa memberikan yang terbaik di tengah keterbatasan,” ujarnya.
INSPIRASI
Bicara komitmen kuat dalam mengajar, Ratih Indriato (27) patut menjadi inspirasi dan teladan (Radar Sampit edisi 10 April 2017). Tenaga pendidik yang bertugas di pedalaman Kabupaten Lamandau ini tak mengeluh, apalagi putus asa meski dia dikepung keterbatasan dan akses yang sulit. Dia bertahan mencerdaskan anak pedalaman meski memiliki peluang besar pindah ke wilayah perkotaan.
Sebaliknya, Ratih sukses menorehkan prestasi luar biasa. Secara tidak langsung, dia juga ikut menyukseskan program pemerintah dalam pemerataan pendidikan. Ratih mengawali karirnya di Lamandau sejak tahun 2014 lalu. Dia mengikuti seleksi CPNS di Lamandau tahun 2013.
Saat itu Ratih masih di Jawa. Peluangnya lolos ikut tes di pulau itu dinilai sangat kecil. Dia kemudian mencoba peruntungannya dengan melamar di formasi guru. Akan tetapi, kakaknya sempat kaget ketika mengetahui lokasi penempatannya.
”Kakak saya menyesal telah merekomendasikan saya melamar di Lamandau. Tapi, bagi saya tidak masalah tugas di manapun. Ini justru menarik dan menjadi sebuah tantangan. Saya tidak menyesal dan justru bersyukur. Saya pikir, bertugas di manapun sama saja, tergantung bagaimana kita bisa menyesuaikan diri,” katanya.
Ratih harus bertugas sebagai guru matematika di SMPN Satap 5, Desa Bakonsu, Kecamatan Lamandau. Desa itu termasuk daerah tertinggal. Jangankan jaringan internet, listrik pun belum ada di desa itu.
Saat mengikuti tes uji kompetensi guru (UKG) pada 2015 lalu. Ratih berhasil memperoleh nilai sempurna, seratus. Nilai itu membuatnya berhak mendapat penghargaan dari Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud).
Dia termasuk guru berprestasi tingkat nasional yang mendapat kesempatan mengikuti program studi singkat pengembangan profesionalisme guru SD dan SMP di The University of Melbourne, salah satu univeraitas terbaik di Australia.
Selain mengajar di pagi hari, setiap sore Ratih juga harus menjadi mentor guru pembelajar bagi guru-guru matematika dari Kota Kendal secara online. Untuk tugas itu , dia rela naik ke atas bukit menggunakan sepeda motor sejauh tujuh kilometer untuk mendapatkan sinyal telepon seluler.
”Meskipun di Desa Bakonsu tidak ada internet, setiap hari saya harus tetap memberikan motivasi sebagai mentor dan mendampingi 20 guru tersebut. Untuk mendapat sinyal internet. Ini saya lakukan setiap sore kalau tidak hujan. Saya juga punya anak kecil, kasihan kalau diajak hujan-hujanan,” ujarnya.
Masalah pendidikan memang sangat kompleks. Namun, semangat anak-anak pedalaman menuntut ilmu, meski dibelenggu keterbatasan, tak kalah dari anak perkotaan, bahkan lebih besar.
Jangan sampai anggaran pendidikan yang sudah ”kecil”, justru dikorupsi oknum-oknum pemerintahan yang rakus harta. Malu dan berdosa terhadap anak-anak yang masih tersenyum bahagia karena bisa sekolah, meski tanpa sepatu dan baju lusuh. Jangan merusak impian dan cita-cita mereka. (ign/dwi)