Di balik pesona hutan perawannya, misi mendaki puncak tertinggi di Pulau Kalimantan ini sebenarnya mudah. Banyak pendaki kewalahan, jatuh bangun, dan akhirnya tumbang. Dihantam kerasnya alam di jantung Borneo.
Oleh : ANGGRA DWINIVO
Bagi pendaki maupun pencinta alam, fakta seperti itu seakan menjadi tantangan tersendiri. Wajar, panorama hutan menakjubkan seperti itu tak bisa ditemui di banyak gunung di tempat lain.
Namun siapa sangka, Bukit Raya ternyata menyimpan segudang kisah mistis. Dan kepercayaan akan adanya makhluk gaib penunggu kawasan itu, hingga kini masih diyakini masyarakat lokal.
Mitos turun temurun dari nenek moyang suku Dayak Ot Danum (Dohoi), kawasan Bukit Raya diyakini masih dihuni seekor harimau. Makhluk gaib penunggu Bukit Raya ini, tidaklah ramah terhadap setiap pendatang. Berbagai pantangan wajib dipatuhi jika tidak ingin celaka.
Ini sebenarnya juga berlaku bagi warga lokal. Tiket masuknya, tak seperti angkutan kereta api, yang hanya duduk, diam, lalu sampai tujuan. Di sini, pendaki harus bertanggung jawab atas keselamatannya masing-masing. Untuk itu, mematuhi setiap pantangan dan larangan menjadi sebuah keharusan. Kemudian selalu menghormati kepercayaan maupun keyakinan adat setempat.
Sejak ditetapkan menjadi satu dari tujuh puncak tertinggi di Indonesia, keberadaan Bukit Raya mulai banyak dilirik pecinta alam. Hampir tiap bulan, selalu ada rombongan pendaki yang singgah ke desa berpredikat desa konservasi di Katingan ini. Meskipun jalur pendakian bukan berada di sekitar perkampungan, namun kehadiran para pendatang itu bertujuan untuk meminta restu, sekaligus menerima petunjuk dari pisur atau tetua adat (juru kunci) setempat.
Ada dua syarat utama memulai ritual pendakian. Yakni rombongan dengan anggota maksimal tujuh orang diwajibkan mengurbankan seekor ayam. Jika melebihi, maka syarat minimalnya berupa kurban babi, bahkan sapi. Di samping menyediakan berbagai kebutuhan ritual lainnya. Setelah itu, pisur bakal mengawali prosesi dengan berkomunikasi secara gaib. Dengan harapan, itikad baik para pendaki tersebut mendapat lampu hijau dari makhluk penunggu kawasan Bukit Raya maupun roh para leluhurnya.
Informasi itu didapat wartawan Radar Sampit ketika bertandang ke rumah salah satu putra daerah asal Desa Tumbang Habangoi, Yusup Roni Hunjun Huke. Dirinya menyebut, adapun pantangan yang wajib dipatuhi, yaitu dilarang berbuat gaduh, mesum, berbicara kotor, berbohong, mengolok-olok, maupun tidak menghormati kepercayaan adat. Selain itu, selama pendakian juga dilarang keras membakar ikan jenis saluang, menggoreng ikan kering atau jenis dendeng ikan lainnya.
”Kalau dilanggar, biasanya akan terdengar suara auman harimau dari ketinggian Bukit Raya. Dan tanah di perbukitan itu akan terasa seperti bergetar," ungkapnya.
Hal itu menandakan, bahwa harimau gaib penunggu Bukit Raya sedang marah. Auman ganas yang disertai bergetarnya perbukitan itu, katanya, sekaligus sinyal kepada pendaki agar mamatuhi segala aturannya.
”Intinya selalu menjaga sopan santun baik ketika mendaki maupun sepulang dari Bukit Raya. Karena di sana memang tempat yang sangat sakral," pesannya.
Berdasarkan riwayat pengalamannya mengikuti sejumlah ekspedisi ke Bukit Raya, cukup banyak pendaki lokal maupun nasional yang bertumbangan, lantaran melanggar pantangan yang sudah diamanatkan tersebut. Kegagalan menuntaskan misi pendakian itu diawali kejadian-kejadian di luar nalar, seperti disusupi mimpi buruk yang sangat menakutkan, pohon tumbang menutupi jalur. Bahkan menderita penyakit aneh secara tiba-tiba, seperti terserang kolera.
”Kalau melanggar pantangan pasti tidak akan sampai. Semisal bermimpi ada orang yang marah sama dia, atau diterkam binatang buas, dan sebagainya. Kalau sudah seperti itu, mending jangan dilanjutkan pendakiannya. Karena sebagai peringatan tanda bahaya bagi keselamatannya," tegas Yusup.
Fakta itu coba digambarkan melalui ekspedisi Bukit Raya pada 2015 lalu. Dari 200 lebih peserta yang tergabung dari unsur Pemkab Katingan, insan pers, masyarakat umum, dan kalangan pecinta alam dari penjuru negeri itu, sebagian besar di antaranya gagal melanjutkan misi.
Padahal, sebutnya, mereka merupakan orang-orang yang sebelumnya sukses menuntaskan pendakian enam puncak tertinggi di Indonesia. Jika ditelusur lebih jauh, ketinggian puncak Bukit Raya sebenarnya tidak lebih ekstrim ketimbang puncak Gunung Kerinci di Sumatera Barat, bahkan ketinggian puncak Cartensz Pyramid di Gunung Jaya Wijaya Papua sekalipun.
Sebab itu, setiap pendaki seyogianya mulai memahami kembali pribahasa 'Di mana bumi dipijak, di situ langit dijunjung'. Sehingga, tidak menyamakan kondisi alam atau pantangan di daerah dengan kepercayaan yang masih hidup di Bukit Raya.
”Karena banyak orang dari luar daerah, mungkin mereka melanggar larangan itu tadi, seperti tidak percaya atau meremehkan kepercayaan adat kita. Percaya tidak percaya, ya setidaknya harus dihormati," imbaunya.
Dirinya kembali mencontohkan, beberapa waktu lalu tim ekspedisi yang beranggotakan tujuh petinggi PT Indosat Ooredoo (dulunya PT Indosat Tbk) sukses menyelesaikan misi pendakian Bukit Raya dalam kurun tujuh hari pergi pulang. Menurutnya, tidak ada satupun di antara mereka yang mengalami gangguan maupun diberatkan langkah kakinya selama pendakian. Hal itu, lantaran rombongan menjalankan tata cara pendakian sesuai arahan tokoh adat setempat.
”Itu artinya mereka menghargai adat istiadat kita di sini. Datang dan pulang dengan sopan santun, mengikuti ritual adat baik saat awal pendakian maupun saat pulang," bebernya.
Potensi alam kawasan Bukit Raya, diibaratkan sebagai kran air yang selalu mengalir deras. Hal itu tidak terlepas dari gencarnya upaya promosi yang dilakukan pemerintah daerah, terutama di masa kepemimpinan Bupati Ahmad Yantenglie dan wakilnya Sakariyas sejak dua tahun lalu.
Pelancong dari berbagai daerah di nusantara mulai berkunjung ke desa terujung Sungai Samba tersebut. Bahkan, kadang masyarakat desa merasa kewalahan dengan tingginya permintaan jasa pemandu, porter, maupun permintaan ojek sepeda motor dari desa ke kawasan kaki bukit.
Sadar desanya diberkahi potensi warisan alam yang sangat luar biasa, Yusup Roni yang juga Kepala Desa Tumbang Habangoi ini berharap masyarakat selalu menjaga keasrian alam, baik hutan ataupun lingkungan sungai. Sebab, tradisi menjaga alam di kawasan Bukit Raya ini sudah membudaya sejak awal leluhurnya dahulu kala. Sehingga dewasa ini, masyarakat desanya seolah sadar akan tanggung jawab untuk selalu menjaga dan melestarikan kawasan Bukit Raya beserta ragam adat istiadatnya. Di samping memanfaatkannya untuk dikelola sebagai sumber pemasukan bagi masyarakat desa.
”Potensi ini akan kami jaga selalu, sebagai warisan kepada anak cucu kami kelak. Karena melalui kekayaan alam ini, otomatis penghasilan warga desa juga ikut terangkat. Tanpa harus menjual atau merusak hasil alam," harapnya. (agg/dwi)