SAMPIT | PANGKALANBUN | PALANGKA | KOTAWARINGIN | METROPOLIS | BARITO | GUMAS | DPRD SERUYAN

SAMPIT

Jumat, 12 Mei 2017 14:45
Menghuni Hulu Sungai, Bergantung Hasil Alam

Mengenal Sejarah Dayak Dohoi, Suku Penghuni Jantung Kalimantan

PERSAUDARAAN - Filosofi suku Dayak Dohoi atau Ot Danum di Desa Tumbang Habangoi, menari Manasai merupakan sarana untuk mempererat tali persaudaraan dan perdamaian.(ANGGRA/RADAR SAMPIT)

Meski berbeda, sub-sub suku Dayak di Kalimantan mempunyai kemiripan. Mulai dari sosiologi kemasyarakatan, adat istiadat, budaya, bahasa, maupun dialek yang khas. Seperti Dayak Dohoi, suku asli Kalimantan Tengah yang menghuni hulu Sungai Samba, di utara Kabupaten Katingan.

Oleh: ANGGRA DWINIVO

Dayak Dohoi dikelompokan ke dalam sub Dayak Ot Danum lantaran kemiripan sejarah kepercayaan, budaya, bahasa, hingga adat istiadat. Itu terjadi sejak masa kolonialisme.

Tjilik Riwut, gubernur Kalteng yang pertama, mencatat rumpun Dayak Ot Danum terdiri atas 61 suku yang tersebar di hulu-hulu sungai seantero Borneo. Suku ini hidup tersebar di kawasan pegunungan Muller-Schwaner, tepatnya di sekitar perbatasan antara empat provinsi di Kalimantan. Selaras dengan etimologinya, yaitu Ot yang berarti "orang" atau "hulu", dan kata Danum yang berarti "air" atau "hulu".

Sehingga disimpulkan bahwa rumpun Dayak Ot Danum merupakan orang yang hidup di hulu-hulu sungai di Kalimantan. Bagi masyarakat lokal, penamaan Ot Danum mempunyai filosofisnya sendiri, yaitu dianggap sebagai pusat atau sumber kehidupan. Sebab, air sungai yang selalu mengalir dari hulu ke hilir, dianggap sebagai watak suku Ot Danum yang dikenal suka merendah, sederhana, mudah beradaptasi, dan saling tolong menolong.

Populasi suku Dayak Dohoi di Desa Tumbang Habangoi, Katingan, hingga kini masih terjaga. Mereka masih hidup dengan memegang erat kepercayaan, budaya, maupun adat istiadat leluhur. Di sini, mayoritasnya penduduknya merupakan suku Dayak Dohoi. Meskipun status 40 persen di antaranya merupakan transmigran asal suku Dohoi yang sama dari Kabupaten Sintang dan Melawi, Kalimantan Barat. Mereka masih memegang teguh kepercayaan leluhur, yakni Kaharingan.

Nama Dohoi sebenarnya merupakan sebuah ungkapan atau ciri terhadap watak warga suku pedalaman tersebut. Pasalnya, mereka dikenal berkepribadian keras, tegas, lugas, serta pemberani.

Kepala Desa Tumbang Habangoi Yusup Roni Hunjun Huke menuturkan, sehari-hari masyarakat berbicara menggunakan bahasa Dohoi. Terkait dialek Dohoi, katanya, mempunyai banyak kesamaan dengan rumpun suku Dayak yang tinggal di hulu Sungai Barito, Kahayan, Kapuas, Seruyan, Lamandau, Mahakam, dan beberapa daerah lainnya. Total, bahasa Dohoi digunakan di hampir 40 suku, di antaranya Dayak Tidori, Siang, Kohin, Katingan, Ngaju, dan Murung di DAS Barito.

”Walaubmempunyai banyak ragam serta sedikit perbedaan dialek, namun secara garis besar bahasa Dohoi diibaratkan sebagai bahasa persatuan. Sehingga tidak terlalu berpengaruh besar terhadap mereka saat berkomunikasi," katanya.

Suku Dohoi, jelasnya, kadang juga disebut sebagai sub suku Dayak Ot Danum. Lantaran banyaknya kesamaan dari berbagai aspek, seperti sejarah, budaya, bahasa, dan lain sebagainya. Peradaban suku ini, cenderung menghuni wilayah-wilayah terpencil di pedalaman Kalimantan. 

”Sehingga untuk mencapai perkampungan suku Dohoi, bisa memakan waktu berhari-hari apabila menggunakan perahu melalui aliran sungai," jelasnya.

Suku Dayak Dohoi dikenal dekat dengan kehidupan alam, serta sangat menghormati tradisi leluhur dalam menjaga keseimbangan antara manusia dan lingkungan alam sekitarnya. Secara fisik, warga suku Dayak Dohoi mempunyai kulit berwarna kuning langsat. Sama seperti suku Dayak pada umumnya. Hal ini menunjukkan, bahwa mereka merupakan ras keturunan Mongoloid.

”Suku Dayak Ot Danum ini juga memiliki kerabat dekat di Kalimantan Barat yang disebut sebagai Dayak Uud Danum. Secara fisik, karakter, dan budaya bisa dikatakan mirip. Hanya saja dibedakan letak geografisnya," ujar Yusup Roni.

Semenjak ajaran agama dari belahan bumi barat masuk puluhan tahun lalu, kini sebagian masyarakatnya menganut ajaran Kristen. Sebagian kecil sudah memeluk agama Islam. Sedangkan, mayoritas warga lain masih mempertahankan kepercayaan leluhur, yaitu Kaharingan. 

Dalam legenda suku Dayak Ot Danum atau Totok Tatum (Tetek Tatum) menceritakan, nenek moyang mereka berasal dari langit yang diturunkan ke dunia dengan wadah emas atau Palangka Bulou (Palangka Bulau). Wadah emas itu berupa balanga atau guci yang terbuat dari tembikar.

Mukjizat itu diturunkan Ranying Hattala Langit (Tuhan YME) di empat lokasi berbeda secara bertahap tepat di jantung Kalimantan (kini lebih dikenal sebagai kawasan pegunungan Muller-Schwaner). Yang pertama diturunkan di kawasan Tantan Puruk Pamatuan, suatu tempat di hulu Sungai Kahayan dan Barito, Kalimantan Tengah. Lalu di Tantan Liang Mangan Puruk Kaminting yang terletak di sekitar Bukit Raya, Kalimantan Tengah. Kemudian di Datah Tangkasing hulu Sungai Malahui di daerah Kalimantan Barat. Dan yang terakhir berada Puruk Kambang Tanah Siang atau suatu tempat di daerah hulu Sungai Barito, Kalimantan Tengah.

Di kawasan Tantan Puruk Pamatuan inilah seorang manusia pertama yang diyakini menjadi nenek moyangnya suku Dayak diturunkan. Dia diberi nama Antang Bajela Bulau atau Tunggul Garing Janjahunan Laut.

”Singkat cerita, Antang Bajela Bulau mempunyai dua anak laki-laki yang gagah perkasa bernama Lambung atau Maharaja Bunu, serta Lanting atau Maharaja Sangen," sebutnya.

Kemudian di Tantan Liang Mangan Puruk Kaminting (Bukit Kaminting) di Kawasan Bukit Raya, Ranying Hattala Langit menurunkan seorang yang mahasakti bernama Kerangkang Amban Penyang atau dikenal sebagai Maharaja Sangiang.

Selanjutnya di lokasi Datah Takasiang atau di Hulu sungai Rakaui (Sungai Malahui Kalimantan Barat), Ranying Hattala Langit menciptakan empat orang manusia, di antaranya seorang anak laki-laki dan tiga perempuan. Pria gagah itu diberi nama Litih atau Tiung Layang Raca. Dia dianugerahi kelebihan menjelma menjadi Jata, dan tinggal di dalam tanah di negeri (gaib) yang bernama Tumbang Danum Dohong. 

”Sedangkan ketiga orang puteri itu bernama Kamulung Tenek Bulau, Kameloh Buwoy Bulau, dan Nyai Lentar Katinei Bulau," tuturnya.

Lokasi terakhir yaitu di Puruk Kambang Tanah Siang (hulu Sungai Barito), Ranying Hattala Langit lagi-lagi menciptakan seorang puteri cantik jelita bernama Sikan atau Nyai Sikan.

”Kami percaya bahwa Tambun dan Bungai itu juga leluhur kami. Karena mereka diketahui menggunakan dialek Dayak Ot Danum, sama seperti kami," akunya.

Dari sisi sejarah ilmu pengetahuan, beberapa ahli sejarah memiliki versi yang berbeda tentang asal usul suku Dayak Ot Danum tersebut. Ada teori yang mengatakan bahwa suku Dayak Ot Danum berasal dari daratan Mongolia, yang bermigrasi ke Kalimantan. Teori versi lain menyebutkan, suku Dayak Ot Danum berasal dari suatu pulau utama di Taiwan dan sejak 4.000 tahun lalu mulai mendiami pulau Kalimantan. Pasalnya, ditemukan adanya kemiripan budaya antara Dayak Ot Danum dengan wilayah yang berjarak ribuan kilometer tersebut.

Dalam kehidupan sehari-hari, masyarakat adat suku Dayak Dohoi masih hidup berdampingan dan bergantung dengan hasil alam di hutan. Mereka secara arif bijaksana melakukan perburuan binatang liar, berladang bahkan memelihara ternak. Terbukanya akses sungai maupun darat, membawa generasi suku pedalaman ini mulai merantau ke luar daerah. Terutama untuk urusan pendidikan. Pasalnya, sampai detik ini Desa Tumbang Habangoi hanya memiliki sekolah dasar dan menengah pertama (SMP) saja. Biasanya, Kasongan dan Kota Palangka Raya menjadi tujuan untuk melanjutkan jenjang pendidikan lebih tinggi.

Berbagai informasi tentang suku Dayak Dohoi di Kabupaten Katingan ini, merupakan satu dari sekian banyak kekayaan sejarah dan budaya yang dimiliki Indonesia. Keanekaragaman suku, bahasa, serta adat istiadat itu merupakan warisan yang tidak ternilai harganya. 

”Sudah sepatutnya, kita sebagai generasi penerus bangsa untuk melestarikan warisan leluhur ini sebaik mungkin. Sehingga, jangan sampai menjadikan perbedaan dan keberagaman ini sebagai alat untuk memecah belah persatuan dan kesatuan NKRI," pungkasnya. (agg/dwi)

 

 


BACA JUGA

Selasa, 13 Mei 2025 13:14

Proses SPMB Harus Gratis dan Transparan

SAMPIT — Dinas Pendidikan Kabupaten Kotawaringin Timur (Kotim) menegaskan komitmennya…

Selasa, 13 Mei 2025 13:14

Koordinasi dengan Kemensos untuk Perbaikan Data Warga Miskin

SAMPIT— Pemerintah Kabupaten Kotawaringin Timur (Kotim)  berupaya memutakhirkan data warga…

Selasa, 13 Mei 2025 13:13

Tingkatkan Pelayanan Lewat Sharing Season RPAM

SAMPIT — PDAM Kotawaringin Timur (Kotim) terus berkomitmen meningkatkan kualitas layanan…

Selasa, 13 Mei 2025 13:13

Banjir Rob Ancam Teluk Sampit

SAMPIT — Ancaman banjir rob kembali mengintai wilayah pesisir Kabupaten…

Jumat, 09 Mei 2025 17:38

Apresiasi Panen Bioflok untuk Ketahanan Pangan

SAMPIT – Pemerintah Kabupaten Kotawaringin Timur (Kotim) menyambut baik upaya…

Jumat, 09 Mei 2025 17:36

Dinkes Kotim Siagakan Obat dan Layanan Kesehatan Hadapi Penyakit Musiman

SAMPIT – Dinas Kesehatan Kabupaten Kotawaringin Timur (Dinkes Kotim) meningkatkan…

Jumat, 09 Mei 2025 17:35

Prioritaskan Jemaah Lansia, Pemberangkatan Calon Haji Kotim Lewat Udara

SAMPIT – Sebanyak 218 calon haji asal Kotawaringin Timur (Kotim)…

Jumat, 09 Mei 2025 17:25

Pabrik Pakan Ikan Beroperasi, Harga Lebih Murah

SAMPIT - Pabrik pakan ikan milik Pemerintah Kabupaten Kotawaringin Timur…

Jumat, 09 Mei 2025 17:23

Kader PKK Miliki Peran Mulia

SAMPIT — Bupati Kotawaringin Timur (Kotim) Halikinnor menegaskan pentingnya peran…

Jumat, 09 Mei 2025 17:23

Dharma Santi Momentum Pererat Kerukunan dan Persaudaraan

SAMPIT — Pemerintah Kabupaten Kotawaringin Timur (Kotim) mendorong generasi muda…

Sitemap
  • HOME
  • HOT NEWS
  • NEWS UPDATE
  • KOLOM
  • RAGAM INFO
  • INSPIRASI
  • FEATURE
  • OLAHRAGA
  • EKONOMI
Find Us
Copyright © 2016 PT Duta Prokal Multimedia | Terverifikasi Dewan Pers