SAMPIT – Isu ngayau merebak belakangan ini. Kabar kembalinya aktivitas berburu kepala manusia itu muncul beriringan dengan beberapa hal. Seperti ditemukannya mayat tanpa kepala di pantai di Dusun Cemeti, Desa Satiruk, Kecamatan Pulau Hanaut, Kotim. Namun, keterkaitan penemuan mayat itu dengan aktivitas ngayau ditepis.
Jasad tanpa kepala yang belum diketahui identitasnya itu ditemukan pada Jumat (28/7) sekitar pukul 06.30 WIB. Warga di kecamatan tersebut tak ada yang merasa kehilangan anggota keluarga. Sekretaris Kecamatan Pulau Hanaut Ady Candra menjelaskan, penemuan mayat tersebut tidak menimbulkan keresahan. Mayat tersebut ditemukan seorang nelayan di Desa Setiruk.
”Dia berangkat untuk mencari ikan, kemudian menemukan mayat itu dan langsung melapor kepada ketua RT. Kemudian kejadian itu sudah disampaikan kepada pihak kepolisian,” terang Candra kepada Radar Sampit, Jumat (28/7).
Mayat tersebut berbalut kaos dan celana pendek berwarna biru tua. Ada kain yang terikat di bagian perutnya. Kemarin, seluruh kepala desa di Kecamatan Pulau Hanaut berusaha mencari tahu identitas mayat yang sudah mulai membusuk itu dengan menanyakan kepada warga.
”Tak ada satu orang pun yang tahu itu jasad siapa. Dan lagi itu (mayat) di perairan, bisa saja dari daerah lain dan hanyut sampai di pantai Dusun Cemeti,” ungkapnya.
Terpisah, Kades Setiruk Sugeng ketika dikonfirmasi melalui telepon seluler mengatakan, mayat tanpa kepala dengan kondisi sudah membusuk dan banyak gigitan ikan itu sudah dimakamkan. ”Jenis kelamin laki-laki, tetapi karena tanpa kepala jadi susah memastikan (identitasnya). Usia diperkirakan sekitar 17-20 tahun,” kata Sugeng.
Lantaran kondisi mayat sudah membengkak dan membusuk serta mengeluarkan aroma tidak sedap, pukul 09.30 WIB warga memakamkannya di pinggiran pantai tidak jauh dari lokasi penemuan.
”Sudah dimakamkan, pihak kepolisian juga ada di lokasi. Sampai saat ini kami serahkan semua kepada aparat untuk tindaklanjutnya. Namun sebelumnya kami sudah berupaya untuk berkoordinasi kepada kades di Kotim untuk menyampaikan kabar ini, namun tak ada juga yang merasa kehilangan anggota keluarga,” tandas Sugeng.
Sementara itu, desas-desus kembalinya aktivitas ngayau juga santer beredar di Kecamatan Katingan Tengah, Katingan. Kemudian dihubungkan dengan isu aktivitas pembangunan jembatan yang membutuhkan tumbal kepala manusia.
Kabar yang belum jelas kebenarannya tersebut, ternyatanya ditanggapi serius masyarakat setempat. Sebagian lagi beranggapan isu tersebut sengaja dihebohkan untuk tujuan-tujuan tertentu.
Fahmi, warga Desa Tumbang Samba, membenarkan adanya isu ngayau di wilayahnya saat ini. Kabar tersebut mencuat setelah mendengar seorang warga yang mengaku hampir menjadi korban.
”Saat buruh sawit ini bekerja sendirian di kebun, tiba-tiba didatangi dua orang misterius bertopeng. Karena takut, dia langsung lari dan mengabarkan bahwa dirinya hampir jadi korban ngayau," ungkapnya kepada Radar Sampit, Jumat (28/7).
Korelasinya, kata Fahmi, kepala korban ngayau tersebut bakal dijadikan tumbal untuk kelancaran proses pembangunan jembatan. ”Sampai sekarang, memang masih banyak masyarakat yang mempercayai hal itu. Makanya ada beberapa orangtua yang melarang anak-anaknya main jauh-jauh, apalagi masuk hutan," tuturnya.
Camat Katingan Tengah Hariawan membenarkan bahwa ada buruh perusahaan kelapa sawit yang membuat laporan kepada pihak kepolisian. Buruh yang saat itu hendak memanen buah kelapa sawit tersebut, ujarnya, mengaku hampir menjadi korban ngayau. Namun sampai saat ini, keterangan pelapor belum terbukti kebenarannya.
”Saat didatangi polisi dan pihak perusahaan, di TKP ternyata tidak ditemukan adanya ngayau yang dimaksud. Kejadiannya itu berada di kebun PT Katingan Dwi Putra (KDP) wilayah Desa Mirah Kalanaman," ungkapnya.
Setelah berkoordinasi dengan pihak kepolisian, laporan tersebut disinyalir sebagai motif dengan tujuan menciptakan isu mencekam di masyarakat. Dengan harapan, para buruh kelapa sawit merasa ketakutan saat bekerja di kebun.
”Intinya menimbulkan teror ketakutan saja, yang arahnya untuk tujuan tertentu seperti kriminal. Dugaan awal mengarah pada pengalihan isu, agar kawanan maling kelapa sawit leluasa mencuri di kebun," katanya.
Untuk itu, dalam waktu dekat Hariawan bersama pihak perusahaan dan aparat kepolisian setempat hendak mengkonfirmasi kembali kebenaran laporan tersebut.
”Rencananya mau kami mintai keterangan lagi kepada orang yang menyebar isu pertama kali tersebut. Apakah benar yang dikatakannya tersebut. Apalagi dihubung-hubungkan dengan pembangunan jembatan di Telok, imbasnya membuat masyarakat takut," imbuhnya.
Sebagai bentuk kewaspadaan, dirinya meminta pihak perusahaan agar membuat kebijakan baru sementara waktu, yakni dengan memasangkan tiap buruhnya saat bekerja di perkebunan.
”Jangan meninggalkan pekerja sendirian di kebun, paling tidak harus ditemani satu orang buruh lainnya. Kami berharap masyarakat jangan buru-buru membenarkan dan menyebarkan isu tersebut, karena belum dipastikan kebenarannya," imbau Hariawan.
Isu ngayau di Kecamatan Katingan Tengah, ternyata sampai ke Kasongan Kecamatan Katingan Hilir. Kendati tidak terlalu meresahkan, namun warga mulai membincangkan desas-desus tersebut.
Sebenarnya, menurut Maharaya (56), tokoh masyarakat Katingan, aktivitas ngayau atau berburu kepala manusia untuk tujuan ritual sudah berakhir sejak disepakatinya perjanjian damai di Desa Tumbang Anoi, Kabupaten Gunung Mas, pada tahun 1894 silam.
Praktis, tidak ada lagi terjadi peperangan, pengayauan, dan pemburuan antaranggota suku Dayak. Jikapun ada peristiwa pemenggalan kepala setelahnya, maka kejadian tersebut murni kasus kriminal.
”Kalau zaman dulu memang ada tradisi ngayau, tujuannya untuk tumbal pada upacara tiwah. Agar arwah yang ditiwahkan tersebut mendapat ajudan saat berada di lewu liau (surga). Singkatnya, tumbal itu dijadikan teman agar arwah tidak sendirian," jelasnya.
Selain itu, tradisi kelam tersebut mulai terkikis setelah masuknya berbagai ajaran agama, baik Islam, Kristen, Katolik, maupun Hindu Kaharingan. Sebab, tidak ada satupun dari empat agama itu yang membenarkan tradisi menumbalkan kepala manusia untuk tujuan tertentu.
”Kalau ritual menumbalkan kepala manusia memang ada, tapi zaman sebelum kemerdekaan. Sebelum masyarakat mengenal baca, tulis, dan agama," bebernya.
Isu ngayau saat ini, sudah dipelintir sedemikian rupa dan sengaja ditautkan dengan tradisi suku Dayak zaman dahulu, terutama oleh oknum-oknum tidak bertanggungjawab.
”Menurut kisah turun temurun, setahu saya ritual untuk mendirikan jembatan saat ini sudah digantikan dengan kepala hewan sapi atau kerbau. Tapi sekarang tidak semua juga seperti itu, ada segelintir saja yang masih menerapkannya," tutur Maharaya.
Menurutnya, isu kembalinya aktivitas ngayau dewasa ini merupakan motif untuk melancarkan aksi kriminal semata, seperti perampokan, penculikan maupun pencurian. Contohnya, di Desa Tumbang Liting Kecamatan Katingan Hilir pertengahan tahun 2016. Ketika itu, warga desa sangat ketakutan lantaran mendengar isu ngayau.
”Ternyata saat ditelusuri kembali, cuma ulah orang pencari pesugihan saja. Jadi mereka berniat membongkar makam dan mengambil tulang belulang, agar aksinya tidak ketahuan maka disebarlah isu ngayau," pungkasnya. (agg/mir/dwi)
WARNING: Semua informasi yang ada di website sampit.prokal.co adalah hak cipta penuh Harian Radar Sampit. Dilarang keras menjiplak atau menyalin semua informasi di website ini ke dalam bentuk dokumen apapun (untuk kepentingan komersil) tanpa seizin Radar Sampit. Pihak yang melanggar bisa dijerat UU Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE) dan perubahannya dalam UU Nomor 19 Tahun 2016 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik.
Like & Follow akun resmi Radar Sampit fanspage facebook: Radar Sampit Twiiter: radarsampit Instagram: radarsampitkoran