Nasib pengidap gangguan jiwa di Kabupaten Kobar banyak yang merana. Bantuan dan upaya pengobatan dari pemerintah belum dirasakan. Terutama bagi kaum pinggiran.
SLAMET HARMOKO, Pangkalan Banteng
Kondisi kehidupan dua bersaudara pengidap gangguan jiwa di Desa Simpang Berambai Kecamatan Pangkalan Banteng menyedihkan. Keterbatasan biaya membuat orangtua mereka menyerah dengan keadaan. Bantuan pengobatan tak kunjung datang.
Berkaos putih dengan model lengan pendek merah, serta bercelana pendek yang tampak lusuh dan tidak jelas lagi warna aslinya, tangan kanan Prapto Ramadan (32) memegang erat lembaran papan dinding bangunan dapur reyot di belakang rumahnya.
Sambil cengar-cengir, bungsu dari pasangan Burhan (78) dan Wabarokati (62) ini terus memasukkan butiran tanah ke lubang botol berwarna hijau di depannya.
Di sisi lain, ruangan berlantai tanah itu terlihat tulisan aksara Arab di susunan tembok berbahan bata merah yang diakui sebagai tulisan bungsu lima bersaudara itu.
”Setiap hari ya begini mas, terpaksa kita kurung di pinggir dapur karena membahayakan bila dilepas,” ungkap Burhan, memecah suasana tenang pinggiran desa tersebut.
Selain Prapto, Masruri anak sulungnya juga mengidap gangguan jiwa sejak 26 tahun lalu. Berbeda dengan si bungsu, lelaki 47 tahun itu dibiarkan bebas berkeliaran sejak pagi dan baru akan kembali ke rumah menjelang petang.
”Masruri tidak nakal. Dia hanya jalan dan main-main saja. Prapto ini selain suka mengamuk dulu pernah membakar ladang,” katanya.
Ketua RT 6 itu lantas menceritakan asal muasal sakitnya kedua putra dari lima bersaudara itu. Penyakit Masruri baru diketahui saat menempuh pendidikan SMK di Pangkalan Bun.
”Sekolah SMK tidak lulus, baru kelas dua berhenti karena mulai sakit-sakitan. Hingga akhirnya sakit jiwa sampai sekarang,” katanya.
Tidak ada tanda-tanda yang aneh dengan kehidupan anaknya, hingga akhirnya mengalami gangguan jiwa. Berbagai upaya dilakukan. Jutaan rupiah sudah habis dikeluarkan untuk mengirimnya berobat. Mulai dari pengobatan modern di dokter jiwa, hingga pengobatan berbau klenik melalui paranormal pernah dilakukan.
”Tak ada hasil mas. Sembuh saat setelah diobati. Namun, setelah beberapa saat pulang ke rumah kambuh lagi,” ujarnya.
Untuk Prapta, lanjutnya, baru terlihat tanda-tanda mengalami gangguan jiwa setelah satu tahun bekerja di perusahaan perkebunan kelapa sawit sekitar tahun 2006 lalu.
”Sempat bekerja sebagai kerani selama setahun,” katanya.
Dia kemudian menceritakan kehidupan anak bungsunya saat masih remaja. Kala itu, sekitar tahun 2002, Prapto remaja sudah mulai mencari penghidupan sendiri dengan bekerja paruh waktu saat menempuh pendidikan di SMK Harapan Pangkalan Bun.
”Selepas SMP sekolah di SMK harapan. Nyambi bekerja di bengkel, tidak pernah minta uang selain untuk bayar sekolah. Terkadang hasil dari bengkel diberikan ke ibunya,” katanya sambil tersenyum, mengingat bakti anaknya pada orangtua.
Bukan hanya itu. Selama belum sakit jiwa, Praptolah yang paling aktif mencarikan informasi mengenai tempat pengobatan bagi Masruri. Namun, kini justru dialah yang perlu pengobatan untuk mengontrol emosi akibat gangguan jiawanya.
”Sekarang malah dia yang perlu diberi pengobatan lebih. Kalau kakaknya sekarang lebih tenang. Tidak ganggu orang dan meskipun keluyuran dia tetap pulang ke rumah,” kata Transmigran asal Desa Penataran Kecamatan Nglegok, Kabupaten Blitar ini.
Memiliki lima anak, dengan tiga perempuan dan dua laki-laki sebagai sulung dan bungsu awalnya menjadikan mereka sebagai kebanggaan keluarga. Namun, dengan kondisi sekarang ia mulai pasrah dengan keadaan.
”Keluarga juga tidak ada keturunan gangguan jiwa. Mungkin ini takdir. Meski berat saya harus terima,” ucapnya sambil memaksakan senyum di bibirnya.
Selain ketiadaan biaya untuk berobat, kehidupannya sebagai petani karet kini juga sedang susah. ”Pemasukan hanya dari kebun karet mas, tidak ada lagi biaya untuk berobat. Ketiga anak saya yang perempuan nomor dua dan tiga sudah berumah tangga dan ikut suami, yang ketiga sekarang kerja jadi TKW,” katanya.
Puluhan tahun merawat kedua anaknya, tak terhitung lagi pengorbanan yang mereka lakukan. Kini hanya uluran tangan penderma untuk bantuan pengobatan diperlukan. Terutama untuk Prapto. Meski belum tentu bisa sembuh dan kembali normal, ia ingin anak itu bisa lebih tenang dan terkontrol emosinya.
”Kalau untuk makan, saya masih bisa kasih untuk mereka. Namun, kalau pengobatan saya bingung harus bagaimana,” tuturnya.
Saat ini, pengobatan yang dilakukan hanya melalui doa yang ia panjatkan saat bersimpuh usai salat lima waktu yang dikerjakannya. ”Hanya doa mas yang saya punya. Usia saya sudah menjelang akhir, tidak tahu lagi seperti apa nasib mereka setelah saya dan istri nanti mati,” katanya. (***/ign)