PALANGKA RAYA – Pemerintah Kota (Pemkot) Palangka Raya diminta mencopot Kepala SMAN 5 Palangka Raya sebagai respons terhadap kasus dikeroyoknya salah seorang siswa, Alex Sander Simon Fetrus Marbon (16), oleh puluhan siswa lainnya. Kepala sekolah dinilai ikut bertanggung jawab karena kekerasan fisik itu terjadi di lingkungan sekolah.
”Siapa pun yang ditetapkan sebagai tersangka, harus diganjar sesuai aturan hukum, bahkan mengeluarkan mereka yang terlibat dari sekolahan itu. Wali Kota Palangka Raya juga agar mencopot jabatan kepala sekolah setempat,” kata Ketua LSM Lembaga Forum Aneka Wacana Kalimantan Luhut Marbun, Selasa(17/11).
Luhut menilai aksi kekerasan sekolah merupakan tanggung jawab pihak sekolah, terlebih kepala sekolah sebagai unsur pimpinan tertinggi. Di sisi lain, secara psikologis, korban pengeroyokan tidak akan melupakan kejadian itu seumur hidup. Apalagi dikeroyok sesama pelajar dalam jumlah banyak hingga menderita luka-luka dan trauma.
”Kami tegaskan, kepala sekolah dan orangtua oknum murid harus bertanggung jawab, baik moril dan materil. Sebab, kejadian ini menyakitkan. Bayangkan, satu orang dikeroyok 30 orang, tentu ingatan itu akan melekat seumur hidup,” katanya.
Menurut Luhut, dalam kasus itu juga telah terjadi pembiaran pihak sekolah. Terbukti usai kejadian, kepala asrama tidak memberikan pengobatan dan membiarkan korban menahan sakit, sampai akhirnya terungkap dan dilaporkan ke kantor polisi.
”Intinya, kami minta polisi bertindak tegas. Usut tuntas siapa saja yang terlibat. Bila perlu diperiksa seluruh siswa yang berada di malam kejadian, karena terkesan ada pembiaran dari sekolah atas kasus kekerasan ini,” katanya.
Sementara itu, Kasat Reskrim AKP Todoan Gultom mengatakan, pengeroyokan dan penganiyaan siswa SMAN 5 Palangka Raya masih dalam pemeriksaan. Saat ini pihaknya masih menetapkan satu tersangka dan memeriksa beberapa saksi. ”Kita masih periksa, nanti akan terus dikembangkan. Ini juga sesuai perintah pimpinan,” tuturnya.
Gultom menambahkan, kepolisian melakukan penanganan kasus dengan mengedepankan pendidikan dan melindungi hak-hak anak. Sebab, korban dan tersangka masih berstatus pelajar.
”Kita profesional. Hak anak juga dikedepankan, karena ini menyangkut anak di bawah umur,” pungkasnya. (daq/ign)