SAMPIT – Tangkap tangan lima pegawai Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (Bappeda) Seruyan menguatkan dugaan bahwa SPPD fiktif kerapkali menjadi bancakan oknum ASN. Diduga hal serupa terjadi di banyak tempat, termasuk Kotim.
”SPPD saat ini jadi bancakan dan ladang basah koruptor. Terutama SPPD dalam daerah selalu erat dengan hal fiktif. Tapi sayangnya di Kotim hal itu tampaknya belum sama sekali tersentuh oleh aparat penegak hukum,” kata Audy Valent, aktivis di Kotim, Rabu (1/11) kemarin.
Dalam kasus di Seruyan, tiga hari sejak OTT belum ada penetapan tersangka. Polres Seruyan mengaku masih menggali keterangan saksi. Kapolres Seruyan AKBP Nandang Mu’min Wijaya melalui pesan WhatsApp menyebut bahwa polisi masih memeriksa saksi, baik yang terkena OTT, hingga pegawai lainnya yang berhubungan dengan itu. ”Kita lagi persiapan gelar perkara kasus ini,” ujarnya.
Sementara itu, Sekretaris Daerah Seruyan Haryono mengaku sudah mempertanyakan masalah itu ke Kepala Bappeda Seruyan Budi Purwanto. Berdasarkan keterangan Budi, sejumlah uang tersebut merupakan dana talangan untuk perjalanan dinas karena biasanya anggaran belum cair.
Namun, Haryono mengaku sangat mengapresiasi dan menghormati Polres Seruyan atas OTT tersebut. Jika kasus ini bermula dari kesalahpahaman, Haryono minta segera diselesaikan. Dan jika merugikan negara, silakan diproses secara hukum. ”Kita dukung pemberantasan korupsi di Seruyan,” kata pria yang juga pernah menjabat sebagai kepala Bappeda Seruyan itu.
Pantauan Radar Sampit di Polres Seruyan kemarin, sejak pukul 08.00 WIB tampak beberapa pegawai Bappeda Seruyan menunggu di depan ruang penyidik. Mereka memenuhi panggilan pemeriksaan. Ketika dikonfirmasi, mereka tidak mau memberikan keterangan.
Sementara itu, pelayanan di Bappeda Seruyan masih seperti biasa. Sejumlah pegawai kompak mengaku tidak tahu adanya OTT. Lima orang yang terjaring OTT juga belum ditahan dan masih menjalani pemeriksaan.
Belum adanya tersangka dalam OTT ini mendapat perhatian dari beberapa pakar hukum. Mereka mengatakan bahwa penetapan status tersangka perlu pendalaman dan harus sesuai dengan ketetapan hukum yang berlaku.
”Ya, poses penyidikan memang perlu keterangan saksi-saksi yang cukup. Untuk menetapkan tersangka, itu kan di akhir proses penyidikan. Hal ini seperti kasusnya Ketum Golkar Setya Novanto. OTT tidak berarti terpenuhi syarat sahnya penetapan tersangka, karena penyidikan belum dimulai," kata Mochammad Iman, wakil ketua Peradi Kotim.
Sementara itu, pengamat hukum Hartono, mengatakan bahwa penetapan tersangka itu wewenang penyidik. ”Jadi, kita tidak bisa melarang ataupun mempercepat. Karena untuk bisa ditentukan status tersangka itu harus didukung minimal dua alat bukti yang sah. Agar nantinya tidak dipraperadilankan," katanya.
Bila penyidik buru-buru, tambah Hartono, dan menyatakan seseorang sebagai tersangka, dan buktinya belum cukup, bisa dituntut.
Sementara itu, aktivis di Kotim Audy Valent mengungkapkan bahwa SPPD fiktif biasanya kebanyakan dilakukan ASN untuk perjalanan dalam daerah. Pasalnya, manipulasi kelengkapan administrasi seperti tanda tangan kepala desa dan stempelnya adalah hal mudah. Memang jika dilihat dari besaran anggaran per hari, SPPD dalam daerah terbilang kecil. Hanya Rp 150 ribu- Rp 500 ribu sesuai eselon. Tapi frekuensinya perjalanan dinas itu sangat tinggi.
Dicontohkannya dalam SPPD itu mereka melakukan kunjungan untuk lima desa dalam sepekan. Kadang yang dikunjungi itu hanya satu desa. Selebihnya itu bukti perjalanan di tempat tujuan bisa diatur atau dimanipulasi dengan rapi. Bahkan untuk menutupi ini kadang dilakukan secara terstruktur dan menjadi kebiasaaan.
”Nah justru kita selama ini memantau SPPD keluar daerah karena melihat anggarannya besar. Tapi keluar daerah dengan sistem at cost sudah sulit difiktifkan. Segala sesuatunya dibayarkan atas dasar bukti seperti tiket pesawat dan tagihan hotel,” katanya.
Dia berharap penegak hukum bisa mengarahkan radarnya kepada SPPD dalam daerah. Sebab anggaran SPPD di Kotim nilainya sangat fantastis. Mencapai miliaran rupiah. Hal ini tentunya, kata Audy, tidak bisa dibiarkan begitu saja. Sesekali oknum yang memainkan anggaran perjalanan dinas itu harus diseret. Dengan demikian pejabat lainnya juga tidak akan main-main lagi.
”Harus diberikan efek jera kepada oknum yang selalu memanfaatkan SPPD itu untuk memperkaya diri sendiri dan merugikan keuangan daerah. Selain itu juga kami minta agar bupati Kotim bisa melakukan efisiensi anggaran. Terutama perjalanan dinas mesti dipangkas,” katanya.
Sejauh ini satu kasus yang pernah mencuat yakni penelisikan dugaan adanya SPPD fiktif di Dinas Kehutanan dan Perkebunan Kotim. Saat itu ditangani oleh Unit Tipikor Polres Kotim. Kali ini bidikannya adalah SPPD dalam daerah yang disinyalir banyak difiktifkan.
Dugaan SPPD fiktif tersebut semakin menguat setelah sejumlah kades maupun lurah sudah memberikan penjelasan beberapa waktu lalu. Dari beberapa bukti yang ditunjukkan kepada mereka, ada yang tidak sesuai fakta. Sayangnya kasus itu masih belum jelas penyelesaiannya hingga beberapa kali pergantian pucuk pimpinan kepolisian setempat. (hen/ang/ron/dwi)