PANGKALAN BANTENG- Penertiban penjualan elpiji 3 kilogram yang dilakukan Satuan Polisi Pamong Praja (Satpol PP) Kotawaringin Barat (Kobar), direspon segelintir warga. Ada kekhawatiran, penertiban di tingkat pengecer akan menyebabkan elpiji tabung melon tersebut langka di pasaran.
Seperti diutarakan Yuliarti, salah satu warga Kecamatan Pangkalan Banteng, menurutnya meski harga elpiji subsidi di tingkat pengecer sampai Rp 40 ribu hingga Rp 45ribu, hal itu tidak masalah baginya.
”Kalau pengecer dilarang maka kita beli kemana? Ke pangkalan? Di pangkalan selalu habis duluan sebelum kebutuhan masyarakat tercukupi,”cetusnya, Jumat (25/5) kemarin. Dirinya pun berharap agar pengawasan lebih ketat dilakukan pada pangkalan-pangkalan elpiji yang berada di setiap desa. Menurutnya, bila perlu pemerintah desa ikut turun melakukan pengawasan, terhadap distribusi elpiji bersubsidi.
“Lebih baik awasi ketat pangkalan, karena pengecer tidak akan menjual bila oknum pangkalan tidak memberi jatah elpiji subsidi kepada mereka (pengecer),”tambah Yuliarti.
Wanita ini juga menilai, masyarakat sangat berharap dapat pasokan gas dari pangkalan elpiji yang terdapat di setiap desa. Selain harga yang lebih murah, mereka mencoba mengikuti instruksi pemerintah saat sosialisasi konversi minyak tanah ke gas beberapa waktu lalu, yang mengarahkan mereka agar memebeli elpiji bersubsidi di pangkalan.
Hal serupa juga dikatakan Narni, menurutnya sejak konversi mitan ke gas mulai berlaku secara penuh di tahun 2016, ia mengaku baru tiga kali membeli di pangkalan. Sisanya ibu dua anak ini selalu membeli di pengecer, baik yang dekat dengan rumahnya atau pun pergi ke toko-toko di Karang Mulya.
”Kalau beli di pangkalan kadang habis dan nitip tabung (antre) untuk menunggu kiriman. Kalau terus-terusan begitu, ya tidak masak saya ini,”keluhnya.
Menanggapi hal tersebut, Kepala Satpol-PP dan Pemadam Kobar, Majerum Purni menagkui pihaknya mengerti keluhan warga tersebut. Namun ditegaskannya, sudah sesuai aturan pemerintah bahwa elpiji 3 kilogram dilarang dijual oleh pengecer. Elpiji subsidi hanya boleh dijual di pangkalan.
“Justru dengan penertiban pengecer ini, kita ingin cari tahu siapa oknum pangkalan yang nakal, dan sesuai instruksi bupati, sanksi pencabutan izin bisa dilakukan,”tegasnya.
Dengan penertiban pengecer ini, lanjut Majerum maka akan memutus mata rantai penyelewengan elpiji 3 kilogram. Menurutnya, bila pengecer tidak menjual elpiji subsidi, maka ketersediaan di pangkalan diyakini akan terjaga. Karena dari laporan yang mereka terima, pasokan untuk Kabupaten Kobar tidak ada pengurangan.
“Setelah razia yang kita lakukan maka kita berharap efek jera bagi pengecer bisa mereka rasakan. Bila pengecer sudah tidak mau lagi menjual, maka perilaku oknum pangkalan yang memasoknya juga akan berhenti dnegan sendirinya. Sehingga ketersediaan elpiji bersubsidi di pangkalan untuk pemenuhan warga kurang mampu, bisa tetap terjaga,”pungkasnya.
Ditanya terkait peluang adanya pengoplosan elpiji subsidi ke elpiji non subsidi, Majerum menegaskan bahwa sanksi hukumnya akan lebih berat. Menurutnya kepolisian bisa memproses dengan hukum pidana.
Lebih lanjut diuraikannya, pelaku pengoplosan elpiji melanggar Pasal 62 junto Pasal 8 ayat 1 huruf a Undang-undang Nomor 8 tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen dan Undang-undang Nomor 22 Tahun 2001 tentang minyak dan gas bumi, Pasal 53 huruf d tentang Melakukan tata niaga minyak bumi dan/atau gas bumi tanpa izin usaha niaga. Ada pun ancaman hukuman pidana penjara selama 5 tahun atau denda maksimal Rp 2 miliar. (sla/gus)