JAKARTA – Kasus dugaan suap yang melibatkan empat oknum anggota DPRD Kalteng disinyalir merupakan akibat tingginya biaya politik. Menghadapi Pemilu 2019, calon anggota legislatif, terutama petahana, rawan menyalahgunakan jabatannya untuk kepentingan politik dengan mencari sumber pendanaan ilegal.
”Kalau sebagian orang bertanya kenapa ini (korupsi massal, Red) terjadi, Ya salah satu pemicunya karena politik diilustrasikan high cost (berbiaya tinggi, Red)," kata Koordinator Divisi Korupsi Politik Indonesia Corruption Watch (ICW) Donal Fariz kepada Radar Sampit di Jakarta, Rabu (31/10).
Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) sebelumnya menangkap dan menetapkan empat anggota DPRD Kalteng dari Komisi B sebagai tersangka kasus dugaan suap terkait investasi perkebunan kelapa sawit. Empat orang itu, yakni Borak Milton, Punding LH Bangkan, Arisavanah, dan Edy Rosada. Mereka diduga menerima suap dengan total sebesar Rp 240 juta.
Berdasarkan pengecekan daftar calon tetap (DCT) yang diumumkan KPU Kalteng, empat tersangka kembali mencalon dalam kontestasi Pemilu Legislatif 2019 mendatang (lihat grafis). Menurut Donald, politik berbiaya tinggi biasanya dimulai dari perhelatan demokrasi seperti pileg di semua tingkatan.
”Pada kontestasi ini, para politikus harus mengucurkan biaya besar. Paling umum adalah untuk kampanye,” ujarnya.
Oleh karena itu, lanjutnya, saat politikus terpilih sebagai anggota Dewan, peluang untuk menyalahgunakan jabatan sangat besar. ”Entah itu untuk mengembalikan modal kampanye atau mencari tambahan dana lagi untuk persiapan kampanye kontestasi berikutnya bagi mereka yang ingin kembali duduk di kursi legislatif,” katanya.
Selain disebabkan politik berbiaya tinggi, korupsi massal di parlemen terjadi karena politikus tidak takut atau bahkan tidak jera terhadap sanksi hukum. Menurut Donald, sejak awal didirikan, KPK telah menjaring 264 politikus penyelenggara negara jadi tersangka kasus korupsi. Potensinya akan terus bertambah.
Seluruhnya berakhir jadi penghuni penjara karena di persidangan terbukti melakukan tindak pidana korupsi. Rinciannya, 100 kepala daerah dan 164 anggota DPR/DPD/DPRD.
”Realitasnya kontestasi pemilu di Indonesia nyaris tidak pernah sepi dari kasus rasuah. Mereka seolah tak takut dan tak peduli dengan kasus korupsi yang berhasil diungkap KPK sejauh ini,” katanya.
KPK sebelumnya belum menemukan mata rantai suap itu dengan kepentingan Pemilu 2019. Namun, lembaga antirasuah itu menduga, pemberian serupa atau dalam bentuk lain juga kerap terjadi terhadap para tersangka. (sla/sho/ign)