DITENGAH terjangan berbagai jenis musik dan kebudayaan bangsa lain yang masuk secara masif ke Indonesia, kesetiaan Sumarjo (61) pada tradisi dan budaya Jawa seolah menjadi oase harapan untuk keberlangsungan seni karawitan. Terutama di tanah transmigrasi.
Slamet Harmoko, PANGKALAN BANTENG
Dibalik kesederhanaan dan keterbatasan yang dimilikinya, warga Desa Sidomulyo, Kecamatan Pangkalan Banteng, Kabupaten Kotawaringin Barat ini tetap bertahan menjaga seni warisan leluhurnya.
“Karawitan ini jatuh bangun sejak tahun 1988, namun karena sedikitnya kegiatan dan jarangnya latihan maka di tahun 1992 itu sempat berhenti dan kini hanya tampil saat ada undangan untuk acara hajatan atau acara untuk hiburan tamu dalam kegiatan pemerintahan di desa, itu pun sangat jarang,” ujarnya mengawali cerita.
Transmigran asal Wonosobo ini lantas mengungkapkan jika dulu karawitan sulit berkembang karena kurangnya perhatian dari pemerintah ditambah lagi kurangnya dana pembinaan.
“Dulu itu dari pemainnya mencukupi, namun kita terkendala dana. Dan itu berbanding terbalik dengan saat ini, pendanaan dan bantuan mudah didapat namun penerusnya yang kesulitan. Bahkan kesenian jaranan yang saya kuasai juga kesulitan berkembang karena kurangnya minat pemuda untuk melestarikan budaya itu,” katanya.
Menurutnya pemuda saat ini cenderung memilih jenis musik lain dan melupakan budaya bangsa sendiri. Padahal belajar karawitan atau memainkan alat musik gamelan ini berarti mengenal jejak kultur masyarakat Jawa yang luhur. Gamelan bukan sekedar alat musik yang hadir untuk dibunyikan semata, namun terikat kuat dengan seperangkat aturan dan juga kaidah serta pakem yang harus ditaati dalam memainkannya.
“Belajar karawitan ini ibarat melatih kehalusan budi pekerti. Memainkan gamelan itu juga mendidik diri untuk tidak angkuh dan egois, karena harus mendengarkan alunan suara lain di sekelilingnya. Tidak ada suara yang lebih menonjol (dominan) dibandingkan instrumen lain,” cerita lelaki yang mampu memainkan semua alat musik gamelan itu.
Memainkan gamelan tidak hanya menggunakan logika, namun butuh kepekaan rasa. Sebab dari sejarahnya kerajaan – kerajaan besar di Jawa tak lepas dari kehadiran karawitan dan gamelan.
“Penciptaan gending Jawa dalam pagelaran karawitan itu tak lepas untuk persembahan raja atau untuk menghormati dan menyanjung para pemimpin di masa lampau. Sehingga isi maupun alur cerita di dalamnya penuh dengan nilai luhur peradaban bangsa,” kisah suami Warsinah ini.
Kembali pada kesulitannya membangun dan menjaga budaya yang kian langka di tanah perantauan ini. Di masa awal transmigrasi, sebenarnya pihak PTPN sempat memberikan bantuan lunak berupa seperangkat gamelan berikut satu set wayang kulit. Namun karena masyarakat sulit mengembalikan pinjaman yang saat itu sangat lunak bahkan nyaris tanpa bunga membuat seperangkat gamelan berikut wayang disita oleh pihak perusahaan.
“Dulu peralatannya lengkap, ada seperangkat gamelan dan satu set wayang kulit. Namun itu pembeliannya berupa pinjaman sangat lunak. Karena kita lambat membayar akhirnya diambil kembali oleh perusahaan hingga akhirnya menjadi abu saat gudang perusahaan tempat menyimpan peralatan itu terbakar habis beberapa tahun lalu,” kenangnya sambil memandang langit-langit rumah papan tempat tinggalnya selama 25 tahun lebih.
Ditengah-tengah kebingungannya untuk menjaga budaya ini, dia dan sejumlah pemain gamelan lain yang rata-rata berusia setengah abad, akan tetap memainkan gamelan meski hanya sebagai undangan untuk jadi pelengkap kelompok-kelompok karawitan di luar Pangkalan Banteng bahkan di luar Kobar.
“Dapat bantuan satu perangkat gamelan itu ya sekitar tahun 2013 lalu, sebelumnya untuk mengasah kemampuan agar tidak lupa kita mengikuti undangan kelompok lain untuk main di luar Pangkalan Banteng. Kadang juga di wilayah Lamandau, warga transmigran di sana sering mengundang saya dan beberapa teman untuk main,” kata bapak dari Martuti dan Yuliati ini.
Di luar itu semua, dia juga menjadi pembimbing untuk kelompok seni karawitan Laraswati yang anggotanya saat ini hanya dihuni oleh generasi tua yang ada di desanya.
Menumpang gedung PKK Desa Sidomulyo, kelompok Laraswati ini kembali bangun setelah lama mati suri. Mereka berlatih dua kali dalam sepekan untuk melestarikan budaya dan memperkaya kemampuan penguasan jenis tembang dan alunan nada gamelan yang mengiringinya.
Dia berharap Pemerintah Kabupaten Kobar juga menyisihkan perhatian mereka untuk terus membantu melestarikan kebudayaan yang sudah mendunia ini. Baginya bantuan pelestarian tidak harus berupa dana, namun sering diundang dalam acara resmi pemerintah sudah cukup membahagian baginya. Atau bila perlu Pemkab Kobar menggelar acara pentas untuk semua kesenian yang ada di Kobar ini.
“Semoga Pemkab Kobar ini bisa mengadakan semacam festival budaya untuk semua. Kalau selevel Kalteng masih belum mampu, mungkin tingkat kabupaten tidak apa-apa dan pelaksanaannya bisa disatukan dengan bulan kunjungan wisata Kobar. Sehingga selain terkenal dengan konservasi orangutan, Kobar akan dikenal sebagai Kabupaten pelestari budaya Jawa diluar Jawa serta menunjukkan jika Kobar ini mampu melestarikan budaya dari multi etnis yang berada di Bumi Marunting Batu Aji ini,” harapnya
Diakhir perbincangan dia menjelaskan bahwa membicarakan gamelan berarti melihat Jawa dan negeri ini. Sebab gamelan kini telah dikenal luas seantero jagat sebagai warisan budaya Indonesia. Bahkan gamelan telah menjadi alat musik yang telah bermetamorfosis menjadi alat musik yang lebih dinamis. Siapapun telah memaikannya tanpa ragu dan malu dianggap kuno dan kolot.
“Itulah mas, disaat pemuda kita diabad 21 ini menganggap karawitan ini kolot, kuno, ketinggalan zaman, dan lebih terobsesi dengan boyband dan girlband, di luar sana gamelan sudah diakui dunia dan komponis luar negeri akan dianggap ketinggalan zaman jika tidak memasukkan unsur gamelan dalam karya-karyanya. Dan jangan salah sekarang ini gamelan mampu mengangkat nama dan jati diri bangsa ini dimata dunia,” katanya.
Sebagaimana diketahui jika saat ini gamelan yang dianggap kampungan dan banyak masyarakat mulai membuat jarak dengannya, bangsa lain justru menjadikan gamelan serta seni karawitan sebagai pelajaran wajib di berbagai sekolah dasar di negaranya.
Sebelumnya juga terjadi di Eropa, Amerika bahkan Jepang di negara maju itu gamelan menjadi mata kuliah wajib pada kampus-kampus kesenian unggulan mereka.(*/gus)