PALANGKA RAYA – Pemerintah berupaya menetralisir paham radikal yang selama ini jadi doktrin warga yang diamankan dalam kasus terduga terorisme. Sebanyak 32 orang, termasuk anak-anak, menjalani program deredikalisasi. Mereka diberi pemahaman tentang kepahlawanan, cinta, kehidupan, dan menghargai perbedaan.
Kapolda Kalteng Irjen Pol Anang Revandoko mengatakan, kepolisian bersama mitra akan melakukan pembinaan kepada anak yang terpapar paham radikal. ”Pembinaan dilakukan bersama mitra yang terdiri dari Polda, Densus 88, TNI, Balai Pengembangan Anak dari Kemensos, Dinas Sosial Kalteng, MUI, dan Forum Koordinasi Umat Beragama (FKUB),” katanya, Jumat (14/6).
Kepala Balai Anak yang Memerlukan Perlindungan Khusus (AMPK) Kementerian Sosial, Neneng Heriani, mengatakan, rehabilitasi terhadap psikologis terduga teroris pasti ada evaluasinya. ”Kami memerlukan proses dan waktu untuk memulihkan psikologis anak,” jelasnya.
Neneng menuturkan, strategi yang dilakukan adalah melalui pendekatan humanistik. Hal itu agar mereka memiliki kepercayaan hidup baru yang benar. Total ada 13 orang anak terpapar paham radikal yang dilakukan direhabilitasi.
”Orang yang biasanya terpapar paham radikalisme, menganggap kita ini adalah musuhnya,” ujarnya.
Dia menjelaskan, ada beberapa tahap pemeriksaan yang dilakukan. Terutama melalui pemeriksaan assesment dan psikologis. Setelah itu, pemerintah akan melakukan intervensi treatment atau perlakuan khusus kepada pihak yang terpapar. Sesuai pengalaman Balai AMPK yang pernah melakukan pemeriksaan psikologi terhadap kasus bom Surabaya, balai sudah memberikan tampilan pendidikan yang berbeda kepada anak pelaku.
”Balai memberikan edukasi berupa tayangan film yang tidak pernah ditonton mereka. Contohnya, kepahlawanan, cinta, kehidupan, dan tentang perbedaan,” ujarnya. Dari tayangan yang diberikan, lanjutnya, memberikan manfaat terhadap evaluasi perubahan pandangan paham radikalisme.
Menurut Neneng, orang yang terpapar radikalisme disebabkan beberapa faktor, seperti melarikan diri dari fakta dan konflik dalam keluarga. Mereka bisa dari berbagai latar belakang. Mengubah pandangan dan paradigma radikalisme sangat tidak mudah. Apalagi mengubah persepsi terhadap orang yang terpapar paham tersebut.
”Di Jakarta, biasanya anak yang sudah terpapar radikalisme memerlukan hampir satu bulan, bahkan satu tahun. Selain itu, anak-anak kasus bom Surabaya hampir setahun. Ini tergantung integrasi semua elemen terkait,” katanya.
Kepala Dinas Sosial (Dinsos) Kalteng Suhaimi menegaskan, anak terduga teroris merupakan bagian dari masyarakat yang harus diberikan kesempatan pemulihan. ”Harus kita manusiakan juga meskipun sudah terpapar dan kami harus melayani sehingga mereka bisa berubah,” katanya.
Sementara itu, Kabid Humas Polda Kalteng Kombes Pol Hendra Rochmawan mengatakan, Polda Kalteng membentuk tim terpadu dalam penanganan kasus penangkapan kelompok teroris Jaringan Jamaah Ansarut Daulah (JAD). Langkah itu diambil agar penanganannya bisa berjalan maksimal, serta memenuhi hak-hak terduga teroris, terlebih istri dan anak-anak mereka.
”Tim terpadu ini terdiri dari unsur Polri, TNI, Badan Intelijen Daerah (Binda), Dinas Sosial, Kementerian Agama, MUI, FKUB, dan KPAI (Komisi Perlindungan Anak dan Ibu),” katanya.
Menurut Hendra, langkah tersebut sebagai komitmen bersama dan wujud nyata sinergitas seluruh instansi terkait. Apalagi ada anak-anak dan perempuan yang ikut diamankan.
Hendra berharap dengan adanya pendekatan dari ulama, mereka yang sudah terpapar radikalisme sadar dan kembali ke ajaran yang sebenarnya. ”Semoga tidak ditemukan lagi di Kalteng,” katanya.
Terkait penetapan tersangka, Hendra mengatakan, saat ini masih dua tersangka, yakni Abdullah dan Tommy. Lainnya masih dalam pemeriksaan dan berstatus terperiksa. (rm-99/daq/ign)