Sebagai bentuk rasa syukur atas limpahan rejeki Sang Pencipta, Suku Dayak Tamuan di Desa Sebabi, Kecamatan Telawang, Kotim, menggelar ritual. Radar Sampit menyaksikan langsung kegiatan yang menggambarkan tingginya toleransi umat beragam itu.
YUNI PRATIWI, Sampit
Dari kejauhan terdengar suara musik khas Kalimantan Tengah. Halaman pasar di Desa Sebabi, dipadati ratusan warga dari enam desa di Kecamatan Telawang. Sebagian berada di tenda-tenda yang letaknya tidak jauh dari bangunan pasar.
Kendaraan roda dua dan empat berjejal di tanah lapang depan pasar tersebut. Warga yang hadir tidak hanya warga desa sekitar, ada juga yang datang dari Sampit.
Hari itu, Minggu (30/6), menurut warga sekitar, memang merupakan jadwal rutin pasar Simpang Sebabi, Jalan Jenderal Sudirman Km 87 arah Sampit - Pangkalan Bun beroperasi. Apalagi saat itu merupakan akhir bulan. Sebagian karyawan perusahaan ada yang sudah menerima gaji, sehingga menambah ramai suasana pasar.
Suasana pasar kian ramai karena bertepatan dengan acara syukuran Suku Dayak Tomuan. Kebetulan empunya acara adalah pemilik pasar serta tanah lapang di lokasi tersebut. Para pedagang ikut ketiban rezeki dan bersyukur bisa melihat secara langsung acara adat yang sangat jarang ditemui itu.
Radar Sampit yang berniat duduk di bawah tenda yang berdiri persis di depan lokasi ritual, diarahkan menuju tenda di sisi lainnya. ”Ini untuk Kaharingan. Kalau kita (non-Kaharingan) di tenda satunya, sengaja di buat terpisah,” kata Jumratul Anwar, anggota keluarga pemilik acara.
Jumratul menuturkan, keluarga besar Senan A Sandai selaku tuan rumah, banyak beragama muslim, termasuk dirinya. Karena itulah pihak keluarga menyediakan tenda khusus, terlebih untuk tamu undangan yang beragama muslim.
Sekitar pukul 10.00 WIB, acara adat dimulai. Suara gong dan jenis alat musik lainnya yang berada di rumah panggung milik Senan, semakin nyaring terdengar. Sebelumnya, kepada tamu-tamu undangan, pemangku adat memberi sambutan dengan ritual khas Suku Dayak.
Tak berselang lama, Pisor atau pimpinan upacara adat keagamaan menuruni rumah panggung menuju tempat ritual digelar. Diawali dengan menari mengelilingi korban persembahan yang terbagi dalam empat tahap, di antaranya manganjan, manasai, seriung, dan balawang.
Keluarga besar yang berdiri mengelilingi persembahan kurban berupa hewan ternak, berputar mengitari persembahan masing-masing tahap sebanyak tiga putaran. Persembahan terdiri dari dua ekor kerbau putih, dua ekor sapi, empat ekor ayam, dan empat ekor babi, sembari diiringi musik sesuai tahapan yang dilewati.
Hampir seluruh keluarga ikut saat mengitari persembahan. Dari tua, muda, hingga anak-anak. Kaum wanita berada di lingkaran paling depan, diikuti pria di lingkaran belakang. Tahapan mengitari persembahan berlangsung sekitar satu jam.
Uniknya, saat tahapan itu berlangsung, bukan aneka kue yang disuguhkan. Seorang wanita dengan nampan di tangan membawa pinang sirih, suguhan kepada pihak keluarga. Ada pula satu buah teko berisi minuman yang dibawa mengikuti keluarga yang mengitari persembahan tersebut. Minuman itu biasanya diminum sebagai tanda penghormatan kepada orang yang punya hajat.
”Diminum sedikit saja. Menghormati yang punya acara,” kata seorang pria saat menawarkan minuman kepada warga.
Saat proses berlangsung, seluruh keluarga larut dalam ritual. Mereka bergerak mengikuti iringan lagu dan musik. Warga yang menyaksikan tak lepas dari handphone di tangan masing-masing, merekam acara yang sudah digelar Senan selama tiga tahun berturut-turut itu. ”Ini merupakan tahun ketiga,” kata Parjo, warga sekitar.
Setelah seluruh tahapan mengitari persembahan selesai, yang dimaknai sebagai penghormatan atas persembahan yang ditujukan kepada roh, baik roh di atas tanah, air, dan langit, Pisor menjalankan ritual dengan membacakan doa-doa menurut ajaran Hindu Kaharingan sebagai tanda hewan persembahan siap dikorbankan.
Setelah itu, anggota keluarga yang punya hajat secara bergantian menombak hewan kurban. Mulai dari kerbau, sapi, dan babi, yang terikat di tiang teras. Proses selanjutnya, warga yang beragama muslim, yang bisa menyembelih hewan ternak, diberi kehormatan menyembelih hewan persembahan tersebut.
”Kami mengikuti zaman juga. Saat ini warga banyak yang muslim, jadi mereka yang ambil alih,” ujar Karnel, Pisor ritual tersebut.
Karnel, menuturkan, pemberian kehormatan kepada umat muslim untuk menyembelih hewan persembahan itu, sebagai wujud toleransi antarumat beragama. ”Karena nanti hewan yang sudah disembelih sebagian dimasak bersama, kemudian dibagikan kepada warga desa,” ucap Karnel, seraya menyebut daging persembahan yang sebagiannya lagi dipersembahkan kepada roh di atas tanah, sungai, dan langit.
Selama ritual digelar di ruang terbuka, Pisor harus berpuasa. Dia baru bisa makan dan minum saat berada di dalam rumah. Menurut Karnel, hal tersebut sebagai penghormatan kepada roh leluhur.
”Kami sebagai pelayan saat ritual berlangsung tidak boleh makan dan minum. Jadi, saat di luar itu, persembahan sesajen untuk roh leluhur,” tambahnya.
Karnel menuturkan, ritual adat itu dilaksanakan sebagai ungkapan rasa syukur kepada sang pencipta atas segala limpahan rezeki yang diberikan. Sekaligus melestarikan nilai budaya dan adat istiadat Suku Dayak.
Ritual itu digelar selama dua hari dua malam. Usai penyembelihan persembahan, warga bersama keluarga berbaur di dalam pesta. Mereka menari melingkar penuh suka cita. Biasanya, acara ritual berlanjut hingga malam. Makan malam dilakukan dengan lauk daging persembahan yang telah dimasak bersama.
Karnel menjelaskan, pihak keluarga yang mengadakan upacara dilarang melakukan aktivitas di hutan selama tujuh hari ke depan. Terhitung sejak ritual penombakan persembahan. Aktivitas yang dilarang, seperti berburu, menyadap karet, ataupun berkebun.
Saat Radar Sampit tengah berbincang dengan pihak keluarga, seorang lelaki paruh baya mengenakan kaos singlet polos putih dan celana pendek, menghampiri. Ternyata dia merupakan Senan, penggelar hajatan itu.
Senan menuturkan, acara syukuran itu merupakan bentuk syukur atas perjuangannya bertani yang telah banyak membuahkan hasil. Pria yang lahir di Desa Sebabi tahun 1946 silam itu, mengaku akan terus bertani hingga ajal menjemput.
”Saya tidak tamat sekolah. Bisanya cuma bertani. Makanya ini bentuk syukuran hajat saya,” tutur pria itu kepada Radar Sampit.
Upacara adat itu mirip ritual Tiwah, meskipun tahapannya hampir sama, namun tujuannya berbeda. Tiwah merupakan upacara kematian yang bertujuan sebagai ritual untuk meluruskan jalan roh atau arwah orang yang meninggal menuju surga, sementara syukuran adat digelar dengan tujuan bentuk rasa syukur kepada sang pencipta. (***/ign)