SAMPIT – Kebijakan politik anggaran DPRD Kotim yang menyetujui anggaran proyek pembangunan Pasar Sampit Expo rawan menyeret legislator ke ranah hukum. Hal itu bisa terjadi apabila proses penganggaran tidak sesuai mekanisme dan menimbulkan kerugian negara.
”Kalau mencermati persoalan itu, sebenarnya ada dua persoalan yang berbeda. Pertama, yang jadi sorotan tajam adalah proses penganggaran dan kedua proses pengerjaan fisik di lapangan. Dua itu dalam konteks berbeda,” kata Agung Adisetyono, praktisi hukum di Kotim,.
Agung menuturkan, apabila dalam pembahasan dan penganggaran ternyata ada masalah dan tidak sesuai mekanisme, rawan menyeret anggota DPRD Kotim yang saat itu membahasnya.
”Ya, ketika dalam perjalanannya ada penegak hukum yang menyelidiki dan menemukan indikasi kesalahan dalam proses penganggaran, di saat itu juga biasanya DPRD akan diperiksa satu per satu,” kata dia.
Agung menambahkan, bisa saja ada anggapan kesalahan administrasi saja dalam penganggaran. Namun, kesalahan administrasi dalam penganggaran tak boleh dianggap sepele. Pasalnya, kasus tindak pidana korupsi berawal dari kesalahan administrasi yang dianggap biasa-biasa saja, sehingga merugikan keuangan negara.
”Itu bisa saja ada kesalahan administrasi. Tetapi, temuan tindakan korupsi bisa berawal dari kesalahan administrasi itu. Nah, saya lihat potensi itu tidak dilihat secara cermat dan jeli oleh pihak terkait. Apalagi ini uang besar," tegasnya.
Akan lebih parah lagi, lanjutnya, jika dalam proses penganggaran ternyata anggota DPRD menerima janji atau sejenisnya untuk meloloskan anggaran tersebut. ”Parah lagi jika ternyata dalam proses itu ada indikasi ke arah suap. Oknum yang terlibat pasti terseret. Banyak contoh kasusnya yang sudah terjadi,” kata dia.
Menurut Agung, korupsi sejatinya merupakan perbuatan yang merugikan keuangan negara. Meski sekalipun pejabat terkait tidak menikmatinya, akibat kebijakannya yang menyebabkan merugikan negara, pejabat itu bisa dikatakan turut serta dalam tindak pidana korupsi tersebut.
Agung mengatakan, sejumlah kasus hukum yang menyeret legislator terjadi pada momentum pembahasan anggaran. Praktik suap sangat rentan terjadi. Dari beberapa perkara tangkap tangan KPK membuktikan, momentum pembahasan anggaran jadi hal yang rawan.
”DPRD bukan kuasa pengguna anggaran, jadi mereka rawan kena kasus hukum suap. Kalau kasus lain sulit. Jenis suap banyak, salah satunya untuk memuluskan anggaran atau ada kesepakatan tertentu,” kata Agung.
Berbicara soal proyek di lapangan, lanjut Agung, penegak hukum akan sulit masuk saat sekarang. Biasanya memilih menunggu proyek itu selesai dilaksanakan. ”Kalau proyek itu masih berjalan, tidak masuk penegak hukum. Apalagi ini multiyears. Lain hal kalau pekerjaan itu sudah selesai, mudah bagi aparat memeriksa hingga menemukan permasalahan di pekerjaan fisiknya,” ujarnya.
Hal yang jelas, kata dia, sorotan saat ini pada proses penganggaran. Masalah itu yang muncul DPRD periode sebelumnya telah menolak proyek itu disertai dokumen tertulis yang jadi salah satu bukti kuatnya.
Praktisi hukum lainnya Bambang Nugroho mengatakan, sikap DPRD tidak bisa disalahkan. Ketika mereka tidak menganggarkan proyek, akan ada implikasi hukumnya juga. Salah satunya berujung pada gugatan perdata oleh rekanan kepada Pemkab Kotim. Sebab, pekerjaan gedung expo itu merupakan kontrak perjanjian yang semuanya tertuang.
Namun, jika berkaca dari implikasi hukum apabila tidak dianggarkan, DPRD hanya tidak tunduk kepada perda saja. Sekalipun tidak dianggarkan, konsekuensinya masih dalam lingkup perdata. Konsekuensi itu tidak bisa menyeret ke ranah pidana.
Sebaliknya, lanjut Bambang, apabila dianggarkan dengan kondisi yang tidak jelas asal-usul penganggarannya, bisa saja di kemudian hari ditemukan masalah yang berujung pidana. Bahkan, DPRD bisa dikatakan turut serta bertanggung jawab.
Menurutnya, Pemkab Kotim bisa saja mengambil kebijakan dengan memutuskan kontrak dengan alasan wanprestasi. Sebab, pekerjaan di lapangan tidak sesuai kontrak kerja, mengingat proyek itu dikerjakan sejak 2018, namun baru dikerjakan di pengujung 2019.
”Jadi biarkan saja mereka gugat secara perdata. Ketika ada putusan pengadilan menyatakan bayar, baru dianggarkan. Kalau tidak ada, ya tidak usah. DPRD pun saya kira akan lebih nyaman dan aman. Tidak waswas. Kalau sekarang pasti tidak nyaman karena tidak ada kepastian hukum. Apalagi katanya penganggarannya banyak masalah,” tandasnya.
Sebelumnya diberitakan, potensi hukum dalam pengerjaan proyek pembangunan Pasar Expo Sampit bisa dihindari sejak awal. Syaratnya, semua proses penganggaran harus dilakukan dengan benar dan mengacu aturan. Termasuk pelaksanaannya yang wajib mengacu pada kontrak kerja.
Hal itu disampaikan Kepala Kejari Kotim Hartono melalui Kepala Seksi Intelijen Sunardi Efendi, Kamis (28/11). Sunardi menegaskan, masalah hukum bisa muncul apabila ada tahapan dan proses yang dilewati dalam mekanisme penganggaran. Apalagi bila adda kejanggalan dan menjadi polemik.
Sunardi menegaskan, Kejari Kotim belum bisa sepenuhnya menyatakan proyek yang kini jadi polemik di kalangan DPRD Kotim itu benar atau salah sepenuhnya. Apalagi pihaknya tak melakukan langkah hukum apa pun, seperti penyelidikan. ”Kami tidak tahu itu ada dugaan kesalahan atau tidak,” kata Sunardi.
Pembangunan Pasar Expo Sampit masuk dalam proyek tahun jamak Pemkab Kotim yang dianggarkan selama tiga tahun anggaran. Totalnya menyedot Rp 32 miliar sejak 2018. Tahun 2018 dianggarkan Rp 5 miliar, namun karena tidak ada pelaksanaan di lapangan, anggaran tersebut masuk sisa lebih penggunaan anggaran (Silpa).
Selanjutnya, pada 2019 dianggarkan lagi sekitar Rp 15 miliar. Namun, proyek itu baru dilelang sekitar September lalu. Alhasil, pekerjaan fisik saat ini masih di kisaran 10 persen yang dikerjakan kontraktor PT Heral Eranio Jaya asal Barito Selatan dengan anggaran Rp 31,8 miliar.
Anggota Komisi I DPRD Kotim Rimbun mengatakan, proyek itu sebelumnya sudah ditolak Komisi II DPRD Kotim periode 2014-2019. ”Tapi bisa bekerja dan ada anggarannya dari mana? Itu yang sulit saya pahami. Bagaimana bisa proses penganggarannya bisa terjadi,” ujarnya.
Rimbun menegaskan, apabila disebut sebagai proyek tahun jamak, proyek itu harusnya mulai dikerjakan tahun 2018 silam. ”Karena dalam kesepakatan multiyears itu dikerjakan dalam tiga tahun, bukan setahun anggaran," kata legislator yang kencang menentang RAPBD Kotim 2020 saat pembahasan ini. (ang/ign)