Sumber Daya Alam (SDA) terhampar luas dengan kekayaan flora dan fauna yang beragam. Meskipun demikian, meminjam pandangan klasik terkait dengan Kutukan Sumber Daya Alam (Resource Curse Theory), di mana menurut para ahli daerah yang mempunyai SDA yang melimpah cenderung mempunyai korelasi negatif terhadap kesenjangan ekonomi antar lapisan masyarakat.
Keberlimpahan tersebut juga setali tiga uang dengan ketidakefektifan pemerintahan yang bermuara padakesejahteraan masyarakat yang kian menjadi fatamorgana. Pandangan tersebut bisa saja berkelindan dengan kondisi eksisting kualitas Sumber Daya Manusia (SDM) Kalimantan Tengah dewasa ini.
Kita harus jujur mengakui, Provinsi ini masih terpaku pada pendekatan ekstraktif dalam hal pengelolaan SDA. Sementara pada tataran ideal semestinya pengelolaan SDA kita harus menitikberatkan pada industri hilirisasi. Sehingga pendulum pengelolaan SDA yang bersifat ekstraktif bisa bergeser pada pola produktif, yang tentu saja mempunyai nilai tambah (added value) bagi pembangunan ekonomi dan akan menyentuh level mikro ekonomi rakyat Kalimantan Tengah.
Kita mesti bersepakat bahwa kutub pengelolaan SDA kita masih mengalami perdebatan hebat antara paradigma produksi yang berkiblat pada ekstraktif ataukah paradigma konservasi yang bermazhab pada keberlanjutan (sustainable).
Seiring penunjukan Provinsi Kalimantan Timur sebagai ibu kota negara, semakin menjadi semacam alarm peringatan bagi Kalimantan Tengah untuk juga bersadar dan bersiap diri sebagai provinsi penopang ibu kota baru.
Salah satu yang harus dipersiapkan adalah kapasitas pemerintahan karena kualitas pemerintahan menjadi unsur yang vital terhadap daya saing suatu daerah.